Menurunnya Nuansa Ideologis Menghidupkan Kartel Politik

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
8 min readMay 6, 2024

Oleh: Muhammad Yahya Widiana — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Saling sikut ideologi tampaknya kehilangan marwah pasca-Perang Dingin pada tahun 1991. Komunisme telah runtuh disertai bubarnya Uni Soviet berikut negara-negara Blok Timur. Sejalan dengan konsep tersebut, Fukuyama (1992) menyatakan bahwa runtuhnya komunisme (Uni Soviet) menjadikan demokrasi liberal dari Amerika Serikat sebagai ideologi yang mendominasi dunia. Pada titik ini, ia menjadi episentrum ideologis tanpa adanya pesaing yang signifikan. Kondisi demikian yang lantas disebut sebagai masa Post Ideological yang bertahan hingga saat ini. Periode tersebut disebut menggambarkan keadaan masyarakat pada saat ini yang cenderung hidup dengan pragmatis dan tidak terlalu dipengaruhi oleh ideologi tertentu. Dalam kamus Oxford, Post Ideological didefinisikan sebagai “designating or relating to a time in which (a particular) society is no longer characterized by a strong adherence to political or social ideologies”. Dengan kondisi demikian, ideologi terasa absen dalam gelanggang politik. Kondisi ini pun berimplikasi pada status partai-partai politik yang semakin kehilangan jati diri berupa ideologi dewasa ini.

Layaknya sebuah kompas, ideologi dimanifestasikan sebagai instrumen bagi partai politik untuk menentukan arah haluannya. Adanya ideologi mengkreasikan suatu kerangka pemikiran yang memberi fondasi landasan prinsip untuk merumuskan segala hal yang diperlukan dalam keberlangsungan partai. Diferensiasi antar ideologi yang tajam diperlukan mengingat perannya sebagai penyambung lidah antara pemerintah dan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya. Peran ideologi bagi partai juga sangat signifikan dalam menentukan posisi untuk menyikapi suatu kebijakan publik. Namun, dalam perjalanannya pasca-Perang Dingin usai, ideologi partai politik di Indonesia semakin kabur dan sulit untuk diidentifikasi.

Dalam memetakan sebuah ideologi ada terminologi “kanan” dan “kiri” yang terbentuk pertama kali pada saat Revolusi Perancis, tepatnya saat para anggota Majelis Nasional Prancis bertemu untuk merumuskan seberapa besar wewenang yang dimiliki Raja Louis XVI. Saat pertemuan tersebut, fraksi yang ingin mengurangi kekuasaan raja berada di sebelah kiri ketua sidang dan fraksi yang ingin mempertahankan kekuasaan raja berada di sebelah kanan. Lalu pada perkembangannya spektrum “kanan” dan “kiri” ini menyebar ke seluruh dunia. Secara sederhana kiri bisa diartikan sebagai gerakan revolusioner yang progresif sedangkan kanan bisa diartikan sebagai gerakan yang konservatif. Dalam konteks politik di Eropa, Klaus Von Beyme menyusun beberapa ideologi pada sebuah sumbu horizontal. Urutannya dari kiri ke kanan adalah komunis, sosialis, green movement, liberalis, demokratis kristen, dan ekstrimis sayap kanan.

Dalam konteks pemetaan pemikiran politik Indonesia, tepatnya di Jawa pada masa kolonial, Clifford Geertz mengelompokkan masyarakat jawa menjadi tiga golongan, yakni abangan, santri, dan priyayi. Abangan merujuk pada kelompok yang memegang ajaran Islam, namun dengan mengintegrasikannya dengan sinkretisme jawa. Abangan memiliki karakter populis, oleh karena itu orientasi politiknya lebih ke arah partai-partai sosialis ataupun komunis, seperti PKI. Santri merujuk pada kelompok yang memegang teguh doktrin Islam secara murni yang orientasi politiknya tertuju pada partai Islam, seperti Masyumi dan PNU. Lalu ada golongan bangsawan yang memiliki karakter tradisionalis dan menekankan aspek Hindu-Budha, golongan ini disebut priyayi. Orientasi politik golongan priyayi tertuju pada partai yang memiliki penghargaan terhadap budaya, tradisi, serta kebanggaan atas bangsanya, seperti PNI.

