Diplomasi Maritim Indonesia dalam Mengatasi Perompakan di Laut (Maritime Piracy)

KN Tanjung Datu menjadi kapal terbesar yang dimiliki Bakamla. Bakamla menjadi salah satu komponen penting dalam pemberantasan perompakan di laut di Indonesia. Sumber: Tribun Batam.

“Indonesia perlu memperluas diplomasi maritimnya dengan negara-negara mitra baik secara bilateral maupun multilateral guna mengatasi ancaman perompakan di laut, sebab sejauh ini Indonesia terlalu mengandalkan institusi multilateral ASEAN jika bersinggungan dengan isu-isu keamanan dan pertahanan. Terbentuknya joint patrol secara tritlateral dengan Filipina dan Malaysia merupakan upaya diplomasi maritim Indonesia yang paling signifikan dalam memberantas perompakan di laut di masa pemerintahan Joko Widodo.”

Isu perompakan di laut (maritime piracy) menjadi salah satu potensi ancaman non-tradisional yang semakin menguat setelah era Perang Dingin. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar negara membuat sebagian masyarakat yang tereksklusi dari perekonomian neoliberal memanfaatkan celah mobilitas orang dan barang yang dihasilkan dari globalisasi, sehingga muncul tindakan kekerasan yang diakibatkan oleh desakan ekonomi. Selain itu, menyebarnya ideologi-ideologi ekstrem radikal serta jaringan terorisme transnasional. Di kawasan Asia Tenggara, wilayah perairan di Selat Malaka, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Sulu menjadi wilayah yang mengalami kerentanan serangan perompak bersenjata, di mana ketiga wilayah perairan tersebut berbatasan dengan wilayah perairan Indonesia. Indonesia merupakan negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki letak strategis dalam lalu lintas perdagangan dunia. Wilayah Selat Malaka yang beririsan dengan perairan Indonesia menjadi rute strategis yang membentuk jalur perairan menyempit yang dipadati kapal-kapal kargo yang membawa barang dan sumber daya energi ke Asia. Sepertiga pengiriman barang melalui kapal laut melalui perairan di Asia Tenggara dan 65% serangan perompak di awal abad 21 terjadi di Asia Tenggara.[1] Untuk itu, menarik untuk melihat bagaimana upaya Indonesia, khususnya melalui diplomasi maritim, dalam mengatasi permasalahan perompakan di laut, terlebih lagi Indonesia di masa pemerintahan Joko Widodo memiliki visi sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Secara kelembagaan, guna melindungi keamanan maritim, Indonesia di masa Joko Widodo juga membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla)untuk memperkuat koordinasi patroli laut, baik antar instansi dalam negeri maupun di kawasan.

Tidak ada definisi yang pasti mengenai diplomasi maritim, dalam tulisan ini, diplomasi maritim merupakan diplomasi yang bertujuan untuk mencapai tatanan kelautan yang stabil dalam naungan hukum internasional. Menurut La Miere, diplomasi maritim menjadi bentuk diplomasi yang lebih kompleks dengan tidak hanya menekankan diplomasi yang dilakukan oleh kapal angkatan laut, tetapi juga oleh formasi penjaga perbatasan, kapal kargo dan penangkap ikan, organsiasi bantuan medis, dan Non-Governmental Organizations (NGO).[2] Diplomasi maritim di era kontemporer lebih bertujuan untuk mempengaruhi negara sahabat atau musuh potensial, hal ini beralih dari bentuk gunboat diplomacy di masa lalu. Diplomasi maritim kooperatif tidak bertujuan untuk menggertak, membendung, memaksa, ataupun mempersuasi secara paksa, namun lebih dengan menggunakan atraksi, memberikan pilihan dan inspirasi untuk menarik atau meyakinkan pemerintahan negara lain.[3]

Sementara itu, perompakan di laut dan perampasan bersenjata di laut (maritime piracy and armed robbery) dapat didefinisikan menurut kerangka legal dalam “Article 101 United Nations Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS). Dalam tulisan ini, secara umum maritime piracy mencakup tindakan perampasan, pembajakan, dan penyanderaan suatu kapal di perairan internasional.

Selat Malaka yang berupa celah sempit dan ramai lalu lintas kapal komersil merupakan lahan subur bagi aksi perompakan bersenjata. Dokumentasi: Reuters (Toby Melville)

Ancaman Perompakan di Laut dalam Lingkungan Strategis Indonesia.

