Hak Buruh Bergejolak, Pengusaha Makin Galak

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
5 min readMay 7, 2024

Oleh: Patricia Nerissa Krisna Putri — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Ilustrasi kaum pekerja

Tulisan ini menggunakan latar belakang kasus perselisihan hubungan industrial antara pekerja The Rich Hotel Jogja yang mengalami PHK dengan PT. Garuda Mitra Sejati (The Rich Jogja Hotel) berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 11/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Yyk.

Hari-hari ini, hak buruh semakin rentan untuk direnggut. Negara yang mulai melangkah ke arah neoliberalisme semakin memperlihatkan tendensi untuk berpihak pada para kapitalis. Para buruh atau formalnya disebut “pekerja”, memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka melalui upah yang diberikan oleh pengusaha. Upah dapat diperoleh oleh pekerja apabila unsur pekerjaan dan perintah terpenuhi serta diselesaikan dengan baik sehingga pengusaha bersedia untuk mengupah para pekerja. Ketergantungan antara upah, pekerjaan, dan perintah antara pekerja dan pengusaha menimbulkan adanya hubungan subordinatif. Pengusaha sebagai pihak yang memiliki kedudukan lebih tinggi atau pemberi perintah, memiliki kapasitas untuk menekan pekerja demi keuntungannya sendiri. Di satu sisi, pekerja berfungsi sebagai penerima instruksi, yang secara tidak terelakkan harus mematuhi arahan dari pengusaha untuk memperoleh upah guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sayangnya, seringkali pengusaha menemukan celah untuk menyalahgunakan hubungan subordinatif ini, sehingga perlu disadari bahwa kedudukan atau posisi tawar menawar antara pekerja dan pengusaha tidaklah sama. Data yang dikutip dari Dinas UKM Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta pada saat kondisi COVID-19, terhitung bahwa sebanyak 209 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Lebih lanjut, sebagian besar pekerja yang terpaksa dirumahkan atau mengalami PHK berasal dari sektor perhotelan dengan persentase 44,49%. Berkaitan dengan data tersebut, menjadi menarik apabila melihat kerentanan hak pekerja dalam kasus perselisihan hubungan industrial antara pekerja The Rich Jogja Hotel dengan PT. Garuda Mitra Sejati (The Rich Jogja Hotel).

Para pekerja mengalami PHK secara sepihak oleh pengusaha tanpa adanya upaya bipartit atau komunikasi dua arah. Secara tiba-tiba, para pekerja diberitahu bahwa mereka akan dirumahkan sebagai dampak dari COVID-19, yang diikuti dengan pemutusan akses terhadap BPJS serta fasilitas dan atribut hotel. Faktanya, pekerja tersebut ditawari untuk dimutasi sesuai kebutuhan di perusahaan lain atau dirumahkan tanpa batas waktu dan tidak diberi gaji. Padahal berdasarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 yang pada Pasal 4 mengatur bahwa harus ada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja apabila sebagian atau seluruh pekerjanya tidak masuk kerja dalam rangka mempertahankan kelangsungan usaha akibat COVID-19. Namun dalam kasus ini, tidak ditemukan adanya bukti bahwa terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak; sebaliknya, terjadi pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap para pekerja. Selain itu, berdasarkan Keputusan menteri Ketenagakerjaan Nomor 104 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi COVID-19, bahwa apabila pengusaha mengeluarkan kebijakan merumahkan pekerja bukan berarti hubungan kerja itu sudah putus dan dalam upaya pemutusan hubungan kerja, sehingga upah para pekerja harus tetap dibayarkan. Akan tetapi, The Rich Jogja Hotel terlihat tidak mengindahkan keputusan ini dan justru bertindak sewenang-wenang.

Bahkan, berdasarkan pemeriksaan di persidangan, pihak The Rich Jogja Hotel tidak mengakui telah melakukan PHK sepihak dan justru menyatakan bahwa para pekerja mengajukan pengunduran diri, sehingga mereka tidak ingin memberikan uang pesangon. Pada prinsipnya, Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur agar pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi hubungan kerja, sehingga perlu adanya upaya bipartit hingga litigasi apabila belum tercapai kesepakatan. Namun, setelah adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK), ada tendensi bahwa pengusaha berwenang untuk melakukan PHK tanpa adanya proses bipartit dan penetapan LPPHI. Sehingga terlihat bahwa ada keberpihakan legislator pada pengusaha dibandingkan pekerja.