Pada tahun 1970 ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Feith dan Castles yang membahas mengenai pembagian aliran politik partai-partai di Indonesia pada 1945 sampai 1965 dengan memakai perspektif yang lebih luas, yakni dengan memperhatikan pengaruh norma politik dari negara-negara barat. Penelitian tersebut membagi aliran politik Indonesia menjadi lima, yaitu nasionalis radikal (PNI), tradisional Jawa (hampir mencakup semua partai), komunisme (PKI), Islam (Masyumi dan PNU), dan sosialisme demokrat (PSI). Saat itu, nuansa ideologis sangat terasa, contohnya saat adanya diskusi mengenai landasan negara di Badan Konstituante antara partai-partai Islam yang setuju dengan nilai nilai Islam sebagai landasan negara dan partai-partai yang berkenan Pancasila sebagai landasan negara.

Terjadinya degradasi ideologi pada partai politik di Indonesia bermula dari kebijakan deideologisasi dan deparpolisasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kebijakan yang diklaim sebagai sarana untuk menciptakan stabilitas politik justru dalam praktiknya menjadi alat untuk mengukuhkan sistem politik otoriter. Rezim Orde Baru pada saat itu berusaha menghapuskan politik aliran dan menyederhanakan partai politik menjadi tiga golongan, yaitu golongan islam (PPP), golongan nasionalis (PDI), dan golongan karya (Golkar). Rezim Orde Baru lewat kebijakannya juga telah menghapuskan partai politik dan segala ormas yang berbau komunisme. Penyatuan ideologi di bawah Pancasila dan konsolidasi kekuasaan yang bertumpu kepada Golkar sebagai partai penguasa dan militer menyebabkan partai politik kehilangan ideologi khas mereka karena harus mengikuti interpretasi resmi pemerintah. Penyaluran aktivisme politik sudah diatur dalam sistem korporatisme negara dan siapa yang offside dari garis yang telah ditetapkan dalam penyaluran aktivisme politik maka akan dianggap ilegal dan mengancam stabilitas politik, dengan demikian rezim menjadikan rakyat sebagai massa mengambang yang apolitis dan tidak memiliki preferensi politik atau kecenderungan terhadap spektrum ideologi tertentu, selain kepada pemerintah.

Setelah Orde Baru tumbang, langkah-langkah untuk memulihkan demokrasi mulai dilaksanakan. Salah satunya dengan adanya UU №2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik sebagai pengganti UU №31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik yang dalam substansinya menghidupkan kembali sistem multipartai dan lebih memberikan ruang kepada partai politik untuk mengeksplorasi ideologinya asalkan masih mencantumkan dan tidak bertentangan dengan Pancasila. Pada awal era Reformasi, kebebasan berpolitik terlahir kembali dan membukakan pintu untuk eksperimentasi ideologi partai politik. Pada saat itu partai politik berusaha kembali menghidupkan nuansa ideologis pada masa sebelum Orba dengan mengaitkan diri dengan partai-partai besar di masa lalu, contohnya PDI dan PDIP yang mengaitkan diri dengan PNI, PKB mengaitkan diri dengan PNU, dan PBB dengan Masyumi. Nuansa ideologis juga terlihat pada saat terbentuknya poros tengah menjelang pemilihan presiden oleh MPR tahun 1999. Poros tengah terdiri dari partai-partai Islam dan bertujuan untuk menjadi kekuatan alternatif antara Golkar yang dianggap sebagai penerus Orba dengan PDIP yang nasionalis. Namun, dalam perjalanannya nuansa ideologis saat masa awal reformasi mulai pudar.

