Tumbuh dan Berkembang bersama Sepak Bola

redaksi.oragol
oragol
Published in
4 min readOct 29, 2020

Tulisan ini saya tulis pada tanggal 17 Oktober. Sehari sebelumnya, adalah hari yang bertepatan dengan 15 tahun debutnya seorang kelak menjadi legenda hidup sepak bola modern. Bocah kecil asal kota Rosario, Argentina. Bocah yang tadinya didioagnosa oleh dokter mempunyai kelainan dalam tubuh, sehingga menghambat dirinya untuk tumbuh tinggi. Bocah tersebut melakukan debut bersama FC Barcelona, tim yang telah mengadopsinya sebagai pemain binaan di akademi mereka, La Masia. Bertanding melawan Espanyol pada kompetisi La Liga, Barcelona saat itu sudah berhasil unggul 1–0 lewat gol Deco berkat Assist dari Samuel Eto’o. Namun pada 10 menit terakhir pertandingan sang pencetak gol rupanya ditarik keluar lapangan untuk digantikan oleh bocah tersebut yang kala itu baru berumur 17 tahun. Sejak saat itu, bocah dengan tinggi 170 cm itu menjadi tak tergantikan dalam susunan skuad inti dari FC Barcelona sampai saat ini.

15 tahun yang lalu, umur saya baru berusia 8. Saat itu saya baru saja menginjak kelas 3 Sekolah Dasar. Tidak banyak yang saya ingat. Namun, jika tidak salah kala itu saya baru saja lancar mengendarai sepeda. Namun, satu hal yang berhasil saya kenal kala itu selain bermain sepeda adalah; bermain sepak bola.

Sebagai bocah yang tinggal di kampung, tak banyak yang bisa dilakukan oleh saya dan teman-teman sebaya saya yang lain. Lebih tepatnya adalah tak macam-macam. Kami tidak seperti bocah yang tinggal di kota yang sudah tersedia dengan berbagai fasilitas bermain dengan teknologi terbaru saat itu. Yang kami lakukan hanya memanfaatkan yang ada untuk dijadikan objek kesenangan kami dalam bermain. Dalam bermain bola misalnya, kami hanya mengandalkan tanah lapang milik warga yang sebenarnya mempunyai fungsi untuk menjemur padi pada siang hari, namun akan menjelma menjadi stadion mini menjelang sore hingga adzan maghrib berkumandang.

Saat musim panen datang, disana adalah kesempatan kami menggunakan lahan sawah yang sudah di panen untuk kami ratakan, permukaan tanah yang keras akan kami tutupi dengan jerami, kemudian gawanganya kami buat sendiri dari bambu hasil menebang dari pohonnya langsung yang cukup banyak tumbuh di kampung tempat kami tinggal.

Seperti layaknya bocah pada umumnya, kami juga punya obsesi untuk menirukan idola-idola kami dalam bermain bola. Saya sendiri selalu menganggap diri saya sebagai Gabriel Batistuta setiap kali bermain. Dengan selalu mengambil posisi penyerang, tendangan kaki kiri saya yang lumayan keras waktu itu selalu saya andalkan setiap kali berhadap-hapan dengan kiper lawan. Walaupun postur tubuh saya tidak tinggi, tapi saya selalu berusaha bermain ngotot dalam duel-duel udara. Namun kelemahan saya adalah bek lawan yang terlalu tangguh. Saya tidak mempunyai kemampuan dribbling untuk melewati para pemain lawan. Tidak seperti kawan saya yang kala itu turut menganggap dirinya sebagai Michael Owen. Dengan kemampuan control bola dan dribbling, Owen gampang saja melewati para pemain lawan termasuk saya yang kala itu kerap tergocek olehnya.

Kegemaran saya kepada sepak bola juga menjadikan saya seorang fans. Namun sebagai bocah kampung yang jauh dari akses informasi apalagi bisa menyaksikan pertandingan sepak bola secara langsung, yang hanya saya lakukan hanya menonton tayangan pertandingan lewat televisi yang sangatlah terbatas. Saya hanya bisa menyaksikan tayangan pertandingan yang disiarkan oleh televisi, itupun jika channel yang ada tidak runyek akibat buruknya sinyal frekuensi di kampung saya. Selain itu, menyaksikan tayangan berita olahraga berupa ulasan hasil pertandingan dan berbagai informasi di dalam dan luar lapangan menjadi hal yang selalu saya tunggu-tunggu setiap minggunya. Namun kenginan saya untuk selalu mengikuti sepakbola lewat televisi kerap terhambat oleh pembatasan orang tua saya dalam menonton televisi.

Sekali waktu, pernah saya mencuri waktu untuk menonton pertandingan semifinal piala dunia 2006 yang mempertemukan antara timnas Italia dan timnas Jerman. Saya masih ingat, saat itu adalah musim ujian akhir semester di sekolah. Setelah menyelesaikan jam belajar malam saya pukul 9 malam, saya diwanti-wanti untuk langsung tidur dikamar. Saya mengiyakan dan langsung masuk ke kamar. Namun, sejak awal saya sudah merencanakan untuk keluar kamar diam-diam dan menuju ruang tengah untuk menyalakan televisi demi menyaksikan pertandingan semifinal yang menampilkan duel antar bintang sepak bola pada saat itu.

Misi berjalan mulus, walaupun pada akhirnya saya harus menggadaikan waktu tidur saya. Namun berhasil menyaksikan pertandingan yang menakjubkan dengan kemenangan yang diperoleh Italia dengan dua gol mereka di babak perpanjangan waktu sungguh merupakan pengalaman yang sangat bernilai. Apalagi itu membuat saya seperti menghirup candu sehingga ketagihan. Saya pun merencanakan untuk menonton Kembali pertandingan selanjutnya di babak final. Italia yang berhasil lolos mengalahkan tuan rumah Jerman ditantang tim ayam jantan Prancis di laga pamungkas pesta sepakbola 4 tahunan tersebut.

3 hari berselang. Saya merancang misi yang sama . Selesai belajar, tanpa disuruh saya langsung membereskan buku-buku pelajaran. Saya masukkan ke ransel, dan saya bawa masuk ke dalam kamar. Dini hari tiba, misi untuk kembali menyaksikan pertandingan final dimulai. Saya bangun dan menyelinap ke ruang tamu dengan penuh hati-hati sehingga tak menimbulkan kegaduhan yg bisa mengganggu kedua orang tua saya terbangun.

Namun nahas, ketika baru saja menyalakan dan mengganti-ganti channel untuk menemukan siaran pertandingan final, saya dikagetkan dengan suara orang hendak masuk dari luar rumah. Ternyata yang masuk adalah ayah saya. Mendapati ada seseorang sedang meyalakan televisi di ruang tengah yang tak lain adalah anaknya sendiri, ia pun langsung menegur dan menyuruh saya untuk langsung masuk ke kamar dan tidur.~

Penulis: Ikhlas Alfarisi

--

--