Anjar Anjir (2/3)

@mirolvi
p3tir
Published in
5 min readOct 27, 2018

Kos Anjar agak jauh dari kampus, tapi harganya lebih murah dari kos kebanyakan. Hamdan sudah sampai duluan karena naik motor, sudah pula buka pagarnya dengan kunci gembok yang sebelumnya diserahkan Anjar, sudah parkir di tempat yang disediakan, dan sudah masuk serta menyalakan kipas angin di kamar Anjar. Hamdan membuka celana jeans belelnya dan hanya mengenakan celana pendek. Jeans belel itu ia gantung di balik pintu kamar Anjar.

“Permisi ya, Bang,” canda Anjar ketika ia sampai di kamarnya sendiri dan mendapati Hamdan sudah malas-malasan di kasur. Hamdan tidak bergerak sedikit pun, sibuk melihat dagelan di Instagram yang sebenarnya tidak lucu. Hamdan memang berencana menunggu Anjar memulai sendiri ceritanya, sebab menurutnya ia sudah terlalu banyak bertanya.

Anjar ganti baju, mencuci tangan dan kakinya, lalu mengambil papan catur dari rak bukunya. Ia bertanya apakah Hamdan mau bermain, tapi Hamdan hanya menggumam sambil tetap fokus ke ponsel. Anjar menawarkan apel kiriman ibunya, Hamdan merespon dengan cara yang sama. Anjar melempar Hamdan dengan kutangnya yang belum dicuci, barulah Hamdan ada sedikit ekspresi berbeda.

“Iya, iya, aku cerita,” kata Anjar. Hamdan berubah posisi menjadi duduk. Ponselnya dibalik agar ia tidak bisa melihat layar yang mungkin menyala tiba-tiba. Ia mencoba menangkap mata Anjar, tapi Anjar seperti orang gugup yang mengabur-ngaburkan pandangan. Hamdan menggeram. Anjar menghela napas, lalu ia bilang, “Aku tuh suka perempuan.”

“Anjir, astaghfirullah!” Hamdan setengah terkejut. “Kenapa nggak bilang saja kalau cuma soal ini?”

“Perempuan itu si Lita.”

Hamdan melongo. Adalah Lita Jelita, perempuan yang sedang disukai sahabatnya. Anak satu jurusan dan paguyuban Sukabumi bernama asli Yulita Yuliana, berbintang Cancer dengan tanggal lahir tanggal tujuh bulan tujuh. Setiap nama di profil media sosialnya adalah Lita Jelita, sehingga ia lebih dikenal demikian. Memang cukup jelita. Sejak masuk di akun mahasiswi cantik cabang kampusnya di awal kuliah, Lita beternak pengikut di Instagram dan berubah gaya. Banyak omongan kurang baik tentang Lita, tapi Anjar dan Hamdan tidak pernah membicarakannya karena mereka pun tidak pernah bicara dengan Lita. Lah kok, Anjar bisa tiba-tiba suka?

Melihat kebingungan Hamdan, sebenarnya Anjar jadi malas berbicara lebih jauh. Ia tahu bahwa Hamdan, dan pastinya orang-orang lain, akan bingung bagaimana ceritanya Anjar jatuh hati dengan perempuan yang katanya “nakal”. Meski masih ibadah lima waktu, Lita bisa mudah ditemukan di klub malam di daerah Jakarta saat akhir pekan. Trik endorse andalannya adalah mengambil gambar setengah badan dengan hanya memakai tank top dan rambut dicepol. Mempromosikan berbagai macam perawatan kulit, suplemen diet, atau katering sehat. Jumlah pasang mata yang melihat memang banyak, tapi tak tepat sasaran karena audiensnya laki-laki sementara target konsumennya adalah perempuan. Lita tidak peduli dengan kenyataan itu meski ia kuliah pemasaran kreatif. Yang penting money, money, money!

