Emang Kenapa Kalau FIFA dan UEFA Punya Standar Ganda?

Ikhlas Alfarisi
oragol
Published in
3 min readMar 6, 2022

Tatanan dunia sudah ada yang mengatur hingga akhirnya membuat kita mau tak mau, suka tidak suka, terbawa dalam konstruk yang dicanangkan oleh FIFA.

Ilustrasi fans Timnas Rusia di Piala Dunia 2018. PIXABAY/xusenru

Sudah 9 hari sejak invasi yang dilakukan ke Ukraina, Rusia mendapatkan berbagai macam sanksi. Rusia lewat federasi sepak bolanya mendapatkan sanksi dari lembaga tertinggi olahraga paling populer sejagat raya ini, FIFA. Digandeng oleh UEFA, sanksi tersebut berupa larangan seluruh elemen sepak bola Rusia baik timnas maupun klub untuk bertanding di kompetisi yang berada dibawah naungan 2 federasi tersebut.

Hal tersebut otomatis membuat tim Spartak Moskow misalnya, harus gugur tanpa tanding dari fase 16 besar kompetisi Europa League. Lawannya RB Leipzig melenggang ke babak selanjutnya karena sudah dianggap menang WO 3–0.

Orang-orang yang dianggap mempunyai hubungan terhadap Sang pemimpin Invasi, Vladimir Putin juga mendapat desakan untuk hengkang dari dunia sepak bola.

Terbaru, pemilik Chelsea, Roman Abramovich harus rela melepas hak kepemilikannya terhadap Chelsea. Taipan yang menjadi pemilik the blues sejak 2003 tersebut didesak oleh otoritas Inggris yang cenderung memutuskan semua hubungan dengan Rusia.

Selain itu timnas Polandia, bersikap menolak bertanding dalam play off kualifikasi piala dunia 2022 yang diselenggarakan di Rusia bulan Maret ini. Swedia, Ceko, dilanjutkan oleh timnas Inggris juga menolak melawan timnas Rusia di berbagai ajang. UEFA juga menghentikan kerjasama mereka dengan Gazprom sebagai salah satu sponsor mereka.

Di sisi yang berseberangan, dukungan terus-menerus mengalir dan berkumandang kepada Ukraina karena dianggap sebagai korban invasi oleh Rusia. Media siaran, panitia pertandingan, pandit, komentator, bahu-membahu memberikan dukungannya kepada para penyintas dalam sepakbola macam Oleksandr Zinchenko yang bermain di klub Manchester City.

Singkatnya, mayoritas orang-orang di sepak bola hari ini mengerahkan solidaritasnya untuk menyeru dihentikannya agresi militer Rusia di Ukraina.

Namun, di tengah keriuhan tersebut tiba-tiba ada sekelompok orang yang memainkan jurus whataboutism dalam rangka melakukan serangan balik terhadap situasi diatas. Banyak yang membandingkan hal tersebut dengan sikap mereka yang cenderung acuh terhadap tragedi peperangan di belahan negara yang lain. Perang Israel-Palestina yang paling banyak digunakan dalam jurus whataboutism tersebut.

Dengan jurusnya, mereka menuding FIFA dan UEFA mempunyai standar ganda. Berbagai media sepakbola pun turut mempertanyakan hal itu. Apakah FIFA dan UEFA memang hipokrit? Atau membandingkan invasi Rusia-Ukraina dengan peperangan di tempat lain merupakan hal yang kurang relevan?

Jika kita lihat, akibat sikap politik Rusia, begitu banyak konsekuensi yang harus mereka tanggung. Konsekuensi tersebut bahkan harus pula ditanggung oleh mereka yang tak punya kesamaan sikap politik dengan negaranya. Artem Dzyuba misalnya, bersikap anti perang namun tetap mengkritik keputusan yang menimpanya, timnas, dan klub yang ia bela. Baginya keputusan ini tidak adil dan sangat merugikan.

https://www.instagram.com/p/Cao-UHmv2UP/?utm_source=ig_web_copy_link

Di sisi lain, semua sanksi yang menimpa Rusia merupakan serangan secara tidak langsung untuk membuat negara bekas Uni Soviet itu segera menghentikan kekacauan yang mereka perbuat. Bagaimanapun, perang selalu menciptakan ketidakstabilan terutama dari segi ekonomi. Dan sepak bola dalam sudut pandang industri haruslah mengambil sikap agar ketidakstabilan itu segera berakhir. Karena semakin lama perang berlangsung, semakin besar pula potensi kerugian yang akan diterima oleh sepakbola.

Terlebih, Piala Dunia sudah di depan mata dan persiapan di segala sisi harus segera dimatangkan. Kejadian perang antara Israel-Palestina mungkin tak mempunyai potensi ketidakstabilan dalam sepakbola sehingga FIFA alih-alih bersikap serupa malah memberikan sanksi kepada pihak yang melakukan solidaritas.

Jadi semuanya masalah untung rugi? Sudah tentu.

Politis? Memang.

FIFA dan UEFA hipokrit? Bisa jadi.

Dalam space yang diadakan panditfootball.com Kamis lalu, 3 Maret 2022, Yusuf Arifin sebagai pembicara menyampaikan bahwa sepakbola memang bebas dari politik. Namun dalam penyelenggaraannya sangatlah politis. Hal ini juga dikuatkan lagi oleh Zen RS bahwa FIFA sejakberdiri sudah punya intensi melakukan civilisasi terhadap kehidupan dunia, dalam hal ini permainan sepakbola.

Jadi sebagai penikmat sepakbola terlebih yang berdomisili di timur jauh hendaknya kita menyadari kenyataan ini. Tatanan dunia sudah ada yang mengatur yang akhirnya membuat kita mau tak mau, suka tidak suka terbawa dalam konstruk yang dicanangkan oleh FIFA.

Karena, berteriak mencaci FIFA dan UEFA sebagai sarang mafia di setiap kolom komentar media sosial tapi tetap rela begadang menyaksikan Liga Champions di layanan streaming berbayar tak beda dengan aktivis mahasiswa yang longmarch berdemo anti-kapitalisme dengan mengenakan sepatu AirJordan dan kemeja Uniqlo.

Tapi jika ingin tetap berteriak menyuarakan ketidakadilan, silahkan saja. Tak ada yang melarang juga. FIFA dan UEFA bagi saya seperti pandit arogan ataupun komedian dark jokes, jika tak suka silahkan block![]

--

--

Ikhlas Alfarisi
oragol
Writer for

andai tak bisa mengontrol, mulut saya mungkin akan sering mencela.