Ancaman perompakan di laut bagi Indonesia berada pada lingkup perairan kawasan Asia Tenggara dan perairan domestik. Di Asia Tenggara, tren perompakan di laut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut data dari ICC-International Maritime Bureau, sejak tahun 2011 hingga 2015, tercatat insiden perompakan dan perampasan terhadap kapal terus mengalami peningkatan dengan jumlah insiden perompakan laut terbanyak terjadi di Indonesia. Hal ini menandakan Indonesia menjadi wilayah perairan yang relatif berbahaya di kawasan Asia Tenggara mengingat tingginya jumlah perompakan jika dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan. Wilayah perairan dengan alur laut yang padat dan sempit seperti Selat Malaka memiliki resiko serangan perompak yang tinggi bagi pelayaran komersil.

Jumlah insiden perompakan di Asia Tenggara di tahun 2011–2015.[4]

Melihat posisi strategis Indonesia dalam arus perdagangan dunia yang melintasi kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap serangan perompakan di laut. Indonesia yang memiliki perbatasan laut dengan tiga jalur perdagangan dunia memiliki kerentanan terhadap serangan perompak. Berdasarkan data dari ICC Bureau, dapat diketahui sejak tahun 2011 hingga 2015, telah terjadi peningkatan insiden perompakan yang signifikan sebesar 134%. Selain itu, pelabuhan juga menjadi tempat sebagian besar perompakan dan serangan bersenjata terhadap kapal-kapal yang beradai di perairan Indonesia.Presentase kejadian perompakan dan serangan bersenjata terhadap kapal di pelabuhan secara berurutan mencapai 65% dari total kasus di tahun 2012, 79% di tahun 2013, 77% di tahun 2014, dan 82% di tahun 2015.[5]

Persebaran serangan perompakan di pelabuhan di Indonesia.

Pola Diplomasi Maritim Indonesia untuk Mengatasi Perompakan di Laut

Indonesia sendiri melihat perompakan sebagai isu domestik yang harus ditangani secara internal tanpa intervensi asing. Selain melalui patrol laut terkoordinasi dengan negara-negara pesisir, Indonesia cenderung enggan untuk ikut serta dalam upaya-upaya multilateral di luar kerangka ASEAN atau UNCLOS, termasuk Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP). ReCAAP menjadi institusi internasional di kawasan yang secara khusus menangani permasalahan perompakan di laut dan memiliki bentuk kongkrit patroli maritim. Indonesia bersama Malaysia menjadi dua negara pesisir ASEAN yang tidak menjadi anggota ReCAAP. Antisipasi Indonesia terhadap intervensi asing dalam penanggulangan perompakan di laut juga terlihat di masa lalu ketika Indonesia dengan tegas menolak Regional Maritime Security Inititative (RMSI). Kala itu, RMSI yang digagas oleh Amerika Serikat memiliki kaitan dengan kemungkinan pengerahan pasukan khusus dan tindakan pencegatan secara unilateral di perairan Indonesia.[6]

Bentuk diplomasi maritim yang bersifat multilateral lebih diminati Indonesia terutama dalam kerangka ASEAN, baik dengan sesame negara anggota maupun negara mitra ASEAN. Multilateralisme dalam diplomasi maritim lebih disukai Indonesia karena kerja sama multilateral memungkinkan kekuatan kecil dan pesar untuk bergabung mengatasi ancaman, itulah yang menyebabkan negara middle power lebih memilih institusi multilateral, termasuk dalam rangka mengatasi perompakan di laut. Bulkeley melihat perompakan di laut merupakan isu yang ideal untuk meningkatkan integrasi kawasan, karena perompakan cukup mampu menarik perhatian, namun rezim perompakan tidak akan secara langsung mengancam kekuatan atau pengaruh setiap negara di kawasan.[7] Negara-negara seperti di Asia Tenggara kekurangan sumber daya, keinginan politik, kekuatan militer, dan pengaruh regional yang cukup untuk melindungi negaranya dari perompakan melalui tindakan unilateral, sehingga diplomasi secara multilateral lebih diminati. Sejak era reformasi, Indonesia setidaknya telah melakukan upaya-upaya yang dapat dikategorikan sebagai instrumen diplomasi pertahanan maritim, seperti kerjasama bilateral dengan negara-negara tetangga dan mitra strategis, kerjasama multilateral dengan kerangka ASEAN maupun non-ASEAN, dan hukum internasional dan konvensi regional di bidang keakamanan maritim.[8]

