Tabir Gelap Piala Dunia Qatar 2022

Reyhan Majid
oragol
Published in
5 min readMar 28, 2021

--

Lebih dari 6.500 pekerja migran meninggal sejak Qatar didapuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Calon peserta kompetisi, Timnas Norwegia dan Jerman, memprotes pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.

Erling Haaland, pemain Norwegia, memakai kaos bertulis “Human Rights — On and Off the pitch” | A. Arfrian

PADA DESEMBER 2010, Federasi Sepakbola Dunia (FIFA) membuat keputusan kontroversial dengan memilih Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Mengalahkan Australia, Jepang, Korea Selatan, dan kandidat tuan rumah terkuat saat itu: Amerika Serikat. Selain menggeser waktu kompetisi di musim dingin, pemilihan Qatar disinyalir ada main suap.

Negara kecil tapi kaya raya itu kemudian ngebut membangun tujuh stadion baru dan puluhan proyek besar yang menunjang gelaran akbar empat tahunan tersebut; termasuk bandara baru, jalan, sistem transportasi umum, hotel dan kota baru.

Namun, dalam gemerlap dan cepatnya pembangunan di negara ‘sultan’, terdapat beberapa permasalahan cukup akut dan belum disikapi oleh FIFA. Salah satunya adanya pelanggaran hak asasi manusia terhadap pekerja pembangunan infrastruktur — terlebih pekerja imigran yang didatangkan dari India, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, Pakistan, Kenya dan Filipina.

Dalam laporannya, Guardian (23/2/2021) mendata lebih dari 6.500 pekerja migran dari lima negara Asia Selatan meninggal sejak 2010. Temuan ini menunjukkan, rata-rata ada 12 kematian pekerja tiap minggunya, sejak negara di Teluk Persia tersebut terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Data kematian pekerja ini bisa lebih tinggi jika kematian yang terjadi di bulan-bulan akhir 2020 dan kematian pekerja dari Filipina dan Kenya ikut dihitung.

Amnesty International jadi yang terdepan mengkritik perbudakan modern di Qatar. Dalam laporannya yang berjudul “The ugly side of the beautiful game: Labour exploitation on a Qatar 2022 World Cup venue”, lembaga internasional non-pemerintah yang mengkampanyekan hak asasi manusia ini menyebut para pekerja migran yang membangun stadion telah menjadi sasaran kerja paksa dan penindasan. Sementara itu, di lain pihak, FIFA terkesan tak peduli.

“Bagi pemain dan penggemar, stadion Piala Dunia adalah tempat impian. Bagi beberapa pekerja yang berbicara kepada kami, stadion bisa terasa seperti mimpi buruk yang nyata,” ucap sekretaris jenderal Amnesty International, Salil Shetty, empat tahun lalu.

Laporan yang didasarkan wawancara dengan 132 pekerja migran tersebut menyimpulkan ada 8 poin tindak eksploitatif yang diterima oleh pekerja.

Pertama, mahalnya biaya pendaftaran kerja. Setiap pekerja migran melaporkan adanya agen perekrutan di negara asal mereka yang mewajibkan membayar biaya pendaftaran. Pada awal rekrutmen kerja, tiap pekerja migran setidaknya membayar sebesar USD 500 — USD 4,3 ribu (sekitar Rp 7 juta — Rp 62 juta). Biaya pendaftaran yang tak murah ini justru membuat para pekerja migran yang berharap bisa keluar dari jurang kemiskinan dan pengangguran di negara mereka, justru terlilit hutang-hutang baru demi bekerja.

Kedua, tempat tinggal yang tidak layak. Selama bekerja di Qatar, pekerja migran ditempatkan di rumah semi-permanen yang sempit, kotor dan tidak aman. Satu ranjang susun digunakan oleh delapan orang untuk tidur. Keadaan tersebut tentu berbahaya, apalagi dalam situasi pandemi yang belum juga reda.

Ketiga, adanya kebohongan soal upah. Kontrak kerja tidak pernah jelas. Para pekerja migran dijanjikan gaji sebesar USD 300 (Rp 4,3 juta) per bulannya, tapi realitanya, mereka hanya mendapat USD 190 (Rp 2,7 juta). Keempat, gaji mereka sering tertunda. Menjadi bencana bagi para pekerja yang telah berhutang dalam perekrutan kerja, dan tak bisa mengirim uang kepada keluarga di rumah.

