Perlindungan Hukum atas Data Pribadi dalam Revolusi Industri 4.0

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
6 min readMay 26, 2020

Oleh Aqshal Adzka — Seorang Mahasiswa yang Menjunjung Tinggi Demokrasi

Perkembangan teknologi sudah semakin pesat dari zaman ke zaman. Mulai dari pengembangan mesin uap yang menggunakan tenaga manusia dan listrik di Revolusi Industri 1.0 hingga artificial intelligence(AI) yang hanya menggunakan data dan listrik di zaman yang sedang kita jalani yaitu Revolusi Industri 4.0 ini. Berbicara mengenai revolusi industri tentunya terdapat kronologis waktu perkembangan, lantas sejak kapan Revolusi Industri sudah mencapai tahapan keempat ini? Revolusi Industri 4.0 pertama kali dicanangkan pada Hannover Fair 2011 yang memfokuskan automatisasi yang dilakukan oleh mesin tanpa ada lagi campur tangan tenaga manusia dalam pengaplikasiannya.[1] Mesin-mesin yang bekerja dan digunakan ini memerlukan data yang cukup banyak untuk bisa mengerjakan setiap tindakan yang dibutuhkan untuk bisa melaporkan waktu servis, melaporkan kinerja mesin, dan juga data untuk bisa menganalisis pola yang digunakan untuk bisa bekerja dalam mesin tersebut.[2] Maka dari itu, Revolusi Industri 4.0 ini sangat identik dengan data, karena data merupakan hal yang terpenting untuk bisa menjalankan artificial intelligence tersebut.

Pesatnya perkembangan di atas seolah hanya ditangkap secara parsial oleh Indonesia. Saat ini Indonesia belum mencapai tahap pengaplikasian artificial intelligence tersebut. Negara kita baru sampai di tahap dalam penggunaan data yang masih dioperasikan oleh tenaga manusia. Kita masih mengoperasikan data secara manual seperti contohnya sensus, di mana masih terdapat pekerja di sektor tersebut. Kita juga masih mengelola data pribadi kita masing-masing secara individu dan tentu manual. Data ini mencakup identitas, media sosial, dan berbagai medium yang bisa menyimpan data kita. Data pribadi setiap individu merupakan hal yang substansial dalam kehidupan internet itu tersendiri. Data pribadi adalah data yang berupa identitas, kode, simbol, huruf, atau angka penanda yang dapat menyatakan bahwa data tersebut dimiliki seseorang.[3] Tentu data pribadi ini merupakan privasi setiap orang karena hal tersebut merupakan hak masing-masing warga. Data pribadi kita harus dijaga semaksimal mungkin karena dapat disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab ataupun dicuri.

Kemajuan teknologi di Revolusi Industri 4.0 ini, pencurian data bisa dilakukan secara daring dari jarak jauh dengan cara phising, scamming, dan berbagai cara lainnya yang berarti hak kita dirampas. Phising adalah percobaan mengelabui seseorang untuk memberikan informasi pribadi mereka melalui internet yang dapat memberikan akses orang lain untuk mengambil uang yang dimiliki pemegang informasi tersebut.[4] Lebih lanjut yang dimaksud scamming adalah a fraudulent or deceptive act or operation yang berarti bahwa cara yang curang untuk bisa mengambil data seseorang.[5] Penyalahgunaan data yang marak terjadi akhir-akhir ini, salah satunya disebabkan oleh perusahaan fintech, dimana perusahaan fintech ini akan menggunakan data nasabah yang telat membayar dan menyebar data nasabah kepada orang-orang terdekat nasabah tersebut. Salah satu korbannya adalah Gema Lazuardi Akbar, warga Jakarta Timur yang melaporkan salah satu fintech yang menyebar data-data korban karena telat membayar pinjaman.[6]

Per tahun 2017, IC3 (Internet Claim Complaint Center) melaporkan bahwa terdapat 17.636 pencurian data pribadi.[7] Angka tersebut merupakan angka yang cukup masif berhubung akan banyak data-data yang dicuri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi di Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya, namun, sistem tersebut masih bisa dipecahkan oleh para peretas. Lalu di tahun 2018, bloom.co melaporkan bahwa terdapat 2.694.400.000 pencurian data yang ada di seluruh dunia. Pencurian tersebut berisi penyebaran biodata, riwayat pembelian, riwayat kesehatan, pin kartu kredit, dan masih banyak lagi.[8] SophosLabs pun juga melaporkan di tahun 2013, Indonesia menempati posisi teratas dalam negara yang paling berisiko dalam pencurian data dengan persentase 23,54% penggunanya mengalami pencurian data.[9] Pencurian seperti ini pun sangat merugikan pengguna yang bahkan orang tua saya pun pernah menjadi korban carding di mana secara spontan kartu kredit ibu saya terpakai padahal tidak ada orang sekitar yang memakainya.

Mengenai hal ini hukum positif Indonesia telah mengatur meskipun masih dirasa belum mengakomodir kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Seperti dalam Pasal 26 UU no. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di mana warga negara bisa menggugat kerugiannya apabila terjadi peretasan data yang menyangkut dirinya. Kemudian dalam Pasal 30 UU no. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur tentang prasyarat orang yang melanggar hukum atas penyalahgunaan informasi elektronik dilanjutkan dengan Pasal 46 bahwa terdapat denda 600–800 juta rupiah atas pelanggaran pasal tersebut, Pasal 31 UU no. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di mana seorang yang mengakses data orang lain tanpa persetujuan merupakan tindakan melawan hukum sehingga bisa diproses di pengadilan. Lebih lanjut pada Pasal 32 UU no. 19 Tahun 2016 mengatur tentang penyelewengan suatu Informasi/Dokumen Elektronik yang selanjutnya diatur dalam Pasal 48 di mana terdapat denda 2–5 milyar rupiah.[10] Nyatanya, belum ada tindakan protektif yang nyata dan menyeluruh dari pemerintah untuk bisa melindungi data setiap warganya. Justru terdapat berbagai macam bentuk penyalahgunaan data oleh fintech hingga pemblokiran situs-situs yang dianggap negatif oleh pemerintah secara sepihak seperti Reddit yang sebenarnya berkonotasi positif karena bisa dijadikan tempat untuk berdiskusi.

