Tantangan Remaja dalam Penurunan Kesehatan Mental dengan Penggunaan Sosial Media

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
3 min readJun 7, 2024

Oleh: Musanta Berpin Kembaren — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Generasi Z, generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 hingga 2012, adalah generasi yang lekat dengan penggunaan teknologi. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat generasi tersebut hidup di era digital. Perkembangan teknologi yang semakin pesat memudahkan kita untuk bertukar informasi tanpa terbatas ruang dan waktu melalui media sosial. Walau begitu, peran media sosial bagi generasi Z ternyata tidak hanya menimbulkan dampak positif, tetapi juga negatif.

Maraknya penggunaan media sosial di kalangan generasi Z dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Dengan menggunakan media sosial, masyarakat khususnya remaja dapat mengekspresikan perasaannya dengan bebas, membagikan kegiatan pribadinya seperti dalam bentuk foto atau video ke dalam cerita, serta bebas mengutarakan pendapatnya melalui kolom komentar kepada pengguna lainnya. Berakar dari hal tersebut, timbul fenomena FOMO (fear of missing out), yaitu kekhawatiran ketika orang lain memiliki pengalaman yang lebih memuaskan/berharga dan dicirikan dengan adanya dorongan untuk selalu terhubung dengan orang lain. Hal ini tentunya membuat para remaja cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Pola pikir tersebut kemudian berpotensi menjadi sumber stres yang membuat remaja generasi Z lebih mudah “kena mental”.

Beberapa peneliti berpendapat melalui survei kesehatan mental nasional, yaitu Indonesia National Adolescent Mental Health Survei (I-NAMHS), bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Sedangkan, satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir di tahun 2022. Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia. Peneliti utama I-NAMHS, Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, mengatakan bahwa remaja dengan gangguan mental mengalami kesulitan dalam melakukan kesehariannya dikarenakan gangguan mental yang remaja miliki. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling umum diderita oleh remaja adalah gangguan cemas. gangguan tersebut merupakan kombinasi antara gangguan cemas menyeluruh dan fobia sosial. Sehingga, ada beberapa gangguan yang sering dialami remaja, yaitu Gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).

Walau begitu, hanya sedikit remaja yang menghubungi profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Siswanto, peneliti utama I-NAMHS, menyatakan bahwa hanya 2,6% dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental mau menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka. Angka tersebut masih kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah remaja yang membutuhkan bantuan dalam mengatasi masalah mental mereka. Padahal, dengan adanya perkembangan sosial media, masalah terkait kesehatan mental seharusnya menjadi lebih mudah teridentifikasi.

Di sisi lain, survei American Psychological Association menunjukan bahwa remaja generasi Z lebih waspada dan mencari bantuan kesehatan mental jika dibandingkan generasi lainnya. Mereka dianggap lebih peduli, peka, dan paham dengan kesehatan mental. Hal ini merupakan perkembangan yang baik karena seiring berjalannya waktu masyarakat mulai memahami bahwa berbagai perasaan negatif yang dimiliki dan dialami seharusnya tidak dianggap remeh dan bisa dikonsultasikan lebih lanjut dengan tenaga kesehatan yang profesional.

Dengan demikian, sebagai generasi yang rentan terhadap isu kesehatan mental, remaja generasi Z perlu mengetahui langkah yang harus diambil dalam menjaga kesehatan mentalnya. Langkah preventif yang bisa dilakukan adalah mengurangi intensitas penggunaan sosial media. Dengan melakukan hal tersebut, kita dapat memberikan jeda untuk berpikir bahwa kita tidak sama dengan manusia lain. Kita tidak boleh membandingkan diri melalui sosial media, tetapi menjadikan pencapaian orang lain di sosial media sebagai motivasi dan semangat baru untuk perkembangan diri kita. Langkah preventif lainnya adalah menerapkan mindfulness. Mindfulness merupakan salah satu praktik yang baik untuk menjaga kesehatan mental. Kegiatan ini bertujuan untuk membuat seseorang lebih fokus dan memusatkan perhatian terhadap keadaan mereka saat ini. Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, remaja generasi Z seharusnya mampu untuk mempertahankan kondisi mentalnya dengan baik di tengah pesatnya perkembangan sosial media.

--

--