Politik Narasi atau Politik Dinasti?Sebuah Kontemplasi Singkat Menghadapi Pilkada 2020

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
12 min readAug 24, 2020

Oleh Muhammad Hamzah Al Faruq — Mahasiswa Tanpa Prestasi

The Kennedys were a dynasty, but they were chosen because people know they work themselves to death for the citizens,”— Basuki Tjahaja Purnama

Alasanku menulis ini adalah karena dalam waktu dekat akan diadakan kontestasi demokrasi di Indonesia melalui Pilkada. Kesadaran politik itu penting. Penulis berpendapat opiniku layak didengar dan didiskusikan, terutama bagi teman-teman yang berada di daerah pemilihan yang sedang ramai isu politik dinasti, semoga tulisan gajelas ini bisa jadi bahan pertimbangan lebih lanjut. Selain itu, tulisan ini juga menyajikan beberapa pertimbangan untuk memilih Pemimpin yang menurut penulis ideal-ga sebatas Pilkada doang kok, mungkin bisa dikontekstualisasikan dengan pemilihan apapun pemira-pemilwa-bahkan pilpres.

Disclaimer:

/// Ini adalah opini politik pribadi, Penulis mencoba menggunakan kata-kata tidak baku dengan tujuan agar lebih mudah dimengerti ///

//Bias? Jelas. Logical Fallacy? Mungkin. Open Criticism? Off course //

/Terafiliasi dengan golongan tertentu? ¯\_(ツ)_/¯

You’re the one that decide it, Enjoy!

//Preface

Sederet isu muncul dan hilang, ga jelas kabarnya gimana. Bulan lalu-Juli, kita tengah menghadapi banyak isu politik-hukum nasional. Mulai dari isu Putusan MA yang keluar sangat-sangat lambat yang berujung menimbulkan kontroversi sah atau tidaknya pemenangan Presiden incumbent Jokowi-Maruf.[1] Lalu isu RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sempat ramai, terutama ditentang oleh beberapa ormas Islam dengan salah satu dalihnya adalah karena tidak mencantumkan TAP MPR No. XXV/1966 tentang Larangan penyebaran ajaran Marx-Leninism whatsoever dalam konsideransnya.[2]

Lalu juga disusul dengan isu Reshuffle Menteri yang saat ini sudah tidak kedengaran lagi isunya di masyarakat, padahal isunya quite intresting untuk dikaji. Kita bisa melihat pola perkembangan relasi hegemoni dari koalisi yang dibangun oleh Presiden pasca kekecewaannya. Terkait hal ini mungkin ada yang pernah ingat saat Refly Harun menyinggung rating dari kabinet Presiden?

Sumber: Kompas TV. Satu Meja The Forum. Politik Kompromi, Sanggupkah Melesat?

Belum lagi, di bulan Juli kemarin kita juga disuguhi oleh beberapa isu yang menarik seperti isu pro kontra kenaikan ambang batas parlemen yang sekarang juga redup, lalu polemik ekspor benih lobster, hingga penarikan RUU krusial RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) dari Program Legislasi Nasional.

Awal bulan Agustus ini, at the very least we ambushed by some national issues. Misalnya, kasus Tjoko Candra yang cukup chaotic- atau bahasa gaulnya: Caurrrr kalo kita lihat. Mulai dari status buron dia berkali-kali keluar masuk Indonesia, sempat dekat dengan Perdana Menteri Malaysia yang terkena skandal pencucian uang[3], dugaan tindak pidana berlapis, nyempet-nyempetin ngurus PK 2, dsb pokoknya caurrr.[4] Lalu, munculnya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang sempat disebut-sebut sebagai “koalisi persatuan oposisi”. Last but not least, sebenarnya sudah muncul dari bulan lalu, yaitu Politik Dinasti yang akan dibahas oleh Penulis.

//Awal Narasi Politik Dinasti

Sumber: https://video.tempo.co/read/20856/fokus-tempo-era-politik-dinasti-jokowi

Dicalonkannya Gibran Rakabuming (Putra Sulung Pak Jokowi), Rahayu Saraswati (Keponakan Pak Prabowo), Bobby Nasution (Menantu Pak Jokowi), Siti Nur Azizah (Putri Pak Maruf Amin) hanyalah sederet contoh kecil orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan para pejabat pemerintahan saat ini.[5] Masih banyak tokoh lain, seakan-akan hanya tokoh ini saja yang ramai, padahal jauh dari itu!