Berbicara ius constituendum pemerintah Indonesia bisa mencontoh sistem keamanan yang dimiliki Europol, yaitu Internet Organised Crime Threat Assessment (IOCTA) di mana terdapat sistem keamanan untuk mencegah kejahatan siber seperti AI dan sistem ini menggunakan pendekatan secara holistic di mana semua faktor yang bisa mempengaruhi kejahatan siber perlu diperhitungkan.[11] Hal ini bisa dijadikan contoh oleh pemerintah pusat untuk bisa lebih meningkatkan privasi atas kejahatan siber dan perlindungan data masyarakatnya. Dalam beberapa waktu terakhir ini pun marak terjadi penyalahgunaan oleh perusahaan pinjaman online di mana data nasabah disebar dan diperlakukan secara semena-mena.[12]

Oleh karena itu kita harus bisa memanfaatkan perkembangan teknologi dengan baik. Kita harus menguasai bidang teknologi informasi supaya bisa mengantisipasi segala serangan siber dari berbagai celah sehingga kita bisa membuat regulasi yang progresif terkait dengan tindakan kriminal yang ada di internet. Sosialisasi tentang penegakan hukum juga harus dilakukan secara komprehensif terhadap para ahli IT agar lebih jelas mana tindakan yang melawan hukum. Para ahli hukum harus bisa melakukan perlindungan dan penegakan hukum untuk mencegah segala tindakan manipulatif yang dilakukan oleh para pelaku kriminal. Tentu kita dapat menerapkan tindakan preventif dengan cara penyuluhan atas segala tipu daya dari penipuan dan penyalahgunaan data. Penyuluhan tersebut bisa berupa kita lakukan dengan cara memberitahu orang sekitar betapa pentingnya privasi data pribadi agar tidak disalahgunakan.

Sehingga perlu perlindungan secara menyeluruh terkait penyalahgunaan ini. Penyalahgunaan hak yang sudah tercuri dan tersebar luas di internet akan menjadi konsumsi media massa sehingga hilang privasi atas pemilik data tersebut. Pemerintah berperan besar untuk bisa merehabilitasi nama baik si pemilik agar data-datanya tidak terlihat oleh orang banyak. .Lalu, pemerintah dan penegak hukum harus lebih jeli dalam menanggapi kejahatan siber, mulai dari penguatan keamanan siber dan tidak meninggalkan celah yang bisa disusupi, menegaskan perundangan yang berlaku, dan menindak tegas setiap pelaku kejahatan siber. Hal-hal seperti ini harus diperlukan demi menyokong perkembangan Revolusi Industri 4.0 di Indonesia dan membuat nyaman para pengguna data digital agar merasa aman.

Referensi

[1] BINUS, “MENGENAL LEBIH JAUH REVOLUSI INDUSTRI 4.0”, https://binus.ac.id/knowledge/2019/05/mengenal-lebih-jauh-revolusi-industri-4-0/, diakses pada diakses 18 Mei 2020.

[2] Bernard Marr, “What is Industry 4.0? Here’s A Super Easy Explanation for Everyone”, https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2018/09/02/what-is-industry-4-0-heres-a-super-easy-explanation-for-anyone/#3d82be1e9788, diakses pada diakses 17Mei 2020

[3] Arzita, Agnes Putri, 2019, Penegakan Hukum Terhadap Pencurian Data Pribadi Pengguna Provider, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, hlm. 31

[4] Cambridge Dictionary, “phising”, https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/phishing, diakses 18 Mei 2020

[5] Merriam-Webster, “scam”, https://www.merriam-webster.com/dictionary/scam, diakses pada diakses 18 Mei 2020

[6] Samsudhuda Wildansyah, “Data Pribadi Disebar hingga Diancam, Nasabah Fintech Lapor Polisi”, https://news.detik.com/berita/d-4650403/data-pribadi-disebar-hingga-diancam-nasabah-fintech-lapor-polisi, diakses diakses 17 Mei 2020

[7] Stephane Duguin, “Cybercriminals thrive off big data — this is how to catch them”, https://www.weforum.org/agenda/2019/10/cybercrime-deepfakes-law-enforcement/, diakses pada diakses 18 Mei 2020

[8] Connor Hays, “2018: The Year of Data Breach”, https://bloom.co/blog/2018--the-year-of-the-data-breach/, diakses pada diakses 18 Mei 2020

[9] Buce Darmawan, “Waspadailah! Serangan Cyber Crime di Indonesia”, https://itgid.org/serangan-cyber-crime-di-indonesia/, diakses pada diakses 18 Mei 202

[10] Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

[11] Europol, “Internet Organised Crime Threat Assessment(IOCTA) 2019”, https://www.europol.europa.eu/activities-services/main-reports/internet-organised-crime-threat-assessment-iocta-2019

[12] Advertorial, “6 Deretan Kasus Pinjaman Online, Jangan Sampai Jadi Korban Selanjutnya!”, https://www.pikiran-rakyat.com/advertorial/pr-01311000/6-deretan-kasus-pinjaman-online-jangan-sampai-jadi-korban-selanjutnya”, diakses pada diakses 18 Mei 2020

Aqshal Adzka

--

--