EKOFEMINISME: PEREMPUAN DAN BUMI DALAM PERGERAKAN MELAWAN EKSPLOITASI

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
6 min readMay 7, 2024

Oleh: Ursula Lara Pagitta Tarigan — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Ekofeminisme adalah pergerakan perempuan, untuk bumi dan dirinya. Sebab kedua subjek paling penting dalam peradaban manusia ini, sama-sama berjuang melawan eksploitasi.

Gerakan ini lahir dari kepedulian perempuan untuk melawan dominasi dan sikap eksploitatif manusia. Pembebasan dari penindasan terhadap alam dan perempuan adalah cita-cita yang menghidupkan pergerakan ini. Benang merah penderitaan perempuan dengan alam tersimpul jelas. Adanya persamaan antara penindasan terhadap alam dan perempuan, keduanya bersumber dari cara pandang androsentrisme. Cara pandang ekofeminisme mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap objek yang disasar, yakni perempuan dan lingkungan. Pola pikir ini terwujud melalui tindakan eksploitatif, penindasan, penghancuran, dan kekerasan. Sama seperti antroposentrisme, pandangan ini memusatkan pelaku sebagai pusat dari segalanya, sehingga memunculkan superioritas dalam mempergunakan objek tanpa memperhatikan dampak dan keberlanjutannya. Dengan kata lain, terdapat pelanggengan ketimpangan kekuasaan dan penghancuran demi keuntungan ekonomis satu pihak. Hal ini semakin diperparah dengan kehadiran pemerintah sebagai aktor pendorong eksploitasi dan marginalisasi masyarakat lokal. Melalui kekuasaan yang dimiliki, pemerintah mengizinkan bahkan memfasilitasi pembangunan kapitalisme melalui kebijakan, sedangkan di sisi lain melemahkan masyarakat lokal terkhusus masyarakat agraris.

Sebab, dilangsungkannya perampasan ruang hidup dan peminggiran hak atas tanah rakyat di bawah dalih kepentingan umum (pembangunan industri, pertambangan, dan lainnya).

Kesetaraan sosial-ekologis adalah hal yang diperjuangkan oleh gerakan Ekofeminisme. Diusahakannya peleburan hirarki antara manusia dengan alam dan juga kelas antar-masyarakat. Permainan kekuatan perlu dihentikan dan kemauan hidup untuk membangun solidaritas antar unsur kehidupan perlu dikedepankan. Dalam mengatasi krisis lingkungan, dibutuhkannya perubahan yang radikal terhadap cara pandang dan perilaku manusia. Disinilah ekofeminisme hadir sebagai pedoman etika manusia dalam berpikir dan bertingkah laku. Feminisme sendiri merupakan gerakan yang mengkritik cara pikir maskulin yang kental akan dominasi dan eksploitasi. Perspektif ini hadir untuk mengatasi masalah ketimpangan kuasa, diskriminasi, penindasan, dan kekerasan. Sama halnya dengan gerakan-gerakan ekologi, kedua gerakan ini bertujuan untuk membangun paradigma masyarakat guna menciptakan dunia yang tidak berdasarkan model dominasi. Sebagai subjek yang memiliki kedekatan emosional dengan alam pula, perempuan secara nyata merasakan ketidakseimbangan alam. Pengalaman perempuan akan dampak yang dirasakan pasca-degradasi lingkungan maupun dalam konflik agraria, berperan sebagai lensa untuk melihat secara nyata terjadinya krisis sosial-ekologis.

Ekofeminisme menjadi bukti berhasilnya peleburan ruang privat dan publik yang membatasi perempuan. Perlawanan yang dilakukan oleh para perempuan dalam memperjuangkan tanah sumber kehidupannya, melambangkan keberhasilan perempuan dalam mendobrak pembatasan dirinya dalam ruang domestik atau privat. Perempuan desa justru menjadi pionir dalam gerakan ekologi, sebab kelompoknya menjadi yang paling terimbas dari konflik lingkungan hidup dan agraria. Dalam kerusakan lingkungan yang mayoritas terjadi di wilayah pedalaman, perempuan dan anak menjadi korban yang paling terdampak.

Hal tersebut terjadi, dikarenakan sebagian besar penduduk desa adalah perempuan dan anak, sedangkan laki-laki bermigrasi ke kota. Maka tidak mengherankan ketika terjadi kerusakan lingkungan, yang merupakan tanah sumber penghidupan para perempuan dan anak di desa, perempuan menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap kerusakan maupun perampasan lingkungan hidup.

Tindakan konkret dalam pergerakan Ekofeminisme dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, melalui representasi dalam pemerintahan/ politis atau pergerakan grass root.

