Pengujian Satu Atap, Perlukah?

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
5 min readMay 7, 2021

Oleh: Kebin Athilla — Mahasiswa

Urgensi dari satu atap perlu ditinjau lagi dari keadaan di status quo dan perlu dilihat kembali bagaimana hal ini dapat dibenarkan dari segi esensi dan efektifitas. Saat ini, terdapat pembagian pengujian peraturan perundang-undangan yang didasarkan atas hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengujian Undang-Undang (UU) terhadap UUD NRI 1945 merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tertera pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Sedangkan peraturan perundang-undangan di bawahnya terhadap UU merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana termuat dalam konstruksi Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Secara historis, terbentuknya MK merupakan Lembaga yang dibentuk atas semangat untuk menegakkan hukum dari segi konstitusi. Menurut Jimmly Asshidique, MK (yang mana diperkenalkan oleh Hans Kelsen) memiliki dasar teoretis yang kuat dimana ia menjelaskan bahwa diperlukan suatu organ tersendiri di luar badan legislatif yang dapat menjamin terlaksanya aturan konstitusional tentang legislasi dengan diberikan tugas untuk menguji apakah produk hukum itu konstitusional atau tidak.[1] Dalam hal ini, MK merupakan Lembaga peradilan yang digadang-gadang sebagai Court of Law sedangkan MA adalah Court of Justice.[2] Apabila dibandingkan secara langsung, MK sebagai Court of Law berfokus pada penegakkan hukum melalui peninjauan kesesuaian produk hukum dengan hierarkinya, dalam hal ini puncak tertingginya adalah UUD 1945. Konsekuensinya adalah seluruh produk hukum yang ada pada hierarki peraturan perundang-undangan dapat secara sinkron diuji oleh satu Lembaga yudisial yang berfokus untuk menegakkan tata hukum dalam negara hukum. Tentunya sinkronisasi ini berguna untuk mencegah adanya ketidaksinambungan atau persinggungan normatif yang berkontradiksi satu dengan yang lainnya.[3] Lebih lanjut lagi, Abdul Latief, Hakim Tipikor MA Republik Indonesia, mengatakan bahwa sebenarnya MK dapat pula menguji produk legislasi Pemerintah Daerah berupa Peraturan Daerah (Perda) terhadap UUD dengan dasar konstitusionalnya yakni Pasal 18 UUD 1945 dan Ration de Troi atau Ration Legis nya berupa terdapatnya substansi hukum Perda yang memiliki sumber lahirnya dari kewenangan pengaturan dari konstitusi.[4]

Bertalian dengan semangat MK sebagai Court of Law maka sudah seharusnya upaya sinkronisasi pengujian peraturan perundang-undangan dijalankan secara maksimal. Bagaimana pun juga, kewenangan yang diberikan konstitusi kepada MA dan MK terkait judicial review nampaknya tidak bisa sejalan dengan pengupayaan tersebut. Terlebih lagi pembagian kewenangan judicial review secara hierarkis pada MA dan MK menyulut adanya permasalahan berupa kontradiksi apabila terdapat peraturan perundang-undangan dibawah UU yang diuji dan UU yang menjadi batu uji tersebut sedang diuji pula. Problematika empiris tersebut pernah terjadi pada tahun 2009 dimana kala itu terdapat perkara perihal metode penghitungan sisa suara pemilu 2009. Terdapat satu pihak saat pemilu 2009 yang merasa dirugikan dengan adanya Pasal 22C dan 23 ayat (1) dan (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum №15 Tahun 2009 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 205 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.[5] Sontak hal tersebut mendorongnya untuk mengajukan judicial review kepada MA. Kemudian dengan adanya Putusan MA №15P/HUM/2009 pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan Pasal 205 ayat (4) UU №10 Tahun 2008 dan MA meminta KPU untuk membatalkannya.[6] Dengan adanya putusan tersebut, muncul beberapa pihak yang mengajukan judicial review terhadap Pasal 205 ayat (4) UU №10 Tahun 2008 yang menjadi batu uji kepada MK. Majelis Hakim Konstitusi yang saat itu diketuai Prof. Mahfud memutuskan bahwa pasal a quo, bersama dengan Pasal 212 ayat (3), dinyatakan konstitusional bersyarat.[7] Jelas adanya bahwa dalam kasus ini MA dan MK memiliki penafsiran yang berbeda dan kontradiktif. Pengutamaan pelaksanaan putusan tentu pada akhirnya lebih dipusatkan pada MK dimana produk hukum yang diuji berupa UU terhadap UUD. Secara otomatis maka Peraturan KPU tersebut dikesampingkan karena pada satu sisi batu uji peraturan tersebut juga dilakukan uji materiil dan di sisi lain asas lex superior derogate legi inferiori juga berlaku. Hal inilah yang turut mendorong urgensi dilaksanakannya pengujian satu atap di bawah MK.

