Omong Kosong You’ll Never Walk Alone dan Diskriminasi LGBTQ di Sepak Bola

A. Arfrian
oragol
Published in
5 min readAug 30, 2021

--

Tak ada gunanya fans Liverpool bernyanyi “You’ll Never Walk Alone” di awal pertandingan, namun meninggalkan sejumlah sebagian golongan orang di belakang mereka hanya karena gender mereka.

Ban kapten warna pelangi yang dipakai Manuel Neuer saat ajang EURO 2020 identik dengan simbol atau bendera khas kampanye kesetaraan gender: Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ) yang terdiri dari enam warna./Oragol/Bayu Utomo.

Rapalan “You’ll Never Walk Alone” yang selalu disenandungkan oleh fans Liverpool nyatanya hanya sebatas bait-bait seremonial belaka. Setelah meneriakkan chant homofobia di sejumlah laga awal Liga Inggris, English Premier League (EPL) 2021–2022, The Kop dengan sengaja meninggalkan sejumlah golongan gender (LGBTQ) untuk berjalan sendirian.

Pada pertandingan pekan pertama Liga Inggris tersebut, para fans The Reds meneriakkan “a rent boys” yang diarahkan kepada Billy Gilmour, pemain Norwich City. Kemudian, pada duel melawan Chelsea pada 28 Agustus 2021, fans Liverpool kembali meneriakkan ujaran yang bersifat homofobia.

Hal ini, menurut Paul Amann, pendiri grup penggemar Liverpool LGBTQ Kop Outs, seperti tak ada gunanya fans Liverpool bernyanyi “You’ll Never Walk Alone” di awal pertandingan, namun meninggalkan sejumlah sebagian golongan orang di belakang mereka hanya karena gender mereka.

Namun, ungkapan kebencian akan gender selain laki-laki dan perempuan dalam olahraga sepak bola adalah racun yang menumbuh semenjak lahirnya sepak bola itu sendiri. Golongan LGBTQ (Lesbi, Gay, Biseksual, Transeksual, dan Queer) belum diterima dalam skena sepak bola yang masih sangat maskulin.

Menurut Stacey Pope, dosen di Department of Sport and Exercise Sciences, Durham University, kecenderungan sepak bola pria tak menerima LGBTQ bisa dilihat dari perspektif sejarahnya, bahwa sepak bola adalah ‘benteng kejantanan’ dari budaya patriarki.

Pernyataan tersebut relevan tak hanya dengan situasi di luar lapangan, pun juga di dalamnya. Olivier Giroud, pemain tim nasional Prancis, pernah mengatakan jika di dalam ruang ganti klub atau timnas sepak bola, olok-olok mengenai hal-hal yang bersifat maskulin masih sangat kental. Karena itu, ekosistem di dalam atau internal klub pun belum mendukung seorang laki-laki untuk mengungkap jati diri gendernya.

“Saat itulah saya mengatakan pada diri sendiri bahwa tidak mungkin menampilkan homoseksualitas seorang laki-laki dalam sepak bola. Di ruang ganti, ada banyak testosteron, kamar bersama, mandi bersama … Ini rumit tapi seperti itu,” ungkapnya saat diwawancarai mengenai mantan pemain Aston Villa Thomas Hitzlsperger yang pensiun dari sepak bola setelah mendapat serangan kebencian usai mengungkap orientasi gendernya.

Jika kita tinjau, sulit untuk menemukan pemain sepak bola laki-laki profesional yang menyatakan dirinya LGBTQ. Berbeda pada sepak bola perempuan, di mana mereka lebih terbuka dalam ekspresi gendernya.

Pada ajang Piala Dunia Perempuan FIFA 2019, Outsports melaporkan 38 pemain perempuan yang bermain dalam gelaran tersebut, menyatakan diri sebagai gay dan itu adalah sebuah rekor dalam sejarah turnamen FIFA. Namun, tak ada pemain sepak bola pria yang secara terbuka menyatakan diri sebagai gay pada Piala Dunia 2018 di Rusia.

“Ayo gays! Anda tidak bisa memenangkan kejuaraan tanpa gay di tim Anda ini tidak pernah terjadi sebelumnya, selamanya. Ini bukti ilmiah, yang terjadi di sana,” kata pemain depan timnas Amerika Serikat putri, Megan Rapinoe setelah mencetak kemenangan 2–1 atas tuan rumah Prancis pada Piala Dunia Perempuan FIFA 2019.

Sejarah membuktikan, jika pesepakbola lelaki mengungkapkan orientasi gendernya, ia akan mendapat rundungan hingga ancaman pembunuhan. Hanya ada Thomas Hitzlsperger, pensiun pada 2013, dan menjadi satu-satunya pemain gay yang bermain di Liga Inggris era Premier League.

Selain itu, ada Justin Fashanu yang menjadi pemain sepak bola papan atas Inggris pertama, yakni Norwich City, yang menyatakan dirinya gay pada tahun 1990. Namun, ia kemudian terus-menerus dilecehkan fans dan rekan sesama pemain — hingga ia bunuh diri pada tahun 1998, pada usia 37 tahun.

Justin Fashanu telah diakui sebagai pemain sepak bola fantastis, golnya yang luar biasa melawan Liverpool pada tahun 1980 adalah gol terbaik pada musim tersebut dan telah mengukuhkan status legendarisnya di antara para penggemar Canaries.

