Menelisik UU ITE, Apakah Progresif atau Justru Regresif dalam Penegakan Hukum?

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
7 min readSep 16, 2020

Oleh Aqshal Adzka — Ambis belajar karena ingin menjadi praktisi hukum

Belakangan ini, terjadi kasus pemidanaan karena cuitan seseorang di media sosial secara daring. Kasus-kasus tersebut biasa diawali dengan caption seseorang yang ditulis di media sosial yang mencibir seseorang atau suatu pihak yang dituju. Hal ini terjadi karena adanya ketersinggungan oleh pihak yang dituju, pihak-pihak tersebut merasa bahwa caption yang dituju kepada mereka memiliki unsur makna yang “menyerang” sehingga kalimatnya dianggap tidak piawai. Oleh karena itu, pihak yang dituju tersebut akan merasa tersinggung lalu melaporkannya ke polisi dengan UU no. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam perkembangannya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini pertama kali diundangkan pada tanggal 21 April 2008 oleh Direktorat Jendral Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika). Kepala Biro Humas Fernandus Setu atau akrab disapa Nando, mengatakan bahwa UU ITE ini dirumuskan atas gabungan dari dua RUU, yaitu RUU E-Commerce yang dicanangkan oleh Universitas Indonesia dan RUU Tindak Pidana Teknologi oleh Universitas Padjadjaran. Lalu pada tahun 2003, kedua RUU tersebut digabung menjadi satu naskah RUU. Pada tahun 2005, Departemen Kominfo berdiri dan juga membentuk Panitia Kerja (Panja) yang beranggotakan 50 orang. Pembahasan RUU tersebut dilakukan pada tahun 2005–2007 hingga tanggal 21 April 2008 resmi dijadikan undang-undang.

Di zaman Revolusi Industri 4.0 ini juga, tentu banyak tindakan maupun perikatan yang terjadi di dunia daring. Dengan tindakan yang sebanding dengan tindakan yang kita lakukan biasanya di dunia nyata. Misalnya perdagangan melalui e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Shoppee, serta berbagai pasar daring lainnya. Melalui pasar tersebut, kita dapat bertransaksi dengan pihak lain secara langsung ditambah dengan kebijakan mereka terhadap penjual maupun pembeli yang cukup melindungi masing-masing pihak. Dengan adanya UU ITE pula, terdapat suatu adagium hukum yang cocok untuk mewakili masyarakat, ubi societas, ibi ius, di mana terdapat masyarakat, terdapat hukum yang berlaku. Dalam konteks ini saya jelaskan bahwa di mana terdapat masyarakat modern yang melakukan kegiatan daring, maka terdapat suatu hukum yang mengatur dan melindungi tiap-tiap komponen masyarakat tersebut. UU ITE ini sendiri mengatur tentang e-commerce (market place, nama domain, tanda tangan elektronik yang baik, perlindungan hak pribadi di dalam dunia daring, serta tentang cara bersikap dan berperilaku secara daring). Seperti contohnya, pada Pasal 5 ayat 1, mengatur bahwa informasi maupun dokumen dalam bentuk softcopy merupakan dokumen yang legal di mata hukum. Adanya UU ITE ini juga dapat menjadi perlindungan bagi setiap pengguna daring selama berkecimpung di dunia daring. Privasi, hak, serta tindakannya dilindungi oleh UU ITE ini tersendiri.

Menurut survei dari SAFEnet yang dipublikasikan pada kbr.id, survei pada 284 warganet dengan rentang usia 17–25 tahun, 51,4% merasa bahwa UU ITE merupakan ancaman kebebasan dalam berekspresi di dunia maya. Persentase tersebut melebihi 50% dari responden yang menurut saya merupakan angka yang cukup besar dalam responsnya terhadap UU ITE. Beberapa pasal dalam UU ITE yang digunakan untuk menuntut orang adalah Pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang muatan yang melanggar kesusilaan, Pasal 27 ayat 2 UU ITE tentang hal yang bermuatan perjudian, serta Pasal 27 ayat 3 UU ITE, yang merupakan pasal yang dianggap paling karet yaitu tentang mengtransmisikan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal 27 ayat 3 ini dianggap karet karena unsurnya yang memuat “penghinaan” serta “pencermaran nama baik”, yang di mana tidak ada parameter yang jelas bagaimana seseorang bisa merasa dihina ataupun nama baiknya dicemarkan. Bagaimana suatu kata yang memiliki makna kasar dapat dianggap sepenuhnya untuk menjelek-jelekan orang lain? Ataupun tindakan yang dianggap merendahkan seseorang tanpa mementingkan faktor terjadinya suatu tindakan tersebut.