Politik Dinasti: Apa itu?

Ada 3 cara untuk mendefinisikan hal ini

I. Tafsiran Ngawur versi Penulis: Politik dinasti adalah suatu cara strategis dalam meraih kekuasaan pemerintahan dengan menempatkan saudara, kerabat, dan/atau keluarga.

II. Tafsiran Akademis: Politik dinasti memiliki keterkaitan yang erat dengan bentuk pemerintahan. Perlu dibedakan lho ya, “Bentuk Negara” vs “Sistem Pemerintahan” vs “Bentuk Pemerintahan” tidaklah sama.[6] Bentuk pemerintahan adalah mengenai Monarki vs Republik, sedangkan “bentuk negara”= Kesatuan vs Federal vs Konfederasi dan “sistem pemerintahan”= Presidensial vs Parlementer.

Menurut Jellinek, republik adalah bentuk pemerintahan yang regenerasi kepemimpinannya bersifat tidak turun temurun, vice versa monarki adalah bentuk pemerintahan yang regenerasi kepemimpinannya bersifat turun menurun.[7]

Sekilas terdapat persamaan antara monarki dengan Politik Dinasti di mana keduanya sama-sama melahirkan (regenerasi) pemimpin yang memiliki hubungan darah dengan Petahana. Keduanya, sama pula juga membagi daerah kekuasaannya, bukan hanya di pusat saja. Bedanya adalah monarki dengan salic law-nya,[8] sedangkan Politik Dinasti melalui Pilkada.

III. Menurut UU Pilkada 2015: Bila Penulis tafsirkan, politik dinasti adalah suatu kondisi di mana seorang warga negara yang ingin menjadi Calon Kepala Daerah tidak memenuhi persyaratan dikarenakan memiliki konflik kepentingan dengan Petahana.[9]

Nah, konflik kepentingan maksudnya apa?

Dalam penjelasannya: “Tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.”[10]

Later on, pasal 7 huruf r ini dicabut sama MK, alasannya? ntar penulis bahas.

Narasi Anti-politik Dinasti adalah Narasi politik identitas???

Pada dasarnya Penulis memiliki opini bahwa narasi yang sedang berkembang dalam masyarakat, yaitu narasi anti-politik dinasti adalah tidak lain dari salah satu bentuk narasi politik identitas. Dalam politik identitas, pertimbangan memilih seorang pemimpin ditentukan oleh faktor karakteristik primer seorang pemilih (ras, gender, agama, dan etnis) bukan ditentukan oleh kompetensi, program kerja, atau pertimbangan objektif lainnya. Seakan-akan narasi politik dinasti digaungkan dengan melihat satu sisi saja (sisi hubungan darah), tidak melihat sisi-sisi lain yang lebih layak dipertimbangkan.

Terus, pro-kontra lainnya gimana?

Penulis membuat tabel pengamatan mengenai pro-kontra Politik Dinasti dengan (i) perspektif akademisi (Penulis dan teman-teman penulis), (ii) ahli (beberapa pendapat ahli di media sosial dan acara tv), dan (iii) masyarakat (respons masyarakat dari berita).

tabel 1.1 Pro Kontra Politik Dinasti

//Opini Penulis — -

Argumentasi Penulis? Singkatnya penulis berpendapat tidak ada masalah terhadap politik dinasti dengan beberapa catatan. Penulis mendukung semua substansi pro diikutsertakannya para dynasties dan akan men-debunk semua argumentasi kontra dengan elaborasi berikut

Ini bakal panjang kek bab IV naskah akademik ruu minerba. Bear with it.

Pertama, menurutku hal yang paling penting untuk menentukan siapa yang layak untuk menempati suatu jabatan tertentu adalah kompetensinya. Kompetensi seseorang tidak dibatasi oleh track record saja, namun faktor lain seperti kematangan umur dan banyaknya tulisan/lomba-prestasi yang dia menangkan misalnya. Jika kita coba kontekstualisasikan dengan Pilkada saat ini, ada misalnya calon kepala daerah yang jika kita lihat dari track record karirnya cukup kompeten karena pernah bekerja lama sebagai birokrat, adapula yang sudah lama berpengalaman sebagai anggota DPR meskipun orang-orang ini terindikasi memiliki hubungan darah dengan petahana.