Poin kelima ­sampai kedelapan, menyoroti dampak dari hukum ketenagakerjaan di Qatar yang mewajibkan setiap ekspatriat disponsori oleh pemberi kerja (perusahaan atau majikan) bernama “kafala”. Dalam sistem ini, sponsor punya kuasa untuk melarang pegawainya pindah kerja, menghalanginya keluar negeri, serta mengancam dengan memutus kontrak secara sepihak lalu mendeportasi mereka. Hal itu membuat sejumlah pekerja merasa tak berdaya melawan atau menuntut perlindungan.

Laporan Amnesti juga menceritakan, pernah ada salah seorang pekerja migran yang bekerja di Stadion Khalifa meminta pada manajer perusahaan konstruksi untuk dipulangkan ke negara asal. Tanpa ampun, si manajer mendampratnya dengan berkata, “Keep working! Or you will never leave (Qatar)”.

Timnas Norwegia dan Jerman Memprotes Pelanggaran HAM di Qatar

Tim nasional Norwegia menjadikan laga pertama kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022 sebagai ajang pernyataan sikap menolak pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dalam pembangunan stadion di Qatar. Tampak saat pemanasan dan sebelum sepak-mula melawan Gibraltar, Erling Braut Haaland dan kawan-kawan mengenakan kaos putih bertuliskan “Human Rights — On and Off The Pitch”.

Pelatih Norwegia, Stale Solbakken, menyatakan kalau timnya bisa saja “melakukan hal-hal yang mungkin dilihat dunia” untuk menekan Qatar.

Sikap timnas Norwegia ini berawal dari sikap beberapa klub divisi atas Liga Norwegia, termasuk Rosenborg dan Tromso, yang telah menyatakan akan memboikot Piala Dunia 2022 di Qatar.

Dalam pertandingan tersebut, Norwegia menang 3 gol tanpa balas.

Sehari setelahnya (26/3/2021), pada laga kontra Islandia di penyisihan Grup J, Timnas Jerman ikut mendesak FIFA agar ikut menyudahi perbudakan modern di Qatar. Sebelum sepak-mula, kesebelas pemain asuhan Joachim Löw berjejer menampilkan pesan “HUMAN RIGHTS” dengan satu huruf pada tiap jersey hitam yang mereka pakai.

Tak berhenti di situ. Dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia Grup G melawan Turki, Timnas Norwegia terus melanjutkan protes mereka kepada tuan rumah Piala Dunia 2022. Sebelum sepak-mula, Martin Ødegaard dan kolega memakai kaos bertulis pesan yang sama dengan laga sebelumnya. Kali ini dengan tambahan “Norwegia √, Jerman √, Next?”. Mereka seperti mengajak agar semua peserta kualifikasi ikut menyatakan sikap untuk menolak pelanggaran HAM demi kompetisi sepakbola paling prestisius se-dunia.

Dalam pernyataan resmi FIFA, badan tertinggi sepakbola tersebut tidak akan memberi sanksi atau hukuman terhadap para pemain Norwegia dan Jerman. “FIFA percaya akan kebebasan berbicara, dan sepak bola sebagai kekuatan untuk kebaikan,” kata seorang juru bicara FIFA dilansir dari Guardian, (25/3/2021). “Tidak ada proses disipliner dalam kaitannya dengan masalah ini [pemakaian kaos untuk pernyataan sikap politik — pen].”

Padahal, dalam laws of the game, sebuah aturan permainan yang ditetapkan The International Football Association Board (IFAB), terdapat poin yang mencegah pemain menggunakan sesuatu/hal yang berkaitan dengan “pandangan politik, agama atau slogan pribadi”. Maka benar, kalau aturan “tak ada politik di sepakbola” adalah omong-kosong belaka.

***

Di balik euforia persiapan Piala Dunia Musim Dingin 2022 dan derasnya aliran kapital FIFA lewat bola-bola yang bergulir, ada ribuan pekerja migran di Doha yang tak pernah tahu kapan nasibnya berakhir. Mati atau kembali ke keluarga batih.

Bekerja di bawah ketidakpastian, serta ancaman, jadi bagian dari sehari-hari para pekerja migran. Barangkali bagi mereka, Stadion Internasional Khalifa bak Gulag.

Jika Haaland dan Kai Havertz dapat menyuarakan nasib para pekerja di lapangan, kita sebenarnya juga bisa. Melalui petisi online, kita bisa mendesak FIFA dengan presidennya saat ini, Gianni Infantino, untuk mau dan mampu meniup peluit tanda menyudahi pelanggaran HAM di Qatar.

Sebab, apabila pelanggaran terhadap hak asasi manusia masih berlanjut, layakkah Piala Dunia 2022 digelar?[]

--

--