Indonesia memiliki berbagai wadah diplomasi maritim yang dapat digunakan guna memperdalam kerjasama di kawasan dalam mengatasi permasalahan perompakan bersenjata, khususnya melalui kerangka ASEAN. ASEAN Regional Forum (ARF) dapat menjadi kerja sama mengenai keamanan maritim, sejak tahun 2003, ARF meeting di Kamboja menaruh keamanan maritim dalam agenda, termasuk information-sharing, latihan anti-perompakan, dan pelatihan anti-perompakan kawasan, serta peningkatan kapasitas. ARF juga memiliki ASEAN Maritime Forum untuk mendiskusikan strategi untuk menanggulangi perompakan. Kerangka ASEAN juga telah memiliki ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes sejak 2002, yang secara eksplisit mencakup aspek legal, kerja sama ekstra regional, capacity-building, dalam menanggapi permasalahan perompakan. ASEAN juga menyediakan wadah kerja sama anti-perompakan dengan negara ekstra regional, misalnya antara ASEAN dengan Jepang. Jepang mampu meningkatkan kerja sama maritimnya dengan ASEAN dengan tetap berpegang dengan sentralitas ASEAN dan mengakomodasi ASEAN Way.[9]

Muhibat berpendapat, Indonesia nampaknya kurang berminat pada kerja sama ReCAAP terutama karena Indonesia dan Malaysia mengangggap proposal untuk menaruh personel militer AS di Selat Malaka sebagai pengikisan kedaulatan. Baik Indonesia maupun Malaysia berpendapat bahwa keamanan di Asia Tenggara menjadi tanggung jawab negara di kawasan semata sehingga kekuatan eksternal tidak boleh ikut campur. Indonesia dan Malaysia menolak untuk meratifikasi kesepakatan ReCAAP karena kemungkinan kantor pusat mungkin mempublikasi laporan yang tidak adil kepada negara pesisir. Selain itu, kesepakatan ini tidak mewajibkan anggotanya untuk mengambil tindakan spesifik selain berbagi informasi yang relevan terhadap serangan perompak yang dapat terjadi.[10]

Di luar kerangka ASEAN, Indonesia nampaknya enggan untuk melakukan kerja sama dengan negara kekuatan besar di luar kawasan. Bagi Muhibat, di luar ASEAN, Indonesia lebih memilih melakukan diplomasi maritim multilateral bersama negara-negara pesisir yang bertetangga dengan Indonesia seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina. Dalam front Selat Malaka, terdapat kerangka kerja sama patroli terkoordinasi trilateral Indonesia bersama Malaysia dan Singapura dalam Malsindo di tahun 2004. Kerja sama ini dimulai sejak kesepakatan di antara tiga negara pesisir untuk membangun sebuah patroli terkoordinasi di Selat Malaka yang meliputi angkatan laur dari tiga negara pesisir ini. Di tahun 2005, cakupan patroli mengkombinasikan patroli udara dan patroli air di selat yang disebut Eye in The Sky (EIS). Di tahun 2006, Malsindo berganti nama menjadi Malacca Straits Patrols (MSP), yang mencakup patroli laut, eye in the sky, dan Intelligence Exchange Group. Di tahun 2008, Thailand bergabung ke dalam MSP.[11]

Upaya Diplomasi Maritim yang Dijalankan Indonesia di Era Joko Widodo dalam Mengatasi Ancaman Perompakan di Laut

Sementara itu, seiring dengan dinamika ancaman perompakan yang juga meningkat di front Laut Sulu, Indonesia melakukan perluasan diplomasi maritim dengan kerjasama trilateral lainnya bersama Malaysia dan Filipina dalam Trilateral Maritime Patrol Indomalphi. Penulis menilai upaya diplomasi maritim ini menjadi salah satu yang paling signifikan dalam memerangi perompakan dan terorisme di masa pemerintahan Joko Widodo. Patroli maritim dalam Indomalphi diluncurkan pada bulan Oktober 2017 yang mencakup patroli udara dan patroli kelautan.[12] Walaupun kawasan Laut Sulu tidak memiliki signifikansi ancaman sebesar Selat Malaka, namun potensi ancaman yang dihasilkan di wilayah perairan ini menjadi perhatian bagi ketiga negara. Kawasan perbatasan di antara tiga negara ini sebelumnya memiliki tata kelola yang lemah, sehingga menjadi lahan berkembangnya kejahatan terorganisasi dan ancaman teroris. Misalnya, di kawasan ini terdapat Kelompok Abu Sayaf (ASG), di sekitar Laut Sulu dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Mindanao. Pemicu dari kerja sama ini adalah penculikan oleh ASG yang melibatkan warga negara Malaysia dan Indonesia. Selain itu, masing-masing negara menjadi lebih meningkatkan keamanan kedaulatan maritim dan perbatasan seiring pertumbuhan kapasitas.[13]