Presenter BT Sport Jake Humphrey, penggemar seumur hidup Norwich City, mengatakan “penting untuk mengingat Justin sebagai pesepakbola hebat, tetapi juga sebagai pribadinya”.

“Justin bukan hanya pemain fantastis, tapi pria luar biasa… panutan dan perintis,” ungkap FA (badan tertinggi sepak bola Inggris) dalam kampanye keberagaman dalam sepak bola Inggris.

Otoritas sepak bola mau mengatasi diskriminasi atau hanya lip service?

UEFA menolak penyelenggaraan EURO dengan serba-serbi LGBTQ saat saat Jerman melawan Hungaria pada Juni 2021. Pihak tertinggi komite sepak bola Eropa ini mengklaim bahwa mereka adalah organisasi yang netral secara politik.

Lantas, saat Manuel Neuer selaku penjaga gawang tim nasional Jerman mengenakan ban kapten warna-warni simbol (dukungan) LGBTQ, UEFA melakukan investigasi atas pemakaian ban kapten tersebut yang mereka klaim sebagai tanda unjuk sikap politik.

Warna pelangi yang dipakai Neuer tersebut identik dengan simbol atau bendera khas kampanye kesetaraan gender, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ) yang terdiri dari enam warna.

Paling atas berwarna merah yang berarti kehidupan, kemudian berurutan di bawahnya warna oranye (penyembuhan), kuning (sinar matahari), hijau (alam), biru (seni), dan ungu (keharmonisan).

Sepekan kemudian, UEFA menganulir pernyataannya bahwa pemakaian ban kapten dengan simbol bendera LGBTQ adalah diperbolehkan karena menganggapnya sebagai tanda keberagaman, sesuai visi UEFA, penyelengaraan EURO, dan sepak bola itu sendiri.

Selama penyelengaraan EURO 2020, UEFA meluncurkan kampanye dengan kalimat ‘Sign Up for an Equal Game’. Namun, kalimat itu punya eksposure tinggi kepada isu rasialisme, dan bukan kepada LGBTQ.

Isu rasialis mencuat karena kampanye “Black Lives Matter” (BLM). Bahkan, otoritas sepak bola seperti UEFA dan FIFA pun menyatakan sikap politiknya untuk memerangi ujaran yang bersifat rasis di dalam pun di luar lapangan.

Pertanyaannya adalah, kenapa UEFA tak mau secara terang-terangan menganggap golongan LGBTQ? Memerangi ujaran kebencian yang bersifat menyerang gender? Ada sikap mendua dari UEFA maupun FIFA dalam sikap politik mereka terhadap LGBTQ, di mana mereka mengklaim sebagai organisasi yang netral.

Apakah harus perlu ada martir agar FIFA secara khusus mengembil sikap politiknya terhadap LGBTQ? Dalam beberapa kesempatan, FIFA sebenarnya memiliki kampanye yang mengatasi diskriminasi, namun dalam istilah yang paling luas.

Hanya ada segelintir kampanye, bagaimana FIFA mengambil langkah-langkah konkret untuk mempromosikan keragaman dan anti-diskriminasi dalam sepak bola, khususnya diskriminasi berdasarkan orientasi seksual.

Sepak bola sebagai kekuatan untuk mendorong perubahan sikap

Di Cunningham, pendukung klub sepak bola Norwich City sekaligus sosok yang ikut mendirikan Three Lions Pride, komunitas fans sepak bola dengan basis gender, menyatakan olahraga termasuk sepak bola dapat mendorong perubahan sikap.

Bahwa sepak bola dapat ditonton oleh semua kalangan, tak membedakan gender. Serta, dapat dimainkan oleh semua orang, tak peduli orientasi seksualnya apa.

Three Lions Pride, kelompok pendukung inklusif untuk penggemar Inggris, menjadi terkenal di Piala Dunia 2018 di Rusia setelah menampilkan bendera bertema pelangi simbol LGBTQ selama pertandingan.

“Sepak bola memiliki kekuatan untuk berubah, dan itu [perilaku homofobia] tidak akan berubah jika Anda berbicara dalam ruang hampa,” kata Di Cunningham.

“Jadi melalui sepak bola pula, kita mampu untuk membawa ide inklusivitas LGBTQ ke tempat-tempat baru. Ke tempat di mana ide tersebut direpresif, baru dan/atau belum berkembang,” lanjut Di Cunningham saat ditanyai kenapa ia membawa bendera LGBTQ ke Rusia.

Diketahui, Rusia melarang adanya golongan LGBTQ. Negara bekas Uni Soviet tersebut mempunyai undang-undang untuk melarang seseorang ‘promosi’ homoseksualitas.

Dan dengan Piala Dunia FIFA 2022 yang akan berlangsung di Qatar, di mana homoseksualitas dapat dihukum hingga tujuh tahun penjara (dan kematian bagi umat Islam, di bawah hukum Syariah), pekerjaan mereka — dan siapa pun yang peduli dengan olahraga bernama sepak bola dan kesetaraan— masih jauh dari selesai.

“Ini transformatif” kata Di Cunningham tentang senjata paling ampuh bagi komunitas LGBTQ, yakni: visibilitas. “Kami pernah menjadi bagian dari itu. Dan semoga kami akan terus melakukannya di Qatar…”.[]

Untuk yang mau dengar opini kami mengenai sepak bola dan LGBTQ bisa disimak di podcast Oragol ini.

--

--