Film Black Panther sebagai Panggilan terhadap Kenyataan Kolonialisme, Diaspora, Migran, dan Rasisme di Afrika

Penggambaran yang positif dari Afrika dalam film Black Panther dapat membantu mengurangi diskriminasi sistemik terhadap orang Afrika, karena pada dasarnya keadaan Afrika pada saat ini adalah gambaran kekejaman kolonialisme Barat dan supremasi orang kulit putih.

Kamu sudah menonton Black Panther? Jika belum, saya menyarankan anda untuk menontonnya terlebih dahulu sebelum membaca artikel ini karena mengandung cukup banyak spoilers. Black Panther adalah film blockbuster yang menuai berbagai macam reaksi dari publik: sebagian menganggap Black Panther tidak jauh berbeda dengan film-film Marvel sebelumnya dengan plot yang sama dan mudah ditebak, lagi-lagi mengenai pahlawan yang berhasil mengalahkan sang penjahat, namun, sebagian lagi menganggap bahwa film tersebut mengandung elemen revolusioner yang mengangkat isu keadilan sosial dan rasisme terhadap orang kulit hitam. Tentunya saya memiliki pendapat yang sama bahwa Black Panther adalah film yang sangat revolusioner dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya di dalam film manusia super.

Film ini mengisahkan tentang Wakanda, sebuah negara utopis yang mengilustrasikan “kesempurnaan orang kulit hitam”: negara Afrika yang kaya akan sumber daya alam dan mampu untuk mengolahnya secara independen dengan teknologi mutakhir tanpa adanya “artefak” kolonialisasi dari negara-negara Barat. Namun, Wakanda merupakan negara yang menerapkan kebijakan luar negeri proteksionis dan autarki karena kebijakan ekspansionis dianggap dapat dapat melukai negara, mengundang pengungsi dari negara-negara Afrika lainnya, dan memberikan ruang bagi negara-negara imperialis untuk mengambil alih vibranium. Wakanda akan kehilangan pilar pembangunannya yang paling krusial dan nasibnya tidak berbeda dengan negara-negara Afrika lainnya. Hal ini mengundang reaksi dari oposisi Raja T’Challa, Erik Killmonger. Killmonger menginginkan Wakanda untuk meruntuhkan sifat proteksionismenya sebagai bentuk solidaritas terhadap “saudara-saudara” kulit hitam yang tidak dapat menikmati kesejahteraan Wakanda dengan cara yang jauh lebih radikal dari Nakia — Killmonger hendak mempersenjatai orang kulit hitam dalam rangka revolusi global, sedangkan cara yang diadvokasikan oleh Nakia adalah cara damai. Keinginan Nakia diwujudkan oleh raja T’Challa dalam bentuk institusi yang menjembatani negara-negara yang berkembang dengan Wakanda. Pesan yang disampaikan Killmonger dan Nakia membuat Black Panther berbeda dengan film-film Superhero sebelumnya. Pernyataan Killmonger terhadap raja T’Challa, “Two billion people all over the world who look like us, whose lives are much harder, and Wakanda has the tools to liberate them all,” menggambarkan “penderitaan” berkepanjangan mayoritas kelompok etnis Afrika, baik dalam bentuk diaspora global (terutama Amerika Serikat dan Eropa) maupun yang menetap di Afrika. Penyampaian pesan tersebut sangatlah brilian mengingat demografi dari film Superhero yang diproduksi oleh Hollywood menyentuh seluruh kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa, dibuktikan oleh pendapatan kotornya yang mencapai $501 juta dolar di Amerika Serikat dan $897 di seluruh dunia, melebihi Deadpool ($363/$783m pada tahun 2016) dan Wonder Woman ($413M/$821M pada tahun 2017), dan Spider-Man ($403m/$821m pada tahun 2002).[i]

