Mengkritisi Kebijakan Sistem Multipartai Indonesia Melalui Lensa Demokrasi

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
3 min readJun 7, 2024

Oleh: Bimo Candra — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Indonesia merupakan negara demokrasi, yang ditandai dengan pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai negara demokrasi, Indonesia telah menganut kebijakan multipartai sejak era kemerdekaannya pada tahun 1945. Sistem ini dianggap kompatibel mengingat masyarakat Indonesia yang sangat plural dalam konteks budaya, agama, dan politik. Sistem multipartai diyakini dapat menyediakan ruang politik bagi berbagai kalangan, sehingga mencegah terciptanya pemerintahan yang dikendalikan secara sepihak.

Di sisi lain, ketika sistem multipartai dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlementer, terdapat kecenderungan yang menempatkan kekuasaan penuh pada badan parlemen, sehingga menciptakan ketimpangan kekuasaan antara badan legislatif dan badan eksekutif. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan partai dalam mendirikan kekuatan yang stabil secara tunggal, sehingga diperlukan pembentukan koalisi dengan partai lain untuk mencapai pemerintahan yang stabil. Konsep koalisi umumnya merupakan persekutuan di antara beberapa partai politik atas dasar persamaan kepentingan dan bertujuan untuk memperoleh kekuasaan lebih besar. Namun, sistem multipartai menuai banyak kritik dalam pengimplementasiannya dan menimbulkan persepsi kontra dengan argumen bahwa sistem multipartai tidak kompatibel jika diintegrasikan dengan sistem presidensial. Oleh karena itu, karya tulis singkat ini bertujuan untuk menilai efektivitas sistem multipartai dan implikasinya terhadap dinamika bangsa.

Sistem multipartai adalah sistem kepartaian yang memiliki lebih dari dua partai politik tanpa ada satupun partai yang memiliki mayoritas mutlak. Sistem ini mulai diberlakukan dengan pada masa Orde Reformasi untuk memperluas keterwakilan seluruh golongan rakyat Indonesia. Akibatnya, jumlah partai pun membengkak menjadi puluhan pada masa sekarang. Partai-partai tersebut kemudian membentuk koalisi untuk meraih suara dan kekuasaan lebih, seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Namun, hal ini berimplikasi pada sistem presidensial negara ini. Banyaknya partai dalam koalisi menyebabkan munculnya berbagai kepentingan dari partai-partai dalam koalisi tersebut, sehingga bisa menciptakan pemerintah yang dikendalikan dari belakang layar oleh koalisi partai-partai pemenang pemilu. Saat ini, partai politik menunjukkan kekuasaannya melalui wakil-wakil mereka yang duduk dalam badan legislatif maupun eksekutif.

Dalam beberapa kasus, kerap terjadi pertentangan antara kepentingan partai dengan pemerintah. Misalnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) serentak menentang kebijakan pemerintah Presiden SBY. Contoh lainnya adalah naskah Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) yang disusun pada 2008. Meskipun hampir dua dekade telah berlalu, hingga saat ini belum terdapat sinyal pembahasan dari badan legislatif yang terlihat enggan menyepakati RUU PATP ini. Dari contoh-contoh kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa banyak kepentingan partai politik yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Hal ini berdampak pada efektivitas pemerintahan yang cenderung mengutamakan kepentingan partai daripada kepentingan rakyat.

Kemudian, hingga saat ini, belum terdapat peraturan yang mengatur jumlah maksimal pembentukan partai. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, partai politik memperoleh bantuan keuangan dari APBN dan APBD yang pengaturannya tidak transparan. Saat ini, terdapat sekitar 20 partai politik yang masing-masing mendapatkan suntikan dana dari APBN/APBD. Selain itu, jumlah maksimal partai yang belum diatur dapat menyebabkan APBN/APBD terkuras akibat jumlah partai politik yang tidak terbatas. Pada tahun 2023, tercatat bahwa pemerintah menganggarkan Rp 126 miliar untuk partai politik. Untuk memahami permasalahan tersebut, penting untuk mempertimbangkan reformasi dan mekanisme pengawasan yang dapat meningkatkan efisiensi dan stabilitas dalam sistem multipartai. Peningkatan komunikasi antarpartai, penguatan aturan-aturan yang mengatur pembentukan koalisi, dan pendidikan politik kepada masyarakat dapat menjadi langkah-langkah yang mendukung perkembangan sistem multipartai yang sehat dan efektif.

Sebagai kesimpulan, sistem multipartai membawa potensi keberagaman dan representasi yang lebih luas, namun juga memiliki ancaman-ancaman yang memerlukan perhatian serius. Diperlukan penyesuaian-penyesuaian sistem terhadap kondisi-kondisi riil yang sedang dijalani oleh masyarakat saat ini. Dengan pemahaman mendalam terhadap dinamika sistem multipartai, masyarakat dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi tantangan dan memperkuat kerangka sistem politik yang inklusif dan stabil.

--

--