Demokrasi Mati Dilahap Oligarki

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
5 min readJul 7, 2024

Oleh: Monariska Angelina Sinurat — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Pemilihan umum (pemilu) presiden dan wakil presiden tiap lima tahun sekali menjadi ajang besar dilibatkannya partisipasi publik menjadi tonggak berhasil atau tidaknya suatu demokrasi yang diidam-idamkan. Demokrasi sebagai dasar dari negara hukum sudah sepatutnya dilakukan sebagaimana mestinya, sesuai tujuan yang tercantum kokoh dalam konstitusi NKRI. Proses panjang sebelum dilaksanakannya pemilu pun turut menjadi rangkaian acara yang perlu diperhatikan perjalanannya. Tidak hanya kontribusi dari sudut para pemilih pemilu, demokrasi akan berjalan pincang jika tidak adanya kontribusi dari para pemegang kekuasaan dan kepentingan.

Namun, sepertinya publik semakin dibuat keliru. Lagi-lagi, publik dikecohkan dengan merosotnya kinerja pemegang kekuasaan dan kepentingan yang justru menjadi ujung tanduk tumpuan harapan publik. Mulai dari lembaga yang menjadi produk reformasi setelah amandemen ketiga UUD 1945 atas lemahnya kepercayaan publik pada lembaga penegak hukum saat itu, Mahkamah Konstitusi hadir sebagai lembaga yang digadang-gadang mampu mengembalikan penegakan hukum pilar demokrasi Bangsa Indonesia. Ditujukan untuk terciptanya check and balances antar lembaga negara, menjadi fungsi kontrol pembuatan UUD NRI 1945 untuk menjamin dilibatkannya partisipasi publik, serta pengimplementasian nilai-nilai di dalamnya secara adil dan merata, menjadi bagian tupoksi utama lembaga konstitusi.

Sayangnya, Mahkamah Konstitusi kian hari kerap kali semakin jauh dari kepentingan publik dan semakin condong terhadap kepentingan yang lain. Produk panas yang belum lama dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden, tampaknya semakin menunjukkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemantik isu kontroversial. Menurut Zainal Arifin Mochtar, hal ini dikhawatirkan telah terjadinya pergeseran dasar kepentingan dari pembentukan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya mewadahi persoalan politik politik berpindah kiblat menjadi lembaga yang justru dipengaruhi oleh politik.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding sejatinya menjadi ketidaksempurnaan kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Melalui hal tersebut, ketika suatu putusan dikeluarkan, maka tidak ada lembaga lain yang mampu untuk mengeksaminasinya meskipun putusan tersebut dianggap tidak adil dan tidak dilakukan dengan sesuai prosedur yang berlaku. Sejalan dengan dikeluarkannya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, putusan tersebut disinyalir terdapat conflict of interest mengingat kerap kali dikait-kaitkan dengan diusungnya putra sulung Presiden Joko Widodo menjadi cawapres pada pemilu 2024 mendatang. Ditambah, proses penerbitan putusan a quo membuktikan adanya pelanggaran etik dari Ketua Mahkamah Konstitusi pada saat itu, yaitu Anwar Usman. Di dalam pertimbangannya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan seharusnya hakim Mahkamah Konstitusi sebagai seorang negarawan memiliki sense of ethics jika perkara yang ditangani memiliki benturan kepentingan antara dirinya dengan keluarganya. Hal lain yang justru perlu menjadi sorotan adalah independensi Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Maraknya putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi, menjadi cerminan goyahnya pondasi Mahkamah Konstitusi dan menimbulkan kecurigaan telah tumbuhnya oligarki dalam kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Tak heran, jika Mahkamah Konstitusi kerap disebut sebagai Mahkamah Keluarga, Mahkamah Kalkulator, Mahkamah Keponakan, dan sebutan satir lainnya.

Bukan hanya dari sisi lembaga negara, kemunduran demokrasi khususnya era Joko Widodo ditandai dengan redupnya oposisi sebagai pengawas serta pengkritik segala tingkah laku pemerintah dari segala sisi. Salah satu fungsi esensial oposisi, yaitu sebagai penyeimbang kekuasaan guna memastikan haluan kerja pemerintah tetap berfokus pada kepentingan publik untuk meminimalisasi kinerja pemerintah yang mengutamakan ego dan idealis semata. Tidak cukup sampai disitu, guncangan demokrasi semakin parah dengan maraknya inkonsistensi oposisi dengan bergabung kepada koalisi pemerintah. Lebih lanjut, hal tersebut menambah jarak yang semakin jauh antara komposisi oposisi dengan koalisi pemerintah. Padahal, kondisi oposisi akan menunjukkan keadaan demokrasi yang berkualitas.