Kita dapat menelisik pada kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram. Beliau dilecehkan oleh inisial M, Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram melalui media telepon. Di mana dalam proses telepon tersebut selama 20 menit, M hanya sekitar 5 menit berbicara soal pekerjaannya dan dalam sisa waktu 15 menit, M bercerita tentang pengalaman seksualnya bersama wanita yang bukan instrinya. Atas peristiwa tersebut, Baiq bercerita kepada koleganya, Imam Mudawin, terkait pembicaraan Baiq dengan M yang direkam. Akan tetapi, Imam justru menyebarkannya kepada Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram. Atas penyebaran tersebut, M justru melaporkan Baiq atas dasar Pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang pengtransmisian muatan yang melanggar kesusilaan di mana Baiq dianggap menyebarkan rekaman tersebut, yang di mana penyebarnya seharusnya adalah Imam. Kasus tersebut berlanjut hingga proses peradilan di Pengadilan Negeri Mataram, di mana diputuskan Baiq tidak bersalah dan dibebaskan dari status tahanan kota. Kalah di persidangan, JPU mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima 9 November 2018 menyatakan bahwa Baiq Nuril melakukan tindak pidana dengan dasar “Tanpa hak mendistribusi dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”. Atas tuntutan tersebut, Baiq dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Selain Baiq, terdapat juga kasus penyalahgunaan UU ITE dalam konteks yang berbeda. Seorang jurnalis bernama Diananta Putra yang biasa dipanggil Nanta dipidana dengan dasar tindakan ujaran kebencian SARA pada Pasal 28 ayat 2 jo. Pasal 45A UU no. 11 tahun 2008 tentang ITE. Kasus tersebut diawali dengan tulisannya mengenai kasus berita konflik lahan masyarakat adat dengan PT. Jhonlin Agro Raya(JAR), anak usaha Jhonlin Group milik Haji Isam, yang di mana Nanta memuat berita tersebut dalam Banjarhits.id, tempat ia bekerja sebagai pemimpin redaksi. Nanta memuat beberapa artikel yaitu, “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Jaksel” pada tanggal 7 November 2019, “Demi Sawit, Jhonlin Gusur Tanah Warga Tiga Desa di Kotabaru” pada tanggal 8 November 2019, dan “Dayak se-Kalimantan akan Duduki Tanah Sengketa di Kotabaru” pada tanggal 9 November 2019. Atas kasus tersebut, Nanta justru dilaporkan oleh narasumbernya sendiri, yaitu Sukirman. Sukirman melaporkan Nanta atas kasus tersebut karena terdapat pernyataan Sukirman mewanti-wanti perampasan lahan oleh JAR agar bisa memicu konflik etnis antara Dayak dan Bugis dan sosok Andi Syamsudin Arsyad selaku bos Jhonlin Grup keturunan Bugis sudah sewenang-wenang terhadap warga Dayak. Sukirman merasa bahwa ia tidak pernah mengatakan hal tersebut untuk media, beliau sebagai Ketua Umum Majelis Kepercayaan Kaharingan Indonesia, menolak atau tidak menginginkan adanya konflik antara Suku Dayak dan Suku Bugis serta menginginkan permasalahan lahan antara PT. JAR dan warga Desa Cantung Kiri Hilir dapat diselesaikan dengan jalur kekeluargaan. Atas tindakannya yang dianggap menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA, Nanta pun dituntut dengan Pasal 45 ayat 2 dengan hukuman paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00.

