RUU MASYARAKAT ADAT: MANGKRAK, MANDEG, TAK BERPROGRESIF!

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
4 min readNov 26, 2023

Oleh: Markus Togar Wijaya — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

RUU (Rancangan Undang-Undang) Masyarakat Adat pertama kali masuk dalam radar legislatif tahun 2009. Nihil, tahun 2018 regulasi tersebut kembali diusulkan dan tetap saja layaknya pengangguran, RUU tersebut hanya menambahi daftar antrean panjang Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Apa yang diharapkan oleh UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) menjadi teks bacaan formalitas semata, tanpa ada unsur kekuatan di dalamnya.

Nampaknya, traumatis yang mendalam menjadi lumbung penyesalan bagi masyarakat adat, sebab RUU Masyarakat Adat dinyatakan gagal total pengesahannya pada masa pemerintahan presiden SBY. Harapan perlahan muncul dengan secercah cahaya yang menerangi Presiden Jokowi. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) memberikan dukungan kepada Jokowi pada tahun 2014, dengan harapan salah satu janji Jokowi terkait dengan RUU Masyarakat Adat dapat disahkan.

Supres (Surat Presiden) memang diterbitkan oleh Jokowi guna melakukan akselerasi RUU Masyarakat Adat.[1] Namun, sayangnya konfigurasi politik yang sedemikian rupa oleh Dewan Legislatif dengan segudang tarik-ulur agenda menyebabkan mangkraknya RUU tersebut.

Janji presiden layaknya hanya sebuah narasi propaganda, bertujuan mempengaruhi opini massa, tetapi nihil eksekusinya. Padahal, lewat segudang kekuasaannya, presiden bisa saja mengusulkan RUU Masyarakat Adat kepada DPR untuk dibahas, sehingga mencapai tahap persetujuan bersama. Atau dengan kekuasaannya, presiden bisa saja menerbitkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang), dengan dalil kegentingan yaitu masifnya tindakan subversif aparat dan melonjaknya angka konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat. Bahkan, tidak ada inisiatif presiden untuk menjadi ‘game changer’ dalam permainan ‘tembak-menembak’ konflik agraria. Justru presiden semakin berupaya untuk mengesahkan UU yang mempercepat akselerasi ekonomi lewat jalur fast track penerbitan Perpu.

Dalam diksi hiperbola, ‘dosa Ciptakerja akan mendapatkan kamar tersendirinya di neraka.’ Hal ini sejalan dengan kekhawatiran pembuat UU, bahwa RUU Masyarakat Adat dinilai akan bertentangan serta menghambat rezim Ciptakerja.[2] Tentu jika kita melihat dari sudut pandang program kerja PSN (Proyek Strategis Nasional), RUU Masyarakat Adat memiliki hubungan kausalitas dengan PSN. Sebab, dengan adanya PSN akan mengakibatkan RUU tersebut hanya menjadi nomor antrean ‘besar’ dibelakang, dalam konteks pengesahannya. Paradigma ini seharusnya diubah menjadi ‘sebab, dengan adanya RUU Masyarakat Adat, PSN seharusnya dapat terwujud dengan kepentingan hak-hak masyarakat adat yang termaktub di dalamnya.’ Logika inilah yang seharusnya digunakan oleh pembuat UU, bukan hanya dengan pemikiran iklim investasi semata.

UU Ciptakerja sama saja seperti ‘menaruh sebuah gerobak di depan kuda.’ Inilah yang disebut sebagai kesalahan berpikir oleh legislator. Seharusnya, karena UU Ciptakerja akan senantiasa menjalin hubungan erat dengan masyarakat adat, maka susunlah terlebih dahulu UU Masyarakat Adatnya, bukan UU Ciptakerjanya. Setelah UU Masyarakat Adat selesai, barulah dapat dilaksanakan proses perumusan UU Ciptakerja. Konsep ini senada dengan welfare state, negara dengan paradigma kesejahteraan rakyat, dengan upaya pembangunan yang tidak mengintervensi hak-hak masyarakatnya.

Oleh sebab itu, dalam konteks hipotesis, janji presiden Jokowi perihal percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat hanyalah berbasis pada ‘demokrasi lipstik’, memoles perkataan dengan pulasan gincu dan komunikasi politik murahan demi basis elektabilitas pada tingkat grassroad. Implikasinya adalah transisi paradigma negara yang awalnya dibangun dari sudut pandang hattanomics menjadi tradisi kapital, dan berujung pada pembangkangan hak-hak warga negara termasuk didalamnya hak masyarakat adat.