Berbeda dengan MK, MA sebagai Court of Justice sudah selayaknya melakukan penegakkan hukum dengan mengadili ketidakadilan subyek hukum untuk mewujudkan keadilan.[8] Jelas secara esensial bahwasanya MA tidak seharusnya turut menguji peraturan perundang-undangan karena pada dasarnya dengan adanya paradigma Court of Law dan Court of Justice pemisahan kewenangan guna mencapai keadilan dirasa sudah cukup efektif. Pada dasarnya, sebagaimana yang tertera pada Pasal 24A ayat (1), MA juga memiliki kewenangan untuk mengadili di tingkat kasasi. Hal ini merupakan beban yang cukup besar untuk ditanggung MA karena terdapat banyak sekali perkara yang harus ditangani oleh MA pada prakteknya. Mengapa demikian? Secara kelembagaan, MA merupakan puncak sistem peradilan yang memiliki struktur bertingkat secara vertikal dan secara horizontal MA memiliki cakupan lima lingkungan peradilan yakni lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.[9] Tentunya apabila terdapat kewenangan MA dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang maka akan menimbulkan overload pada pekerjaan yang harus diselesaikan MA. Lebih lanjut lagi, dengan sistematika yang sedemikian rupa maka akan melukai pula asas peradilan cepat dan biaya ringan serta kepastian hukum. Menurut hasil penelitian disertasi Zainal Arifin Hoesein, pada prakteknya efisien dan efektivitas pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan MA tidak berjalan semestinya karena rata-rata perkara yang diselesaikan per tahunnya hanya berkisar pada satu atau dua (gugatan) dan tiga perkara (permohonan) saja.[10] Bertentangan dengan itu, MK justru dinilai produktif dengan menyelesaikan dua puluh dua perkara dalam kurun waktu satu tahun satu bulan.[11]

Oleh karenanya, pemahaman secara esensial terkait pembagian kewenangan lembaga yang jelas harus dapat dimaknai guna mengoptimalkan kinerja lembaga negara guna mencapai negara hukum yang ideal. Pembagian yang jelas ini juga dapat mampu mengoptimalkan proses penegakkan hukum baik melalui produk hukum atau subyek hukum guna mencapai keadilan. Dalam konteks ini, pengujian kembali atau judicial review harus disatuatapkan pada MK sebagai Court of Law yang ideal. Hal ini juga dapat dibenarkan dari segi efektvitas karena beban yang ditanggung oleh MA sebagai Court of Justice secara praktek terlalu banyak. Konteks penyatuatapan pada MK tidak perlu sejauh menguji keputusan karena sudah sejatinya itu merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara. Pada dasarnya keputusan yang bersifat beschikking dan menmutus perkara yang kongkret. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang dapat diuji merupakan peraturan yang bersifat regeling atau meregulasi. Tentu secara konsep, keputusan tidak dapat disatuatapkan. Terlebih lagi terdapat Perlu kiranya ditinjau lagi potensi timbulnya ketidaksinambungan yang mungkin terjadi apabila MK dan MA menguji peraturan perundang-undangan yangmana semuanya tertera pada UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

[1] Jimly Asshiddiqie,2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta.

[2] Muhammad Issar Helmi, “Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar-I, Vol. 6, №1, 2016, hlm. 105.

[3] Op cit, hlm. 108.

[4] Nurul Qamar, “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. I, №1, November 2012, hlm. 3.

[5] Achmad dan Mulyanto, “Problematika Pengujian Peraturan Perundangan-Undangan (Judicial Review) pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”, Yustisia, Vol. 2, №1, Januari-April, 2013, hlm. 63.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Op cit, hlm. 109.

[9] Op cit, hlm. 108.

[10] Muhammad Issar Helmi, Op cit, hlm. 107.

[11] Ibid.

--

--