Roti dan Sirkus Masa Kini: Makan Siang Gratis, Artis, dan Megaproyek

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
4 min readJun 7, 2024

Oleh: William Alexander — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

“.. Already long ago, from when we sold our vote to no man, the People have abdicated our duties…now restrains itself and anxiously hopes for just two things: bread and circuses”⎯ Juvela, c. 100 M

Di tengah kencangnya gema tentang Indonesia maju, ternyata kita menemukan diri kita masih terjebak dalam taktik politik kuno: panem et circences (roti dan sirkus). Taktik tersebut merupakan frasa metonimia yang merujuk pada cara instan memengaruhi masyarakat yang digunakan oleh para kaisar Romawi dengan membagi-bagikan makanan gratis (roti) dan hiburan (sirkus). Roti dan sirkus ini menjadi semacam morfin yang mendistraksi kita dari permasalahan lain yang lebih mendalam. Namun, mengapa taktik kuno ini terus-terusan dipakai sepanjang sejarah oleh para penguasa?

Politainment, Machtsvorming, dan Machtsaanwending

Bung Karno pernah berbicara terkait dua esensi politik, yaitu machtsvorming atau penggalangan kekuasaan dan machtsaanwending atau pendayagunaan kekuasaan. Taktik roti dan sirkus dapat dipandang sebagai metode melakukan machtsvorming dan machtsaanwending. Dalam dunia perpolitikan dikenal istilah politainment yang digagas oleh David Schultz di mana garis antara politik dan entertainment atau media populer menjadi kabur sehingga menciptakan gaya politik yang menekankan pada hiburan dengan menciptakan gimik recehan seperti berjoget di debat politik, lari pagi dengan wartawan, atau membayar puluhan artis tersohor untuk bermain futsal di kampanyenya. Perilaku seperti ini meskipun terlihat menghibur dan riang gembira, semua itu dilakukan semata-mata dalam rangka machtsvorming tadi. Lebih lanjut, pendayagunaan politainment ini juga bisa digunakan dalam melancarkan proses machtsaanwending, yaitu pendayagunaan kekuasaan. Hal ini kita amati telah dilakukan Presiden Jokowi dalam melancarkan kebijakannya yang dirasa membutuhkan dukungan publik. Pada September 2023 kemarin misalnya, Jokowi mengundang sejumlah artis untuk camping di IKN dan bahkan rapper Saykoji untuk membuat lagu bertajuk IKN yang telah ditonton lebih dari 500 ribu pengguna dan artis-artis nasional lain yang dibawa ke megaproyek lainnya seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung (13/9) dan proyek LRT Jabodetabek (10/8). Beberapa pihak menganggap Politainment sebagai hal yang baik, mengingat taktik ini dapat mengurangi gesekan serta intrik yang tercipta melalui proses politik.

Populisme: Antara Citra dan Kinerja

Populisme adalah paham yang menempatkan keinginan rakyat sebagai premis utama dari setiap kebijakan, sehingga segala kebijakan harus berpihak dan sesuai kehendak dari rakyat. Populisme menjanjikan solusi cepat dan sederhana untuk masalah yang kompleks. Taktik roti dan sirkus sebagaimana dilakukan para kaisar Romawi dapat dimaknai sebagai salah satu kebijakan populis dalam sejarah. Ini serupa dengan yang dilakukan oleh pemerintahan saat ini di mana melalui kebijakan populis dengan pembagian bantuan sosial serta megaproyek seperti IKN, yang berdasarkan pernyataan Kemensetneg bertujuan menciptakan citra bangsa sebagai sebuah kebijakan roti dan sirkus semata. Lebih lanjut, kebijakan oleh presiden terpilih yaitu Prabowo Subianto dengan program makan siang gratis dinilai beberapa pihak sebagai kebijakan populis yang memperparah defisit anggaran. Lantas, mengapa kebijakan populis berbahaya terhadap sebuah negara demokrasi? Bukankah demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sehingga segala kebijakan yang didukung mayoritas rakyat adalah kebijakan yang baik dalam negara demokrasi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus melihat dilema penguasa ketika membuat sebuah kebijakan, yaitu terkait mana yang akan dikedepankan; citra politik atau kinerja politik? Kebijakan populis termasuk taktik politainment menciptakan pergeseran antara kebijakan yang didasari kinerja politik menuju kebijakan yang didasari semata-mata oleh citra politik. Dengan politik populisme ini segala kebijakan yang dikeluarkan didasarkan pada kebijakan yang memberikan citra politik terbaik bagi para penguasa. Hal ini menafikan kinerja politik sebagai prioritas utama seorang pemimpin dan menciptakan kebijakan jangka pendek yang menyenangkan rakyat sementara. Pemimpin yang baik menjadi masalah siapa yang bisa menggaet artis terbanyak, membagi-bagi barang gratis terbanyak, dan terlihat paling necis di media sosial.