Afrika yang kita kenal hingga sekarang belum memiliki negara dengan taraf yang sama dengan Wakanda meski pun beberapa negara menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat seperti Kenya dan Afrika Selatan. Pada kenyataannya, hampir seluruh negara di Afrika terkena dampak negatif dari warisan kolonialisme oleh negara-negara Eropa dan secara signifikan memperlambat pembangunannya. Negara-negara seperti Kongo, Burundi, Liberia, Libya, Ethiopia, Burkina Faso, Namibia, Eritrea, Mozambique, dan sejumlah negara lainnya menempati posisi masing-masing dalam daftar 25 negara termiskin di dunia[ii]. 10 negara paling miskin di dunia pun mayoritas berasal dari Afrika. Liberia merupakan satu-satunya negara di Afrika dengan sejarah kolonialisasi yang singkat (Italia dari tahun 1936–1941). Trauma yang disebab kolonialisme pun tertinggal dalam bentuk gaya pemerintahan di Afrika yang cenderung otoriter dan kurang mendapatkan legitimasi dari rakyatnya. Di Togo, terdapat bentuk penyiksaan yang merupakan warisan dari penjajahan Perancis[iii], sedangkan di Rwanda masih terdapat tensi etnis dan politik yang kuat akibat sisa-sisa genosida suku Hutu terhadap suku Tutsi yang terjadi pada tahun 1994. Hal itu disebabkan oleh perlakuan penjajah dari Jerman dan Belgia yang menempatkan suku Tutsi sebagai etnis yang lebih superior daripada suku Hutu yang pada akhirnya menyebabkan kecemburuan sosial.[iv]

Data 23 Negara Termiskin di Dunia. Sumber: World Economic Forum

Dampak paling nyata lainnya dari kolonialisme adalah penduduk Afrika banyak yang tersebar di negara-negara kolonial, seperti Perancis dan Jerman, mendorong terjadinya diaspora secara global. Amerika Serikat juga sempat memperdagangkan orang kulit hitam dalam bentuk perbudakan. Melalui Trans-Atlantic Slave Trade pada abad ke-17 hingga abad ke-18 akhir, kurang lebih 15 juta jiwa telah diperdagangkan sebagai budak.[v] Pada tahun 2016, jumlah diaspora Afrika mencapai 46.350.467 jiwa di Amerika Serikat.[vi] Pada sejumlah gambar di bawah, terlihat jelas bahwa diaspora Afrika masih sering menghadapi rasisme yang terinstitusionalisme. Hal ini dapat dibuktikan melalui data Harvard T.H Chan School of Public Health pada tahun 2017 bahwa lebih dari setengah populasi Afrika Amerika pernah mengalami diskriminasi dalam sistem tanpa memandang tingkat pendidikannya meski pun telah terdapat banyak usaha untuk mengurangi tingkat diskriminasi oleh masyarakat sipil, salah satunya melalui gerakan Black Lives Matter.[vii]

Gerakan Black Lives Matter Sumber: Huffington Post
Persentase perlakuan diskriminatif yang pernah dialami Afro-Amerika

Hingga pada tahun 2015, data OECD menunjukkan bahwa imigran ekonomi dari Afrika memiliki jumlah yang paling besar, terutama di daerah Sub-Sahara yang mengalami brain-drain karena 13% dari populasi yang berpendidikan tinggi menetap secara permanen di negara-negara OECD untuk mencari penghidupan yang lebih baik[viii]. Selain itu, banyaknya negara Afrika dengan indeks kesejahteraan yang cukup rendah juga mengancam krisis migran dengan tingkat pendidikan yang rendah, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa (khususnya Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol). Amerika Serikat di bawah rezim Donald Trump tengah melakukan pemotongan yang cukup besar terhadap imigran (setengah dari kuota imigran sebelumnya), tidak terkecuali yang berasal dari Afrika.[ix] Adapun di Eropa, Presiden dari Parlemen Eropa, Antonio Tajani, berusaha untuk mendiskusikan sebuah bentuk kebijakan bantuan luar negeri yang mirip dengan “Marshall Plan” (bantuan ekonomi besar-besaran) kepada sejumlah negara Afrika untuk membendung prospek krisis imigran Afrika di Eropa, terutama yang berasal dari negara Libya, Chad, dan Niger yang mengambil jalur Laut Mediterania melalui perahu terbuka. Pemimpin-pemimpin dari Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyol setuju untuk membantu pemerintah Chad dan Niger dalam permasalahan kontrol perbatasan.[x] Lebih lanjut lagi, tentu saja ancaman adanya krisis migran akan menimbulkan sentimen anti-imigran. Italia merupakan negara Eropa dengan sentimen anti-imigran Afrika yang paling kuat pada saat ini, pada bulan Februari 2018 terjadi insiden penembakan berbasis sentimen rasial yang melukai enam orang imigran dari Afrika di kota Macerata, Italia. Pelaku dari insiden tersebut, Luca Traini, merupakan salah satu kanditat pemilihan perwakilan partai nasionalis Northern League yang dipimpin oleh Matteo Salvini.[xi] Imigran-imigran dari Afrika menghadapi ketakutan terhadap kemungkinan besar bahwa mereka akan terus mengalami diskriminasi sistemik dan deportasi dengan adanya dominasi Partai Sayap Kanan yang mengadvokasikan kebijakan anti-imigran dan berjanji untuk melakukan “pembersihan total” terhadap seluruh imigran Afrika.[xii]

Data Arus Migran Afrika melalui Laut Mediterania. Sumber: Aljazeera.
Pengungsi dari Libya. Sumber: CNN
Protes Anti-Sentimen Imigran Afrika di Italia. Sumber: The Guardian.