Unit Anti-teroris penjaga pantai Filipina. Dokumentasi: Reuters (Romeo Ranoco)

Walaupun belum ada kesepakatan resmi, Indonesia juga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kerjasama melalui diplomasi maritim dengan EU. EU relatif tidak memiliki kepentingan dalam isu-isu keamanan maritim Asia Tenggara. Kepentingan utama EU terletak pada memastikan stabilitas global dan menjaga Komunikasi Jalur Laut terbuka. Kesempatan yang paling baik bagi EU untuk merekatkan kerja sama dengan Indonesia ialah dalam konteks bantuan teknis untuk membangun kapasitas, khususnya pelatihan penjaga pantai dan patrol, serta pembangunan infrastruktur angkatan laut.[14] Kerja sama ini juga dapat dilakukan oleh Indonesia bersama dengan negara-negara anggota EU secara individu. Penulis melihat di era Presiden Joko Widodo diplomasi maritim terbangun dengan kerjasama peningkatan kapasitas kekuatan maritim Indonesia melalui pengadaan alutsista. Keseriusan Indonesia dalam menjaga perairan sesuai visi PMD juga ditunjukkan dengan kerjasama antara Kementerian Pertahanan dengan perusahaan pembuat kapal asal Denmark Odense Maritime Technology (OMT). Kesepakatan ini berkaitan tentang pembangunan kapal jenis fregat yang diproduksi denmark dengan kelas Iver yang ditujukan untuk Badan Keamanan Laut (Bakamla).[15] Kerja sama seperti ini menurut penulis memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut untuk menyokong visi PMD Presiden Jokowi, khusunya dalam mengamankan perairan Indoensia dari perompakan di laut.

Kunjungan Kepala The Royal Danish Navy, Frank Trojahn ke Indonesia pada tahun 2017 salah satunya dalam rangka memberikan solusi pertahanan laut kepada Bakamla. Sumber: Scandasia.

Meskipun diplomasi maritim menjadi upaya Indonesia dalam mengatasi permasalahan perompakan dan menjadi elemen penting dalam visi PMD, namun penulis menemukan bahwa pelaksanaan dari diplomasi maritim di era Joko Widodo mendapatkan berbagai evaluasi yang perlu dibenahi ke depannya dari para akademisi. Dinarto berpendapat bahwa diplomasi maritim bilateral antara Indonesia dengan Jepang mengabaikan meningkatnya ancaman perompakan di kawasan, khususnya Indonesia sebagai negara dengan jumlah insiden terbanyak di kawasan. Indonesia juga perlu mengadakan diplomasi maritim yang lebih aktif ketimbang reaktif seperti membentuk kerjasama trilateral dengan Malaysia dan Filipina dalam merespon ASG.[16] Selain itu, tim dari CSIS juga mengevaluasi berjalannya diplomasi (pertahanan) maritim di era Joko Widodo yang dinilai perlu mengadopsi berbagai instrumen hukum internasional dan konvensi regional terkait keamanan maritim; memikirkan ulang mindset kebijakan luar negeri Indonesia yang cenderung multilateralisme di ASEAN; dan menjagjagi kerangka bilateral terkait isu joint counter-piracy dan joint counter-IUU Fishing.[17]