Saat ini sangat sulit mengidentifikasi spektrum ideologi dari tiap partai politik. Pragmatisme dalam berpolitik yang sudah merajalela menjadi kabut tebal yang menghalangi kejelasan ideologi partai. Agama menjadi satu-satunya aspek yang membedakan ideologi antar partai di Indonesia. Hasil survey dari Lembaga Survei Indonesia dan Australian National University semakin menegaskan pernyataan tersebut. Ketika para responden diminta menilai letak ideologi partai mereka dengan parameter 1–10 dalam spektrum ideologi, yaitu kiri (progresif) dan kanan (konservatif) tidak ditemukan perbedaan nilai yang mencolok antara satu partai dengan partai yang lain, semua cenderung ke arah kanan tengah. Begitu pula saat responden diminta menilai partai mereka dengan parameter 1–10 dalam kecondongan mereka terhadap kesetaraan ekonomi (1) atau pertumbuhan ekonomi (10). Hasilnya sama, tidak ada perbedaan nilai yang mencolok, semua cenderung ke arah kanan tengah. Namun, saat diminta menilai dari 1–10 tentang kedudukan partai mereka antara Pancasila (1) dan Islam (10) maka perbedaan yang ada cukup mencolok, PDIP paling Pancasilais dengan skor 1,82 dan PPP paling Islamis dengan skor 7,22.

Pembelahan ideologi yang seakan menjadi warna politik di indonesia adalah antara agamis dan nasionalis. Akan tetapi, partai yang menganut agamis maupun nasionalis sama-sama tidak konsisten dalam pelaksanaannya. Partai nasionalis pasti juga mengaku agamis dan partai agamis pasti juga mengaku nasionalis. Hal tersebut dilakukan karena sebenarnya nasionalisme dan agama bagi masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan. Pertanyaannya adalah apakah pembelahan antara nasionalis dengan agamis relevan dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat ke dalam lembaga politik, salah satunya dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut Zainal Arifin Mochtar jawabannya adalah tidak relevan kecuali dalam isu-isu tertentu, salah satu contohnya tidak adanya perdebatan ideologis antara nasionalis dan agamis dalam UU Cipta Kerja. Peran antara agamis dan nasionalis dari partai politik tidak terlihat dalam ranah vital, seperti kebijakan sosial dan ekonomi. Kondisi tersebut jelas menggambarkan berjalannya praktik kartel politik.

Ambardi (2009) berpendapat dalam kajiannya bahwa perilaku partai politik tidak lagi digerakkan oleh kepentingan ideologis, tetapi lebih didominasi oleh upaya untuk tetap berada dalam lingkar kekuasaan dengan cara-cara pragmatis. Perilaku seperti itu disebut sebagai kartel politik. Ambardi memberikan lima karakteristik sistem kepartaian yang sudah terjangkit kartelisasi, yaitu, hilangnya peran ideologi partai, sifat permisif dalam pembentukan koalisi, tidak adanya oposisi, hasil pemilu tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perilaku partai, dan kecenderungan untuk berafiliasi menjadi satu kelompok dalam menangani isu-isu kebijakan yang berkembang. Menurunnya nuansa ideologis bisa diamati dalam hajat-hajat demokrasi, salah satunya dalam pemilihan presiden. Setelah diumumkan siapa pemenang kontestasi pemilihan presiden, biasanya partai politik yang sebelumnya berkoalisi dengan pihak lawan akan berusaha melobi masuk ke dalam lingkar kekuasaan. Contoh yang paling dekat ada pada Pemilihan Umum Presiden 2019, beberapa partai yang mengusung Prabowo-Sandi (PAN, Gerindra) pelan-pelan masuk ke dalam lingkar kabinet, termasuk Prabowo sendiri. Sedangkan Partai Demokrat, walaupun tidak dimasukkan dalam kabinet, sebelum diumumkannya kabinet yang terbentuk menyatakan bahwa akan ikut koalisi dan hengkang dari oposisi jika ada kadernya yang masuk dalam kabinet. Kelakuan koalisi tersebut menyebabkan PKS menjadi partai oposisi sebatang kara. Hal tersebut menunjukkan sangat terasanya motif oportunis dibanding ideologis. Contoh lain dipraktekkan dengan sangat baik oleh PSI (Partai Solidaritas Indonesia) pada tahun 2024 ini. PSI yang sebelumnya menjadi partai yang berseberangan dengan Prabowo kini mendukungnya secara penuh karena dibaliknya ada sosok yang mereka kultuskan, yaitu Jokowi. PSI mengalami inkonsistensi ideologi yang mereka deklarasikan dulu, yakni sebagai partai yang tak tersandera dengan kepentingan politik lama. PSI yang sekarang nirideologi dan hanya membebek pada Jokowi, terlihat dari perilakunya yang membela skandal dinasti politik Jokowi lewat MK dan proses instan Kaesang yang langsung menjadi ketua umum.