Dalam artikel ini, penulis menganggap bahwa penggambaran yang positif dari Afrika dalam film Black Panther dapat membantu mengurangi diskriminasi sistemik terhadap orang Afrika, karena pada dasarnya keadaan Afrika pada saat ini adalah gambaran kekejaman kolonialisme Barat dan supremasi orang kulit putih. Black Panther memang bukan film superhero pertama yang menggambarkan dimensi “abu-abu” dari tujuan penjahat untuk menaklukkan sang pahlawan atau film Superhero pertama yang membawa pesan keadilan sosial, namun Black Panther dengan sempurna mengilustrasikan realitas historis dan kontemporer kelompok etnis yang termarjinalisasi, terutama sisa-sisa kolonialisme, rasisme yang terinstitusionalisasi, diaspora global, dan krisis migran global. Singkatnya, pesan yang paling penting dari Black Panther adalah kebijakan luar negeri dapat menyebabkan dampak sistemik global yang sangat merugikan dan penderitaan yang dihasilkan dapat berlangsung selama ratusan tahun lamanya.

Oleh: Monika Febiola (FISIP 2016), Anggota divisi Research and Development FPCI UI.

Referensi

[i] “’Black Panther’ Box Office: More Records And Milestones As It Nears $900M Worldwide”, diakes pada 10 Maret 2018, melalui https://www.forbes.com/sites/scottmendelson/2018/03/05/black-panther-box-office-more-records-and-milestones-as-it-nears-900m-worldwide/#4b417d6766e8

[ii] “Which are the Poorest Countries in the World?”, diakses pada 10 Maret 2018, melalui https://www.weforum.org/agenda/2015/07/which-are-the-poorest-countries-in-the-world/

[iii] “Understanding Wakanda and The Traumas of Colonialism in Africa”, diakses pada 11 Maret 2018, melalui https://www.huffingtonpost.com/entry/understanding-wakanda-and-the-traumas-of colonialism_us_5a593b70e4b01ccdd48b5c3b

[iv] “22 Years After the Rwandan Genocide”, diakses pada 11 Maret 2018, melalui https://www.huffingtonpost.com/to-the-market/22-years-after-the-rwanda_b_9631032.html

[v] “Black History: Slavery”, diakses pada 11 Maret 2018, melalui https://www.history.com/topics/black-history/slavery

[vi] https://www.census.gov/content/dam/Census/newsroom/facts-for-features/2017/cb17-ff01.pdf

[vii] “Discrimination in America: Experiences and Views Of African Americans”, diakses pada 11 Maret 2018, melalui https://www.npr.org/assets/img/2017/10/23/discriminationpoll-african-americans.pdf

[viii] “New AFD/OECD report connecting with Emigrants. A Global Profile of Diasporas 2015”, diakses pada 12 Maret 2018, melalui https://www.oecd.org/els/mig/Press-Note-Connecting-with-Emigrants-A-Global-Profile-of-Diasporas-2015.pdf

[ix] “Trump Supports Plan to Cut Immigration by Half”, diakses pada 12 Maret 2018 melalui https://www.nytimes.com/2017/08/02/us/politics/trump-immigration.html

[x] “EU, African Leaders Back New Plan Over Migrant Crisis”, diakses pada 12 Maret 2018 melalui

https://www.aljazeera.com/news/2017/08/eu-african-leaders-plan-migrant-crisis-170828193540666.html

[xi] A Gruesom Murder: A Hate-Filled Shooting Spree and A Recoking With Immigrant Before Italy Votes, diakse pada 12 Maret 2018 melalui https://www.washingtonpost.com/world/europe/a-gruesome-murder-a-hate-filled-shooting-spree-and-a reckoning-with-immigration-before-italy-votes/2018/02/06/d34f8598–0aa7–11e8–998c-96deb18cca19_story.html?utm_term=.f2b06a1a8f4a

[xii] Italy Election Results Deepens Refugees Deportation Fears, diakses pada 12 Maret 2018, melalui https://www.theguardian.com/world/2018/mar/07/italy-election-result-deepens-refugees-deportation-fears

--

--

FPCI Chapter Universitas Indonesia
FPCI Chapter UI: Diplomatic Review

FPCI Chapter UI is a student organization based in Universitas Indonesia that aims to shape and promote positive Indonesian internationalism.