Dapat disimpulkan untuk menanggulangi permasalahan perompakan di laut, Indonesia membangun diplomasi maritim baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara ASEAN dan negara mitra lainnya. Dalam tulisan ini, penulis berpendapat Indonesia perlu memperluas diplomasi maritimnya dengan negara-negara mitra baik secara bilateral maupun multilateral guna mengatasi ancaman perompakan di laut, sebab sejauh ini Indonesia terlalu mengandalkan institusi multilateral ASEAN jika bersinggungan dengan isu-isu keamanan dan pertahanan. Dalam hal ini, penulis melihat adanya joint patrol secara tritlateral dengan Filipina dan Malaysia merupakan upaya diplomasi maritim Indonesia yang paling signifikan dalam memberantas perompakan di laut di masa pemerintahan Joko Widodo. Selain itu, melakukan diplomasi maritim dalam rangka meningkatkan kapasitas militer Indonesia dengan kerja sama pengadaan alutsista bersama Denmark juga sesuai dengan visi PMD dan perlu diperluas untuk melindungi kedaulatan maritim Indonesia, khususnya dari ancaman perompakan di laut.

Oleh: Wahyu Triono Pamungkas (FISIP 2015), Ketua divisi research and development FPCI UI.

Catatan Kaki:

[1] Jennifer C. Bulkeley, “Regional Cooperation on Maritime Piracy: A Prelude to Greater Mulltilateralism,” Journal of Public and International Affairs, Vol. 14, 2003. 1–2.

[2] Christian Le Mière, Maritime Diplomacy in the 21st Century: Drivers and Challenges (London: Routledge,
2014).

[3] Andrzej Makowski, “Maritime Diplomacy in the 21st Century: Drivers and Challenge (Review),” Israel Journal of Foreign Affairs, 2015. 351–53.

[4] Dodi Dinarto, “Indonesia Needs to Step up Its Fight Against Maritime Piracy,” The Diplomats, 29 Desember 2016, diakses dari: https://thediplomat.com/2016/12/indonesia-needs-to-step-up-its-fight-against-maritime-piracy/

[5] Dodi Dinarto, “Reformasi Tata Kelola Keamanan Maritim Indonesia di Era Presiden Joko Widodo,” Conference Paper, November 2016.

[6] Evan A. Laksmana, Iis Gindarsah, dan Andrew W. Mantong, “Menerjemahkan Visi Poros Maritim Global ke dalam Kerangka Diplomasi Pertahanan Maritim dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Era Jokowi,” CSIS Working Paper Series, 01, 2018. 11–12.

[7] Jennifer C. Bulkeley, “Regional Cooperation on Maritime Piracy: A Prelude to Greater Mulltilateralism,” Journal of Public and International Affairs, Vol. 14, 2003. 11–12.

[8] Ibid., 20.

[9] Shafiah F. Muhibat, “Indonesia’s Maritime Security: Ongoing Problems and Strategic Implication,” dalam Wilheim Hofmeister dan Patrick Rueppel ed., Maritime Security and Piracy: Common Challanges and Responses from Eruope and Asia, 137–138.

[10] Ibid., 139.

[11] Ibid., 137–138.

[12] Prashanth Parameswaran, “What’s with the New Sulu Sea Trilateral Air Patrols?” The Diplomat, 13 Oktober 2017. Diakses dari: https://thediplomat.com/2017/10/whats-with-the-new-sulu-sea-trilateral-air-patrols/

[13] Prashanth Parameswaran, “Confronting Threats in the Sulu Sulawesi Seas: Opportunities and Challenges,” The Diplomat, 10 Juni 2016. Diakses dari: https://thediplomat.com/2016/06/confronting-threats-in-the-sulu-sulawesi-seas-opportunities-and-challenges/

[14] Ibid., 140.

[15] Joakim Persson, “Danish naval defence solutions introduced to Indonesia,” Scandasia.com, 21 Mei 2017, diakses dari: https://scandasia.com/danish-naval-defence-solutions-introduced-to-indonesia/.

[16] Dedi Dinarto, Indonesia Needs to Step up Its Fight Against Maritime Piracy,” The Diplomat, 29 Desember 2016. Diakses dari: https://thediplomat.com/2016/12/indonesia-needs-to-step-up-its-fight-against-maritime-piracy/.

[17] Evan A. Laksmana, Iis Gindarsah, dan Andrew W. Mantong, “Menerjemahkan Visi Poros Maritim Global ke dalam Kerangka Diplomasi Pertahanan Maritim dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Era Jokowi,” 34–35.

--

--

FPCI Chapter Universitas Indonesia
FPCI Chapter UI: Diplomatic Review

FPCI Chapter UI is a student organization based in Universitas Indonesia that aims to shape and promote positive Indonesian internationalism.