Selain persoalan PHK, persoalan perjanjian kerja juga menjadi isu yang panas antara pekerja dan pengusaha. Dalam kasus The Rich Jogja Hotel, sejumlah pekerja telah bekerja secara terus menerus selama beberapa tahun, sesuai dengan perjanjian kerja yang dibuat pada awal masa kerja, yang mana kontrak kerja yang dibuat hanya untuk 1 (satu) tahun dan tidak pernah diperpanjang setelahnya. Praktik ini menunjukkan bahwa masih ada penyimpangan terhadap jenis pekerjaan untuk PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan pengusaha justru sengaja memberlakukan PKWT untuk jenis pekerjaan yang bersifat rutin dan tetap. Tentu antara PKWT dan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) ini akan timbul hak yang berbeda bagi pekerja dalam hal terjadi PHK. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Pasal 43 ayat (2), Pengusaha dapat melakukan PHK karena alasan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian maka Pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Dalam praktek, hak akibat PHK yang disampaikan dalam pasal tersebut hanya diperoleh PKWTT, sedangkan UU CK menambah perlindungan hak akibat PHK bagi PKWT dengan kompensasi. Persoalan ini akan menjadi kompleks apabila pekerja yang telah bekerja terus menerus tanpa jeda mengalami PHK namun perusahaan tidak mau memberikan haknya dengan dalih kontrak yang dibuat adalah PKWT dan bukan PKWTT.

Posisi tawar yang tidak sama antara kedua pihak ini menjelaskan bahwa perlu adanya keterlibatan pemerintah antara hubungan kerja agar asas keseimbangan dapat terpenuhi antara pekerja dan pengusaha. Keterlibatan pemerintah dalam hubungan kerja ini disebut sebagai hubungan industrial. Pemerintah mulai melakukan campur tangan dengan berbagai regulasi terkait ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan kedua pihak agar menciptakan kesejahteraan di negara tersebut. Akan tetapi, kehadiran UU CK, yang sejak penerbitan perppu-nya telah sewenang-wenang, ternyata isi serta peraturan pemerintah turunannya turut membantu pengusaha dalam menemukan celah untuk bertindak sewenang-wenang terhadap hak-hak pekerja. Mimpi buruk pekerja untuk di-PHK semakin nyata dengan kehadiran pasal-pasal yang memperbanyak alasan bagi pengusaha untuk melakukan PHK dan tidak memenuhi hak akibat PHK sebagaimana mestinya.

Sebuah Refleksi

Situasi yang dihadapi para pekerja hari-hari ini cukup mengkhawatirkan karena kerentanan perlindungan mereka semakin terlihat nyata. Ketidaksamaan kedudukan antara pengusaha dan pekerja semakin timpang pasca kehadiran UU CK sehingga kerentanan perlindungan hak pekerja semakin terlihat nyata. Pelbagai regulasi multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum yang dibuat, dengan mudah dijadikan celah bagi pengusaha untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Maka, negara seharusnya hadir untuk melakukan pendampingan dan pengawasan yang efisien dalam proses pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan, agar pekerja juga memiliki bargaining position di hadapan pengusaha dan tidak membiarkan hak-haknya disimpangi.

Daftar Pustaka

H., Agung Prasetyo, dan Amad Sudiro. “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja dalam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan Alasan Efisiensi Akibat Pandemi COVID-19.” Jurnal Hukum To-ra 7, no. 1 (2021): 135–152.

Hernawan, Ari. Dasar-Dasar dan Perkembangan Hubungan Kerja di Indonesia Sebuah Telaah Kritis. Yogyakarta: UII Press, 2023.

Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Depok: Rajawali Press, 2019.

Indonesia, Republik. “Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.” peraturan.bpk.go.id. Februari 2, 2021. https://peraturan.bpk.go.id/Details/161904/pp-no-35-tahun-2021 (diakses pada 28 Februari 2024).

— . “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.” peraturan.bpk.go.id. November 2, 2020. https://peraturan.bpk.go.id/Details/149750/uu-no-11-tahun-2020 (diakses pada 28 Februari 2024).

— . “Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.” peraturan.bpk.go.id. Maret 25, 2003. https://peraturan.bpk.go.id/Details/43013 (diakses pada 28 Februari 2024).

Izzati, Nabiyla Risfa. Dua Tahun UU Cipta Kerja: PHK Kian Mudah, Kenaikkan Upah Jadi Paling Rendah. Oktober 26, 2022. https://theconversation.com/dua-tahun-uu-cipta-kerja-phk-kian-mudah-kenaikan-upah-jadi-paling-rendah-193090 (diakses pada 1 Maret 2024).

PEW, Eleanor, and Muhammad Ilham Baktora. BUMN Tak Beri Pesangon dan Hotel PHK Sepihak, Puluhan Pekerja Layangkan Gugatan ke PHI DIY. Maret 21, 2022. https://jogja.suara.com/read/2022/03/21/145429/bumn-tak-beri-pesangon-dan-hotel-phk-sepihak-puluhan-pekerja-layangkan-gugatan-ke-phi-diy (diakses pada 1 Maret 2024).

Rusqiyati, Eka Arifa. Dampak COVID-19 Sebanyak 1.488 Pekerja di Yogyakarta dirumahkan. April 29, 2020. https://www.antaranews.com/berita/1451600/dampak-covid-19-sebanyak-1488-pekerja-di-yogyakarta-dirumahkan (diakses pada 2 Maret 2024).

--

--