Hadirnya perempuan sebagai representasi dalam pembentukan kebijakan ataupun perencanaan perundang-undangan mampu mencegah politik hukum yang bersifat eksploitatif.

Sedangkan, dalam pergerakan akar rumput, para perempuan menyelenggarakan forum masyarakat untuk berdialog bersama guna memecahkan masalah lingkungan, serta di beberapa pola pergerakan perempuan desa, gerakan ekofeminisme dikemas dengan kearifan lokal setempat. Namun, inti dari pergerakan Ekofeminisme adalah mengusung transformasi kebudayaan yang mengarah pada keadilan ekologis, serta transformasi politik untuk meninggalkan pandangan lama yang memisahkan manusia dan alam.

Secara global, salah satu bukti keberhasilan gerakan Ekofeminisme tercermin dalam Gerakan Chipko yang dilakukan perempuan India. Buah dari pergerakan ini adalah pemerintah India mengesahkan UU Kehutanan.

Di Indonesia sendiri, nilai nilai yang diusung oleh Ekofeminisme nyatanya sudah mendarah daging dalam kearifan lokal, jauh sebelum terminologi Ekofeminisme diciptakan Francoise d’Eaubonne di tahun 1970-an. Misalnya, pada perayaan keagamaan Tumpek Wariga di Bali. Kebudayaan Bali menganggap bahwa perempuan dan laki-laki setara dalam upaya pelestarian alam. Selama ini peran penting upacara adat hanya dipegang oleh laki-laki. Namun, dalam persiapan prosesi upacara Tumpek Wariga, perempuan justru dilibatkan sebab Ia memiliki peran penting. Dengan kata lain, perempuan diberikan kesempatan yang sama untuk memelihara alam.

Upacara Tumpek Wariga, di Bali (sumber: https://balebengong.id/tumpek-wariga-pengingat manusia-dengan-alam/)

Dari contoh pergerakan Ekofeminisme di Indonesia, ada satu pola yang menarik. Pengetahuan kearifan lokal menjadi dasar pergerakan, berimplikasi kepada pergerakan yang masif dan konsisten. Kunci utama memperbaiki bumi terletak pada penghormatan kepada alam, paradigma ini dipahami dan dimaknai dalam interaksi antara masyarakat adat dengan alam.

Berikut ini adalah 2 (dua) gerakan Ekofeminisme dalam tiga dekade terakhir, yang mewarnai revolusi ekologis di Indonesia. Pertama, Kartini Kendeng dalam penolakan pabrik batu kapur di Rembang, Jawa Tengah.

Aksi Kartini Kendeng menge-cor kaki dengan semen (sumber: https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2017/04/api-kartini-dalam-pergerakan-perempuan-indonesia masa-kini/gambar-aksi-kartini-kendeng-berjuang-menolak-pabrik-semen/)

Aksi memasung kaki dengan semen, oleh sembilan perempuan Rembang di depan Istana Negara, Jakarta, menjadi simbol perlawanan terhadap pembangunan pabrik semen. Kegiatan penambangan merusak Pegunungan Karst Kendeng yang menyimpangi sumber air. Sebagai seorang ibu sekaligus petani, hilangnya sumber air mengancam kehidupan. Aktifitas domestik (mencuci, memasak, dan lainnya) serta aktfitas agrikultur (irigasi), seluruhnya membutuhkan air. Ketika para pengusaha melihat alam sebatas komoditas, masyarakat Rembang melihat alam sebagai Ibu Bumi, ibu yang memberi kesuburannya untuk dimiliki anak-anaknya.

Cara pandang ini berdampak kepada kuatnya relasi dan penghargaan manusia kepada alam. Setelah empat kali berdemonstrasi, bahkan salah satu demonstran merenggang nyawa akibat dari mengecor kaki, aksi para perempuan Rembang mendapatkan tanggapan positif dari Presiden Joko Widodo.

Kedua, gerakan kolektif menenun oleh Mama Aleta dalam penolakan tambang batu marmer di Mollo, Nusa Tenggara Timur

Proses menenun kain tradisional Mollo (sumber: https://ilovelife.co.id/blog/mama-aleta-baun pahlawan-lingkungan-yang-menjaga-bumi-ntt-lewat-kain-tenun/)