Pragmatisme dari partai politik akan melahirkan kartel politik yang tentu berdampak buruk bagi kesehatan demokrasi, sifat partai yang memprioritaskan kepentingan memperoleh kekuasaan dibandingkan mengakomodasi aspirasi yang sejalan dengan ideologinya membuat tidak tersalurkannya kepentingan rakyat dalam pembentukan regulasi. Kartel politik menyebabkan hilangnya oposisi yang menjadikan tidak adanya kekuatan penyeimbang yang mampu mengontrol perilaku penguasa. Dampak yang lebih buruk adalah jika pemilu sebagai momentum demokratis hanya akan menjadi acara/seremonial belaka karena masyarakat yang juga sudah terjangkit pragmatisme, jika seperti itu suara mereka nantinya hanya menjadi komoditas yang bisa dijual belikan bagi elit politik. Oleh karenanya ideologi harus dijaga dan diperlakukan sebagai kemewahan/martabat oleh partai politik.

Daftar Pustaka

Anam, A. Khoirul, ‘Jejak Clifford Geertz Di Indonesia: Mengoreksi Trikotomi Santri, Abangan Dan Priyayi’, Mozaic : Islam Nusantara, 2.2 (2016), 1–14

<https://doi.org/10.47776/mozaic.v2i2.80>

Andrews, Evans, ‘Dari Mana Istilah “Sayap Kiri” Dan “Sayap Kanan” Berasal?’,

History.Com, 2023 <https://www.history.com/news/how-did-the-political-

labels-left-wing-and-right-wing-originate> [accessed 6 January 2024]

Dwi Putro, Widodo, ‘Pancasila Di Era Paska Ideologi’, Veritas et Justitia, 5.1 (2019), 1–19 <https://doi.org/10.25123/vej.3233>

Hipotesa, Apa Yang Membedakan Partai-Partai Indonesia?, 2018<https://www.youtube.com/watch?v=1smFvjFss08&ab_channel=Hipotesa>

Kuliah Umum “Quo Vadis RUU KUHP” Prodi Hukum Bisnis UNM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, 2022 <https://www.youtube.com/watch?v=jF9bK_iFBT0&t=1235s&ab_channel= HukumBisnisFIS-HUNM>

Mochtar, Zainal, ‘Bagaimana PSI Menjadi Bagian Dari Kartel Politik?’, Majalah.Tempo.Co, 2023 <https://majalah.tempo.co/read/laporan- khusus/170539/kartel-politik-psi> [accessed 11 January 2024]

— — — , Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang (Yogyakarta: EA Books 2022)

Noor, Firman, ‘Perilaku Politik Pragmatis Dalam Kehidupan Politik Kontemporer: Kajian Atas Menyurutnya Peran Ideologi Politik Di Era Reformasi’, Masyarakat Indonesia, 40.1 (2014), 57–74

Romli, Lili, ‘Reformasi Partai Politik Dan Sistem Kepartaian Di Indonesia’, Politica, 2.2 (2011), 199–220

Sigit, Andre, ‘Kekeringan Ideologis Parpol’, 2018 <https://www.kompas.id/baca/opini/2018/09/26/kekeringan-ideologis-parpol>

Tobias, San, Spektrum Politik Parpol Indonesia: Masih Ada Kiri-Kanan?, 2023 <https://www.youtube.com/watch?v=kIXZ6f0fO1Q&t=172s&ab_channel=P interPolitikTV>

Widyarini, Dyah, ‘Politik Kartel Bayangi Masa Depan Indonesia?’, Pinterpolitik.Com, 2020 <https://www.pinterpolitik.com/ruang-publik/politik-kartel-bayangi-masa-depan-indonesia/>

--

--