Apa yang dibayangkan Hatta ketika membangun negara Indonesia dengan penuh perdebatan dapat dirumuskan dengan sederhana: ‘Bagaimana cara memurahkan ongkos hidup rakyat?’ Ketidakadilan yang dominan terjadi dalam tataran normatif juga praktik, menurut Hatta dapat dibendung dengan tiga jurus hattanomics: penguasaan aset oleh negara, kontrol terhadap usaha swasta, dan tumbuhnya perekonomian rakyat yang mandiri. Ketiga jurus ini bernilai ‘nol’ pada praktiknya di masa orde baru. Paradigma soehartonomics akan menjadi sebuah antitesis bagi hattanomics, dengan implikasi jurang kekayaan yang terlampau besar antar warga negaranya. Kembali seakan meromantitasi orde baru, soehartonomics perlahan menjadi dominan dilakukan pasca reformasi terkhusus rezim presiden Jokowi, sebab kapitalisme dan iklim investasi bertengger kuat di puncak rantai makanan negara. Kondisi ini menyebabkan Indonesia masuk ke dalam suatu paradigma baru: ‘neosoehartonomics’.

RUU Masyarakat Adat pada akhirnya hanya menjadi ‘korban peraturan’ dari negara predator. Negara predator akan merampas dan mengabaikan hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti yang dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945.[3] Apa yang dibayangkan oleh Hatta dalam membangun negara ini pada akhirnya akan menjadi jargon kosong yang hanya tercatat dalam sejarah tanpa pernah dibaca. Masyarakat adat hanya menjadi pemain figuran dalam sandiwara dunia politik nasional. Pada akhirnya, eksistensi masyarakat adat hanya sekedar diakui saja, tanpa mendapat penghormatan dan perlindungan.

Penutup:

Kepada Frans Seda, Menteri Keuangan pertama orde baru, Hatta bertanya, “permulaankah ini dari kolonialisme ekonomi?”[4] Kalimat Hatta ini, menurut saya, memiliki korelasi dengan butterfly effect. Teori butterfly effect mengatakan bahwa “kepak sayap kupu-kupu di Hutan Amazon dapat membuat badai tornado besar di Texas.” Hal ini bermakna bahwa sekecil apapun pemerintah mengintervensi hak hak masyarakat adat dalam konteks kolonialisme ekonomi, maka akan mengakibatkan efek domino jangka panjang. Buruknya, pada tatanan puncak klimaks akan menapak pada gerakan people power.

Namun, perlu kita menghibur diri bahwa cita-cita Hatta tentang serpihan mimpi ‘adil dan makmur’ masih berserakan di penjuru bumi. Di Eropa tempat keperkasaan kapital menemukan mahkotanya, cita-cita itu terwujud dalam bentuk jaminan sosial. Sementara di negeri ini, tempat elite politik masih memperebutkan ‘remah-remah roti dibawah meja perjamuan’, setidaknya cita-cita itu masih tersisa dalam pasal-pasal konstitusi. Meskipun, kita tidak tahu sampai kapan puncaknya pasal-pasal tersebut diamputasi.

DAFTAR PUSTAKA:

[1] Candra, Wahyu, and Della Syahni. “Menanti UU Masyarakat Adat, Belasan Tahun Proses Tak Ada Kejelasan.” Mongobay, 2023. https://www.mongabay.co.id/2023/08/09/menanti-uu-masyarakat-adat-belasan-tahun-proses-tak-ada-kejelasan/.

[2] Wardah, Fathiyah. “Mengapa RUU Masyarakat Hukum Adat Tak Kunjung Disahkan?” Voa, 2021. https://www.voaindonesia.com/a/mengapa-ruu-masyarakat-hukum-adat-tak-kunjung-disahkan-/6324774.html.

[3] Rachman, M. Fadjroel. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat. Edited by Taufiqqurrahman. Depok: Koekoesan, 2007.

[4] Tempo. Hatta: Jejak Yang Melampaui Zaman. Jakarta: PT Grafika Mardi Yuana. 2022.

--

--