Oposisi sebagai “dewan pengawas” pemerintah, sudah sepatutnya mendapatkan posisi serta dukungan yang sama besarnya dengan koalisi pemerintah. Di periode ke II Presiden Joko Widodo menjabat, komposisi oposisi berdampak signifikan pula pada komposisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Koalisi pendukung pemerintah pasca pemilu 2019 mendapatkan kursi sebanyak 349 kursi dengan rincian PDIP sebanyak 128 kursi, Partai Golkar sebanyak 85 kursi, Partai Nasdem sebanyak 59 kursi, PKB sebanyak 58 kursi, dan PPP sebanyak 19 kursi. Kursi tersebut bertambah sebanyak 78 kursi setelah Partai Gerindra bergabung ke dalam kubu koalisi pemerintah yang menyebabkan kursi koalisi pendukung pemerintah menjadi 427 kursi atau sebanyak 74,6% dari total kursi di DPR.

Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan esensi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya menjadi kepanjangan tangan publik di pemerintah pusat. Kecenderungan DPR berpihak kepada koalisi pemerintah tentu saja mereduksi salah satu fungsi esensial DPR, yaitu fungsi pengawasan terhadap pemerintah agar terciptanya check and balances. Melalui komposisi DPR yang sedemikian besarnya berada pada pihak koalisi pemerintah, tampaknya membuka gerbang baru diakomodasinya monopolisasi politik oleh suatu pihak dominan dalam lini kehidupan berpolitik di Gedung Parlemen.

Penegakan supremasi hukum sebagai wujud adanya demokrasi di Indonesia sejak agenda reformasi 1998 dikumandangkan, masih belum membentuk suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkompeten mewujudkan demokrasi. Demokrasi yang seharusnya menjadi kunci, tergantikan oleh oligarki yang seharusnya menjadi rival abadi negara demokrasi. Indeks demokrasi Indonesia yang kerap stagnan bahkan mengalami penurunan perlu menjadi catatan krusial pemerintah. Jika hal ini dibiarkan, maka demokrasi akan tumbang, sedangkan oligarki akan semakin berkembang.

Oleh sebab itu, Indonesia sebagai negara yang kerap kali diagung-agungkan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar, tidak boleh tutup mata melihat oligarki yang mulai terang-terangan menunjukkan diri sebagai bagian dari Pemerintah Indonesia. Dibutuhkan adanya kewajiban moral dan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan untuk sadar bahwasannya oligarki perlahan-lahan akan menggerogoti dan mengancam eksistensi NKRI. Tak hanya itu, diharapkan pula adanya tindak nyata pemerintah untuk tetap berpihak pada kepentingan publik tanpa tergoyahkan oleh bisikan kanan kiri kepentingan yang lainnya.

REFERENSI

Jurnal

Aritonang, M. “Peranan dan Problematika Mahkamah Konstitusi (MK)

dalam Menjalankan Fungsi dan Kewenangannya”, Jurnal Ilmu Administrasi, Vol. X, №3 (2013): 373.

Noor, Firman. “Oposisi dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi sebagai Bagian Penguatan Demokrasi Di Indonesia”, Masyarakat Indonesia, Vol. 42 №1 (2016): 5–6

Sanur, Debora. “Keberadaan Koalisi dan Oposisi dalam Kinerja DPR RI 2019–2024”, Parliamentary Review, Vol. 1, №4 (2019) : 166.

Artikel Online

Ardhi, Satria. “Pandangan Pakar UGM Terkait Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres”, Universitas Gadjah Mada, 27 Desember 2023,

https://ugm.ac.id/id/berita/pandangan-pakar-ugm-terkait-putusan-mk-soal-batas- usia-capres-cawapres/

Thea, Ady “Langgar 5 Prinsip Kode Etik, Anwar Usman Dicopot dari Jabatan Ketua MK”, Hukum Online,30 Desember 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/langgar-5-prinsip-kode-etik--anwar- usman-dicopot-dari-jabatan-ketua-mk-lt654a47cfc992c/?page=all

--

--