Kita mungkin pernah diajarkan oleh orang tua/teman/lingkungan sekitar kita bahwa kita tidak boleh mendasarkan opini kita pada narasi, tidak boleh menilai seseorang dari satu sisi saja. Nilailah seseorang lewat dua sisi. Ketika seseorang melakukan suatu kesalahan, lihat kebaikannya yang lain. Ketika seseorang punya unsur hubungan darah dengan Petahana lihat kompetensi orang tersebut.

Kedua, mereka belum tentu pragmatis! Pragmatis di sini ada dalam 2 artian:

I. Rela menyeberang ke partai lain demi menjadi calon kepala daerah. Di sini loyalitas seseorang dipertanyakan- dia loyal ga sii. Kita bisa lihat kasus Medan pada Pilkada saat ini misalnya.

II. Rela maju padahal sebelumnya bersumpah untuk ga ikut-ikutan politik. Kasus Solo misalnya, saya sendiri kesal dengan orang-orang pragmatis seperti ini. Action louder than the words indeed

Kedua hal di atas merupakan hal yang menurutku menjadi pertimbangan penting dalam menentukan kualitas pemimpin yang jujur memenuhi perkataannya. Kedua tindakan pragmatisme di atas tidak menurutku tidak terbatas pada para calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah dengan petahana saja, singkatnya semua bisa ngelakuin.

Ketiga, Fair and Free Election! Jika mereka melakukan pilkada yang fair dan free election selain yang ditentukan oleh UU dan 2 hal berikut, menurutku sah-sah saja. 2 hal yang layak menjadi pertimbangan: No Vote/Candidacy Buying and No Black Campaign

No Vote/Candidacy Buying

Ada 2 skenario dari vote/candidacy buying, salah satunya bukanlah pelanggaran secara hukum-sah legal. Namun, menurutku ini adalah langkah curang politis yang tidak berhasil dicegah oleh hukum positif. Penulis lebih baik memilih calon pemimpin yang tidak memanfaatkan celah sistem politik sendiri.

(1) Let’s monopolize the candidates via Parliamentary Threshold.

Kasus Solo lagi-lagi menjadi contoh yang menarik! Partai Petahana-sekaligus partai mayoritas seakan-akan memboyong partai lain, sehingga menyebabkan timpangnya kursi DPRD Solo.[11] Hal ini juga mengakibatkan partai kecil-partai minoritas tidak bisa mengajukan kandidat lain, sehingga menyebabkan Calon Kepala Daerah hanya memiliki calon tunggal.[12] vs kotak kosong. Lebih lagi, mbak Titi Anggraini-Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memprediksi ada 31 daerah yang bakal diisi calon tunggal untuk pilkada serentak 2020.[13] Nampaknya memang bukan hanya kandidatnya saja, namun sistemnya juga perlu dibenahi.

(2) Let’s make a “Doll” candidates

Langkah licik lainnya adalah menempatkan seorang kandidat boneka dalam kontestasi Pilkada. Masih fokus yang sama-Solo lagi! Antonius Yoga Prabowo, Ketua DPD PSI Solo mengaku ditawari 1m untuk membangun koalisi dalam Pilkada Solo melawan Gibran.[41] Entah siapa pelakunya, namun yang jelas ini adalah Candidacy Buying karena menggunakan imbalan berupa uang dalam proses pencalonan Kepala Daerah.[15] Hal ini sudah diatur dalam Pasal 47 UU Pilkada (UU Nomor 2 Tahun 2020) di mana:[16]

Pasal 47

(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Menanggapi hal tersebut, jika ada Partai Politik yang terindikasi melakukan candidacy buying lebih baik menurutku untuk tidak dipilih, baik sebagai penerima atau sebagai pemberi imbalan.

No Black Campaign

No need for explanation. Lelah rasanya, mampir di sosial media niatnya refreshing malah liat “Pesanan” black campaign orang-orang tak bertanggungjawab. Black Campaign dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh calon yang memiliki hubungan daerah dengan petahana dan tidak.

Keempat, hak untuk memilih dan dipilih adalah salah satu Hak Asasi Manusia dan termasuk hak konstitusional. Di mata konstitusi semua orang adalah individu yang mempunyai hak yang sama dalam konteks pemerintahan.[17] Dalam rasio decidendi-nya (Pertimbangan Hukum), setidaknya Penulis mencatat ada 3 hal yang penting Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa:[18]

1) Bahwa UUD 1945 melarang diskriminasi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Larangan diskriminasi itu kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan.

