Pemain Bola Juga Manusia, Punya Rasa, Punya Hati

redaksi.oragol
oragol
Published in
3 min readOct 30, 2020

Saya ingat, Salah satu media Inggris pernah menanyakan alasan Juergen Klopp membiarkan Sadio Mane (dan Mo Salah juga kalau tidak salah) melakukan ibadah puasa ditengah jadwal Liverpool yang cukup padat.

Ada hal yang lebih penting di luar sana daripada sekadar sepakbola”, jawab Klopp mantap.

Dari situ, saya hanya ingin bilang begini : Sebelum ditempeli atribut duniawi macam atlet, rockstar, presiden, hingga ulama, kita semua terlahir dengan satu atribut dasar : manusia. Disana semua dari kita bermula.

Rasa kemanusiaan yang dibawa sejak lahir itulah yang mendominasi kesadaran pemuda bernama Marcus Rashford untuk berkampanye memberi makan gratis bagi anak-anak kurang mampu di Inggris. Ia bahkan menekan pemerintah dan parlemen yang dikuasai Partai Konservatif Inggris, Tory, untuk menjamin anggaran bagi ketersediaan makanan bagi bocah- bocah. Namun, partai pimpinan Perdana Menteri Boris Johnson itu menolak proposal tersebut.

Malang bagi Tory, gerakan rakyat tak dapat dibendung. Rashford menggulirkan kepedulian terhadap anak-anak lewat media sosial, yang akhirnya direspons oleh banyak restoran, perusahaan makanan, dan sesama public figure. Pada akhirnya, rakyat bantu rakyat. Tak jauh beda dengan situasi di Nuswantoro. Ho Ho Ho

Di luar sepakbola, para pemain profesional memiliki identitas lain, terutama identitas paling dasar yaitu sebagai manusia itu sendiri. Rasa-rasanya, sisi kemanusiaanlah yang menggerakkan Mesut Ozil bersuara atas represi pemerintah Cina terhadap muslim Uighur. Sisi yang sama juga menggerakkan Ozil untuk menerima panggilan Rashford atau berbagi upah dengan The Gunnersaurus, maskot Arsenal.

Apa yang dilakukan Juan Mata dengan mengajak sejumlah pebola profesional untuk “menzakatkan” sebagian penghasilannya adalah bukti ia lahir sebagai manusia, bukan bebegig (bahasa sunda: orang-orangan sawah). Mata gelisah, industri sepakbola yang mencetak miliaran euro memiliki sumbangsih yang sangat minimal terhadap ketimpangan pendapatan warga dunia.

Sejumlah nama lain yang tak dapat disebut satu per satu punya rekam jejak serupa dengan Rashford, Ozil, dan Mata. Bahkan Messi dan Ronaldo yang dikira orang adalah sepasang Alien dan Robot juga manusia. Leo Foundation dan keberpihakan Ronaldo pada rakyat Palestina atas agresi militer Israel menunjukkan Messi tidak datang dari Neptunus dan Ronaldo tidak lahir di Silicon Valey.

Pertanyaannya kemudian, apakah aktivisme sosial mereka itu tulus atau polesan humas demi citra positif sebagai public figure? Dalam cara pandang humas, mereka adalah brand, dan brand yang baik mengundang cuan. Jawabannya, kalau pun aktivisme mereka itu pamrih atau bagian dari polesan manajemen, apa urusan kita menanyakan motif mereka? Urus saja moral dan niat kita.

Di luar motivasi yang mendasari para pebola tersebut, aktivisme mereka adalah aksi nyata keberpihakan pada kaum yang lemah dan rentan, terutama di tengah pandemi jika mengacu pada kasus Rashford. Sesuatu yang alpa dari diri para politisi di Inggris dan Nuswantoro. Ho Ho Ho

Kalau kita tarik lebih luas, dari aktivisme sosial dan altruisme ala Marcus Rashford atau Mezut Ozil ke aktivitas di luar lapangan secara umum, berderet sejumlah aktivitas unik yang dilakoni para pebola. Siapa yang menyangka bahwa bek senior Juventus Giorgio Chiellini adalah penyandang magister di bidang administrasi bisnis. Bareng eks rekannya di Juventus, Claudio Marchisio, Chiellini mendirikan MATE, agensi yang bergerak di bidang komunikasi dan pemasaran olahraga.

Kemajuan-kemajuan yang dialami zaman melebarkan sayap kekuasaan tidak hanya di istana dan gedung parlemen. Perubahan tidak selalu berawal dari ketukan palu ketua parlemen atau tanda tangan presiden/perdana menteri. Ajakan figur terkenal bermassa besar di media sosial terbukti menggulirkan perubahan.

Fenomena pesepakbola altruistis juga menyadarkan, sebagaimana intelektual, bahwa semua profesi memiliki tanggung jawab sosial. Jangan pernah menjadi profesional tukang dan menara gading. Mengapa? Karena sebelum profesi itu melekat pada seseorang, identitasnya hanya satu: manusia.

Penulis: Fikry Fachrurrizal

--

--