Kebijakan-kebijakan yang hanya didasari semata-mata keinginan naif masyarakat akan menghilangkan esensi dari kehendak umum masyarakat. Dalam politik seharusnya tidak hanya pragmatis berkutat soal penggalangan kekuasaan dan pendayagunaan kuasa saja namun juga melihat yang disebut Max Weber sebagai wertrationalitaet, rasionalitas yang didasari oleh nilai-nilai dan etika. Wertrationalitaet ini menempatkan nilai dan etika sebagai sesuatu yang berada di atas kepentingan pribadi, sehingga proses politik harus berdasar nilai dan etika dan bukan hanya dipandang secara instrumental. Rasionalitas yang berdasar etika dan nilai inilah yang seharusnya menjadi dasar dari segala kebijakan yang dihasilkan, di atas segala keinginan pribadi atau kelompok tertentu.

Socrates pernah menunjukkan bahaya tentang negara yang mengambil jalur populisme melalui sebuah alegori terkenal yang mengandaikan negara sebagai sebuah kapal. Dia mengalegorikan kapal tersebut diisi oleh mayoritas awak kapal barbar yang tidak memiliki keahlian khusus dalam perkapalan, serta sebagian kecil kapal tersebut diisi oleh ahli perkapalan yang telah berpengalaman dan mengetahui seluk-beluk dalam mengarungi lautan. Ketika melewati sebuah badai ombak yang besar, bagaimana cara menentukan siapa yang memegang kendali kapal? Jika keputusan diambil secara mayoritas atau kebijakan yang populis, maka besar kemungkinan awak-awak kapal barbar tadi akan terpilih untuk memegang kendali kapal melewati badai, yang tentu akan membawa mereka semua menuju kehancuran. Hal yang sama juga akan terjadi pada negara kita jika kita terus-terusan terbuai dengan kebijakan roti dan sirkus. Perut kita akan kenyang sementara kondisi sekolah-sekolah di daerah terujung Indonesia masih sangat memprihatinkan. Kita akan dihibur dengan berbagai megaproyek yang dipromosikan selebritas favorit kita sementara Indeks Pembangunan Manusia di beberapa provinsi berada di bawah wilayah konflik seperti Libya.

Para pendiri bangsa telah meletakkan dasar negara melalui Pancasila sila yang keempat yang menekankan bahwa demokrasi haruslah diikuti hikmat kebijaksanaan, yang berarti bukan memimpin berdasar pada kebijakan mana yang akan disukai masyarakat dan meningkatkan citra politik para penguasa tapi dari akal budi dan kebijaksanaan. Melalui kebijakan-kebijakan populis dan politainment, makna hikmat kebijaksanaan diinjak-injak oleh penguasa dan kita dibuat kenyang dengan roti di mulut untuk membungkam suara serta terhibur dengan sirkus di hadapan mata yang membutakan nurani kita. Oleh karena itu, kita harus selalu mempunyai waspada terhadap kebijakan-kebijakan populis. Karena sesungguhnya selama kita sebagai masyarakat masih terbuai dengan taktik roti dan sirkus, cita-cita bangsa untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan tercapai sampai kapanpun.

--

--