2) Bahwa seharusnya pemilihan kepala daerah yang demokratis dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sistem pencalonannya dilakukan secara terbuka dengan tidak membeda-bedakan atau mengistimewakan warga negara dengan persyaratan dari jabatan tertentu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

3) Bahwa dalam pelaksanaan demokrasi yang lebih dewasa dalam pemilihan kepala daerah secara serentak seharusnya tidak ada lagi pembatasan hak asasi warga negara, khususnya hanya karena yang bersangkutan mempunyai hubungan darah ataupum hubungan perkawinan dengan petahana. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Kelima, mungkin bias, namun hingga saat ini Aku belum pernah dengar, menyaksikan, atau baca sepengalamanku belum ada orang yang dirugikan secara langsung karena praktik politik dinasti. Paling banter adalah because of how they can’t rule properly. Poin ini berhubungan dengan poin selanjutnya.

Keenam, American Model.

Bill Clinton-Roy Clinton-Hillary Clinton// Pattrick Kennedy-Joseph Kennedy-JFK-Robert Kennedy-Ted Kennedy// Prescott Bush-George Bush-Walker Bush-Jeb Bush//

Ever find out why the American with their own dynasty did so well compared to us?

Sumber: https://content.fortune.com/wp-content/uploads/2016/02/181741386.jpg?resize=750,500

Setidaknya Penulis menemukan 2 hal yang membedakan suksesnya politik dinasti di Amerika Serikat dibanding di Indonesia.

“Still, dynastic politics do much less damage in the U.S. than in developing democracies like Indonesia. That’s because the U.S. has other institutions, among them an independent and credible judiciary, to check the active abuse of power both during electoral campaigns and after them.”[19]

Dalam proses pemilu, hal ini terlihat jelas dari satu indikator penting, yakni kasus kecurangan Pemilu dan Pilkada di Indonesia yang terus terjadi. Misalnya, kasus Wahyu Setiawan, kasus Akil Mochtar-Ratu Atut, dan kasus Harun Masiku. Lalu dalam perspektif pengawasan pasca pemilu, dengan dilemahkannya the Watchdog of corruption-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang salah satunya melalui pengadaan Dewan Pengawas berimplikasi pada lemahnya pengawasan terhadap pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya. Masalah struktural institusi mungkin bisa jadi bahan diskusi lainnya, as for now kita bisa fokus ke poin lainnya.

Selain itu, dalam artikel yang sama Pisani sempat mengutip pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bahwa masalah di Indonesia bukanlah berada pada tradisi politik dinasti itself, namun berada dalam kompetensi dari para dinasti to rule fairly and effectively.[20] Sebenarnya ini balik lagi ke poin pertama, US as models itu built based on competency, bukan narasi sakralitas. Clinton, Bush, dan Kennedy adalah keluarga yang melahirkan para politisi hebat di Amerika.

Ketujuh, argumentasi etis vs ga etis. Penulis punya pandangan yang berbeda dengan Feri Amsari yang menyatakan politik dinasti itu tidak etis karena memajukan calon yang memiliki hubungan darah dengan petahana, sehingga menimbulkan potensi konflik kepentingan yang sangat besar.[21] Pada awalnya Penulis berpikiran demikian, namun Penulis punya 2 counter argument berbentuk pertanyaan retoris:

(1) Which one more not ethical? Mendiskriminasi sekelompok orang yang memiliki hubungan darah dengan Petahana untuk tidak menempati jabatan pemerintahan sekalipun orang tersebut adalah orang kompeten atau memberi celah conflict of interest yang pada faktanya semua orang memiliki kepentingan?

(2) Bukankah sudah ada hukum positif yang siap untuk menindaklanjuti penyalahgunaan wewenang seorang pejabat, termasuk Conflict of interest? Lantas apa gunanya hukum positif ada bila tak digunakan, apakah hanya formalitas belaka?