Melihat dua kasus yang sudah saya jabarkan di atas, tentu hal tersebut cukup membingungkan bukan? Melihat seorang guru honorer yang merupakan salah satu korban pelecehan justru menjadi tersangka karena UU ITE, serta seorang jurnalis yang memuat berita tentang sengketa lahan secara faktual justru dituntut karena dianggap memuat omongan yang dianggap fiktif. Menurut Prof. Eddy Hiariej, kesalahan dalam pengertian normatif bahwa penilaian dari luar yang menggunakan parameter normatif untuk menentukan bahwa perbuatan tersebut dapat dicelakan kepada pelaku. Pada kasus pertama yaitu Baiq Nuril, tentu terdapat adanya tindakan yang tidak normatif sama sekali yaitu pelecehan kepada korban oleh M, yang di mana M ini justru menjadi seorang penuntut atas dasar UU ITE. Tentu hal ini sangat tidak masuk akal di mana seorang pelaku kejahatan justru playing victim karena merasa dilaporkan. Baiq sendiri justru melakukan tindakan yang sangat manusiawi menurut penulis. Beliau sebagai korban yang merasa dilecehkan jelas akan menceritakan pengalaman tidak mengenakannya tersebut kepada kerabat terdekatnya, Imam, yang di mana menjadi pelaku penyebar rekaman percakapan antara Baiq dan M, tentu terjadi suatu fenomena error in persona bukan? Ditambah lagi dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi Baiq merekam percakapan tersebut, yaitu merasa tidak nyaman. Lalu pada kasus kedua yaitu Nanta, Beliau sebagai pers mempunyai peranan yang diatur dalam Pasal 6 huruf a UU Pers untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas untuk mengetahui, lalu pada Pasal 6 huruf c, Beliau juga mengembangkan pendapat umum melalui informasi yang tepat, akurat, dan benar. Nanta sendiri mencari sumber yang kredibilitasnya dapat dipercaya yaitu Sukirman, yang justru menjadi bumerang kepadanya sendiri karena menjadi penuntut dalam kasus tersebut dengan UU ITE. Unsur kesalahan tersendiri juga tidak terdapat pada kasus Nanta, beliau sebagai pers hanya menyebarkan informasi gejolak sosial yang ada di daerahnya. Terkait tentang tindakan dari Baiq Nuril serta Diananta Putra, tentu terdapat unsur kesengajaan yang dilakukan pada keduanya dalam melakukan tindakannya tersebut. Akan tetapi, dalam konteks hukum pidana sendiri kesengajaan untuk melakukan tindakan dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut undang-undang. Dengan Baiq bercerita mengenai pengalamannya dan Nanta yang memberitakan polemik pada daerahnya, tentu kedua hal tersebut merupakan hal yang lumrah tanpa ada menyerang pihak lain. Akan tetapi, dengan adanya UU ITE khususnya pada Pasal 27 dan Pasal 28 yang di mana terlalu “karet” di mana tidak ada parameter suatu orang dalam menghinda orang lain maupun penyebaran berita bohong, tentu di sini terdapat keanehan dalam isi UU tersebut. Menurut Pasal 5 huruf f UU no. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tercantum frasa bahwa harus adanya kejelasan rumusan dalam suatu peraturan khususnya undang-undang. Tentu kita tahu tidak ada parameter seseorang dapat merasa terhina. Misalkan kita berkata kata kasar terhadap tetapi terhadap lawan bicara yang berbeda, contoh dengan sahabat dan orang yang baru kenal, tentu perbedaan konteks lawan bicara tersebut mempengaruhi makna dari kata itu sendiri. Maka dari itu, menurut saya perlu adanya perubahan lagi terhadap UU no. 19 tahun 2016 tentang ITE, walaupun perubahan pertamanya sudah cukup mencakup banyak faktor, namun penggunaan frasa harus lebih ditekankan lagi

Referensi

https://id.safenet.or.id/2020/05/safenet-rilis-petisi-bebaskan-nanta/

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon

https://rendratopan.com/2019/03/18/adagium-hukum/

https://tirto.id/solidaritas-untuk-diananta-jurnalis-yang-dipenjara-karena-berita-fEnX

https://aptika.kominfo.go.id/2019/02/menilik-sejarah-uu-ite-dalam-tok-tok-kominfo-13/

https://kalimantanpost.com/2020/07/nanta-dituntut-enam-bulan-penjara/

https://kumparan.com/banjarhits/klarifikasi-sukirman-soal-berita-konflik-etnis-1sFxfeofd7J

https://regional.kompas.com/read/2020/07/21/15592381/seorang-wartawan-di-kalsel-dituntut-enam-bulan-penjara-karena-berita?page=all

https://www.change.org/p/majelis-hakim-pengadilan-negeri-kotabaru-bebaskan-nanta-stoppidanakanjurnalis?utm_source=share_petition&utm_medium=custom_url&recruited_by_id=075996b0-c346-012f-9a0b-4040d2fbfbbf

https://kbr.id/nasional/02-2020/survei__banyak_warganet_anggap_uu_ite_ancam_kebebasan_berekspresi/102257.html

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Hiariej, Eddy. 2020. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka

Aqshal Adzka

--

--