Dalam gerakan ini, 150 perempuan Mollo menenun di depan pintu tambang dan menduduki bukit Anjaf dan Nausus. Selama menenun, para perempuan bergantian tidur di lokasi tambang agar aksi menenun terus berjalan. Hingga akhirnya, pada tahun 2007 aksi mereka mulai menjadi perhatian pemerintah. Hal yang melatarbelakangi perlawanan adalah kesadaran bahwa mereka lahir dan dibesarkan dari hasil alam. Rusaknya lingkungan mengancam identitas perempuan dan masyarakat Timur. Menenun kain menjadi salah satu kearifan lokal orang Mollo, zat pewarna alami dari alam menjadi bahan baku utama. Kerusakan alam menyebabkan kelangkaan zat pewarna alami, artinya kearifan lokal Mollo terancam. Tak hanya itu air dan hutan menjadi kunci keberlanjutan rumah tangga. Banyak aktifitas rumah tangga yang membutuhkan air, jikalau membutuhkan obat obatan, kebutuhan pangan, dan lainnya, para perempuan Mollo memenuhi kebutuhan tersebut melalui hasil hutan.

Sayangnya, pergerakan ekofeminisme khususnya di Indonesia menghadapi tantangan. Pertama, perjuangan para perempuan terhenti pada sebatas pengakuan dari pemerintah terhadap kelompok yang terpinggirkan. Dengan kata lain, perempuan sebagai kelompok subordinat tidak sepenuhnya diberdayakan atau dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan lingkungan yang lebih mendalam. Hal ini juga terlihat dalam program atau kebijakan yang dilakukan institusi pemerintahan maupun non-pemerintahan. Kesetaraan gender masih bersifat semu, pelibatan perempuan hanya terhenti di tingkat partisipasi kehadiran semata (nominal). Kedua, beberapa tuntutan gerakan ekofeminisme di bidang ekologi memang terpenuhi. Namun, sangat disayangkan ketimpangan gender masih terus eksis.

Kesimpulan

Bagi perempuan, bumi dan isinya menjadi sumber penghidupan, bukan hanya komoditas ekonomi semata. Jika kerusakan alam terjadi, perempuan menjadi subjek yang paling terimbas. Kebutuhan serta peran yang ditanggungnya tidak dapat terpenuhi, sebab semua itu terpenuhi dari hasil alam. Melalui kedekatan emosional dengan alam, imbas buruk degradasi lingkungan yang menghantuinya, serta kesadaran bahwa dirinya dan lingkungan sama-sama menjadi korban eksploitasi, perempuan menjadi pionir dalam pergerakan melawan dominasi dan eksploitasi. Representasi perempuan dalam gerakan lingkungan hidup dan keberhasilannya juga membawa angin segar terhadap pergerakan.

Gerakan Ekofeminisme membuktikan bahwa perempuan memainkan peran penting dalam keberhasilan pergerakan yang minim kekerasan. Keterlibatan kearifan lokal juga berperan besar dalam memasifkan pergerakan yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Tri Marhaeni Pudji. “2064–4737–1-SM.” Indonesian Journal of Conservation 1 (2012): 49–60.

“Berharap Semen Kaki Para Perempuan Kendeng Berbuah Aksi Dari Jokowi — Mongabay.Co.Id : Mongabay.Co.Id.” Accessed January 16, 2024.

https://www.mongabay.co.id/2016/04/14/berharap-semen-kaki-para-perempuan kendeng-berbuah-aksi-dari-jokowi/.

“Ekofeminisme Dan Kearifan Lokal | WALHI Jateng.” Accessed January 16, 2024. https://www.walhijateng.org/2019/04/13/ekofeminisme-dan-kearifanlokal/.

“Ekofeminisme Dan Perjuangan Perempuan Menuntut Keadilan Lingkungan — Mongabay.Co.Id : Mongabay.Co.Id.” Accessed January 16, 2024.

https://www.mongabay.co.id/2022/05/09/ekofeminisme-dan-perjuangan perempuan-menuntut-keadilan-lingkungan/.

“Ekofeminisme: Perempuan Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup — Magdalene.Co.” Accessed January 16, 2024. https://magdalene.co/story/ekofeminisme-perempuan dalam-pelestarian-lingkungan-hidup/.

Nagari, Hajeng Pandu. “Gerakan Sosial Ekofeminisme Melawan Penambangan Marmer Di Gunung Mutis Nusa Tenggara Timur.” Ijd-Demos 2, no. 1 (April 30, 2020). https://doi.org/10.37950/ijd.v2i1.33.

Nyoman, Ni, and Oktaria Asmarani. “NILAI EKOFEMINISME DALAM TUMPEK WARIGA SEBAGAI KEARIFAN LOKAL BALI DALAM MELESTARIKAN ALAM,” n.d.

Sarjana S-, Program, and Jurusan Sosiologi oleh. “EKOFEMINISME DALAM ADVOKASI LINGKUNGAN (Studi Pada Aktivis Perempuan Walhi Jawa Tengah),” 2023.

--

--