Terakhir-kedelapan, catatan buruk politik dinasti bisa diubah. Penulis tidak menafikan fakta bahwa memang Indonesia memiliki catatan buruk dalam hal yang berhubungan dengan politik dinasti-kasus 32 tahun kepemimpinan Soeharto atau kasus dinasti Ratu Atut di Banten misalnya. Pendekatan yang dapat dilakukan cukup beragam. Reformasi struktural di ranah normatif dengan menghilangkan parliamentary-presidential threshold guna mencegah candidacy buying, lalu memperjelas kedudukan sengketa pemilu misalnya dengan membuat mahkamah pemilu, memperketat rekrutmen anggota komisioner KPU berasal dari orang yang tidak terafiliasi partai apapun,[22] memperbanyak edukasi masyarakat mengenai pemilu dalam menghindari politik narasi dan politik identitas, serta ketentuan-ketentuan lainnya.

Mungkin Penulis bakal bahas beberapa solusi di atas untuk next opinio juris.

Thanks for reading!! Semua hal ini hanya sebatas opini, mohon kritik dan sarannya.

Referensi

[1] Silvia Nur Fajri, akurat.co, https://akurat.co/news/id-1160786-read-tak-pengaruhi-penetapan-presiden-4-fakta-penting-putusan-ma-terkait-gugatan-pilpres-2019, diakses 7 Agustus 2020.

[2] Riyan Setiawan, tirto.id, https://tirto.id/mengapa-mui-muhammadiyah-gp-ansor-sampai-fpi-tolak-ruu-hip-fHMK, diakses 7 Agustus 2020.

[3] Menurut pernyataan Bonyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI). Aiman Wictjaksono, Kompas TV. https://www.youtube.com/watch?v=4F-QJMt0iT4, diakses 7 Agustus 2020.

[4] Channel refly Harun. Djoko Tjandra Bisa Langsung Bebas! Simak Prof.Eddy Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Ugm. https://www.youtube.com/watch?v=BPB90sa9mHE, diakses 7 Agustus 2020

[5] Masih banyak lagi orang-orang yang memiliki hubungan sedarah dengan para pejabat pemerintahan seperti Iman Yasin Limpo (Adik Menteri Pertanian Syahrul Limpo), Pilar Saga Ichsan (Anak Ratu Tatu), Titik Masudah (Adik Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah). Satu Meja Indonesia The Forum. “Suburnya Politik Dinasti”. https://www.youtube.com/watch?v=-2cK4FwmjJU&pbjreload=101. 22 Juli 2020. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2020.

[6] Jimmly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, MKRI-PSHTN, Jakarta. Hlm. 204

[7] Soehino, 1991, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.

[8] Roy Cave dan Herbert Coulson, 1965, A Source Book for Medieval Economic History, Biblo and Tannen, New York. Hlm. 336.

[9] Lihat Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2014. Lembaran Negara Tahun 2015 Nomor 57 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678.

[10] Ibid. Lihat Penjelasan Pasal 7 huruf r

[11] Kompas Cyber Media, KOMPAS.com, https://nasional.kompas.com/read/2020/08/03/17324281/gerindra-dukung-gibran-muzani-sepertinya-di-solo-calon-tunggal, diakses 12 Agustus 2020.

[12] Ibid.

[13] CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200804182235-32-532152/perludem-prediksi-ada-31-daerah-calon-tunggal-pilkada-2020, diakses 12 Agustus 2020.

[14] Bayu Ardi Isnanto, detiknews, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5122319/psi-ngaku-ditawari-hampir-rp-1-m-untuk-masuk-gerbong-lawan-gibran, diakses 12 Agustus 2020.

[15] Hukum Online, hukumonline.com, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5649b3a0ba f4e/menimbang-penanganan-sengketa-icandidacy-buying-i-dalam-pilkada?page=2, diakses 12 Agustus 2020.

[16] Lihat Pasal 47 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Covid 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan / Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516)

[17] Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.

[18] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015.

[19] Elizabeth Pisani, The New Yorker, https://www.newyorker.com/news/news-desk/whats-wrong-with-dynastic-politics, diakses 13 Agustus 2020.

[20] Ibid.

[21] Diskusi HMI Komisariat Hukum UGM. “Akar Politik Dinasti: Sejarah dan Implikasi terhadap Proses Demokrasi” 5 Agustus 2020.

[22] Menurut Refly Harun, Sejumlah Komisioner KPU direkrut pada status memiliki afiliasi dengan partai tertentu Pra-Pemilu. Channel Refly Harun. Eks Komisioner Kpu Ancam Buka-Bukaan Terhadap Kecurangan Pilpres!!! Bener Nih? https://www.youtube.com/watch?v=geofanxyxie. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2020.

Muhammad Hamzah Al Faruq

--

--