Musik, Propaganda, dan Pembebasan Rakyat

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
4 min readSep 15, 2020

Oleh Gde Anresamsya Devadatta — Mahasiswa Lama dalam Tatanan Dunia Baru

“Take me to the magic of the moment on a glory night, where the children of tomorrow share their dreams with you and me. Take me to the magic of the moment on a glory night, where the children of tomorrow dream away. In the wind of change.” Wind of Change oleh Scorpions

Dari sepenggal lirik lagu Wind of Change, yang membawakan kisah runtuhnya tembok Berlin, sebuah momentum abad ke — 20.

“Generals gathered in their masses, just like witches at black masses. Evil minds that plot destruction, sorcerer of death’s construction. In the fields the bodies burning, As the war machine keeps turning. Death and hatred to mankind, poisoning their brainwashed minds. Oh Lord yeah!” — War Pigs oleh Black Sabbath

Hingga pesan anti — perang yang dibawakan oleh band metal Black Sabbath. Membuktikan bahwa musik akan selamanya relevan, karena masalah di dunia ini berkutat di itu — itu saja. Serta membuktikan bahwasanya musik merupakan salah satu alat propaganda yang efektif di masa lalu, masa sekarang, tidak menutup kemungkinan pula, di masa depan.

Band Rage Against the Machine yang menciptakan tren musik resistance (pro rakyat/oposisi pemerintah) dengan lagu — lagunya seperti “Bulls on Parade” dan “Killing in The Name” menyampaikan kekecewaan terhadap iklim politik AS serta perlawanan terhadap rasisme sistemik. Hal ini menunjukan bahwa sesungguhnya oposisi sangat dibutuhkan dalam sebuah sistem pemerintahan untuk mengedukasi rakyat dan (saya menyebutnya) menantang atau menguji status quo.

Musik sebagai sebuah alat propaganda pro — rakyat juga sering kita temukan di Indonesia. Lagu — lagu seperti; (Bento — Iwan Fals), (Seperti Para Koruptor — Slank), (Mafia Hukum — Navicula), (Padi Milik Rakyat — Feast), (Di Udara — Efek Rumah Kaca), (Ini Judulnya Belakangan — Nosstress) dan masih banyak lainnya. Membawakan berbagai macam pesan, mulai dari kritik terhadap pemerintah, masalah korupsi di negeri ini, pembunuhan akrivis, hingga polemik terhadap keasrian lingkungan hidup. Lirik — lirik yang “menyentil”, baik telinga pemerintah maupun telinga rakyat memaksa kedua belah pihak untuk mendengar tentang apa yang sedang terjadi di sekitar mereka.

Musik merupakan sebuah alat propaganda yang tak lekang oleh waktu, seperti yang saya katakan di awal, masalah dunia ini berputar di permasalahan yang itu — itu saja. Musik yang berumur 25 tahun, 50 tahun, atau 75 tahun pun akan selalu terasa relevan.

Musik merupakan sebuah alat propaganda yang sangat powerful, mengapa saya katakan demikian? Karena musik memiliki kekuatan untuk membawa kita ke suatu tempat, suatu momen, dan kita seolah — olah akan merasakan dan menimbulkan empati terhadap visualisasi yang kita dapatkan. Saya ambil contoh lagu Wind of Change oleh Scorpions, kita akan merasakan nasib rakyat jerman yang terpisah oleh tembok Berlin akibat dari perang dingin atau perang ideologi kanan dan kiri, merasakan perasaan yang menyadarkan kita bahwa manusia merupakan suatu entitas yang merdeka, merasakan bahwa semua manusia punya mimpi, dan mimpi itu terlalu besar untuk dirampas oleh suatu perseteruan antara dua ideologi, dan pamungkasnya merasakan euforia kala tembok itu diruntuhkan.

Zaman sekarang mulai bermunculan musisi — musisi yang membawa kepentingan rakyat dan membela kaum marjinal. Kabar baiknya, tren ini diterima positif oleh pasar, mengingat Indonesia sudah dikuasai oleh lagu — lagu pop mellow selama kurang lebih 1 dekade terakhir. Tren ini membuktikan bahwa orang — orang sudah mulai muak dengan lagu “cinta — cintaan”. Saya berharap tren ini akan terus bertumbuh, semakin banyak musisi — musisi bermunculan yang membawa sebuah pesan perlawanan kepada kedua belah pihak, baik pemerintah maupun kita yang masih tidak awam dengan keresahan — keresahan yang ada.

“Kami bukan produk orde baru. Doktrin palsu dan rekayasa zaman. Kita sedang dalam zona bahaya, duduk diam tanpa perlawanan. Kami tahu. Mengadu domba baruna dan pertiwi, untuk harta yang ‘tak dibawa mati. Dalih penghijauan kembali, menjadi beton di sana — sini. Nasib kami ‘tak terpaut investasi. Kami tahu. Jangan siksa tanahku, manipulasi massa. Jangan siksa tanahku, bungkam media. Jangan kubur lautku, bayar pewarta. Jangan kubur lautku.”Kami Tahu oleh Jangar

Musik, propaganda, dan pembebasan rakyat. Sebuah seni, sebuah alat, dan tujuan abadi.

Merdeka!

Referensi

Musisi ‘Tampar’ Pemerintah Lewat Karya-Karyanya — Boombastis.Com | Portal Berita Unik | Viral | Aneh Terbaru Indonesia. [online] <https://www.boombastis.com/musisi-kritisi-pemerintah/127322> [diakses 6 September 2020].

Bienstock, R., 2020. Scorpions’ ‘Wind Of Change’: The Oral History. [online] Rolling Stone. Available at: <https://www.rollingstone.com/music/music-news/scorpions-wind-of-change-the-oral-history-of-1990s-epic-power-ballad-63069/> [diakses 6 September 2020].

Hughes, R. and Rock, C., 2020. Story Behind The Song: Killing In The Name By Rage Against The Machine. [online] Classic Rock Magazine. Available at: <https://www.loudersound.com/features/story-behind-the-song-killing-in-the-name-by-rage-against-the-machine> [diakses 6 September 2020].

Gde Anresamsya Devadatta

--

--