Anjar mengambil ponselnya dari saku celana jeans yang sudah digantung. Ia mengutak-atik sesuatu, lalu menghadapkan layar ponsel itu ke wajah Hamdan. “Dia like foto aku yang ini,” Anjar menunjukkan tangkapan layar berisi notifikasi Lita menyukai foto kutipan surat An-Nur ayat 32. Tentang janji Allah memberi kemampuan pada orang-orang yang menikah. Anjar menggeser ke tangkapan layar berikutnya, menampilkan pesan pribadi dari Lita yang mengatakan: “Semangat, ya! Berusaha memang nggak gampang, tapi kita pasti bisa.”

Suara kipas angin membuat suasana tidak begitu canggung. Kadang anginnya bertiup ke tirai jendela dan menggoyangkan tirai itu. Setelah memperlihatkan bukti awal mula Anjar menyukai Lita, Anjar menjelaskan pada Hamdan bahwa Lita tidak seburuk kabar burung yang beredar. Ia adalah gadis manis yang sedang menikmati waktunya saat ini saja. Di balik itu, Lita tidak melupakan jati dirinya yang sesungguhnya dan tetap peduli pada orang-orang di sekitar, terutama yang terkait dengan kampung halamannya. Anjar percaya, selama hatinya tidak rusak, seseorang pasti akan kembali ke jalan yang benar. Biarlah Lita menjalani hidup ekspresifnya di kala masih muda, toh dari segi gaya hidup juga Lita lebih sehat daripada Anjar, apalagi Hamdan. Yoga tiga kali seminggu, berenang tiap Sabtu, tidak makan gorengan, tidak makan nasi dan roti putih, bahkan kabarnya rajin puasa Senin-Kamis.

Hamdan tahu ia tidak punya hak melarang atau mengkritik pendapat Anjar tentang Lita. Sebab, mereka sendiri bisa akrab padahal Hamdan kurang disukai dan sering dihakimi anak-anak lain juga. Nasibnya tidak beda dengan Lita. Hanya saja, laki-laki lebih beruntung dalam urusan seperti ini dibanding perempuan. Begitu menurut Hamdan setidaknya.

Apel kiriman ibu Anjar terasa manis di mulut. Makin manis karena Anjar akhirnya bisa menceritakan pengalamannya ini ke Hamdan, setelah disembunyikan beberapa bulan. Juga manis di mulut Hamdan, tapi itu karena ia mencocol potongan apelnya ke susu kental manis lebih dahulu. Diiringi lagu Live and Let Die dari Guns n Roses yang Hamdan paksa untuk putar, mereka masih membicarakan Lita. Ternyata, setelah pesan dari Lita itu, Anjar dan Lita ngobrol beberapa kali melalui WhatsApp. Biasanya membicarakan cara-cara mendapat uang tambahan dan menabungnya, tugas kuliah, masalah di paguyuban, hingga film baru dan lagu-lagu Ed Sheeran yang Lita sukai.

“Jadi berikutnya lo mau ngapain, Njir?”

“Pacaran sih nggak mungkin.” Anjar mengunyah-ngunyah apel. “Aku nggak mau pacaran. Apa aku ajak arisan, ya? Lebih berfaedah. Nabung bareng tapi tiap bulan bisa rutin ketemu.”

“Nggak sekalian lo ajak MLM?”

“Nggaklah. Lita duitnya sudah banyak dari endorse buat mau diajak MLM. Eh, itu tadi kamu bercanda, kan?”

“Lo mau ajak arisan itu bercanda, kan?”

“Serius itu.”

Keplakan mendarat di kepala Anjar. “Eh, gue memang nggak pernah punya pengalaman sama cewek. Tapi ya kali lo ajak arisan. Berdua doang lagi. Itu sih namanya ganti-gantian ngutang. Mending lo ajak ngobrol habis kalian kumpul paguyuban besok. Kasih tahu yang tadi lo bilang ke gue soal dia. Kali saja dia bisa jadi introspeksi diri, tapi nggak ngerasa direndahin. Gitu.”

“Kayak nembak gitu? Ah, malu aku, Dan!” Tiba-tiba wajah Anjar setengah memerah. Meski menunduk, bisa terlihat bibirnya senyum-senyum sendiri karena membayangkan situasi yang dikatakan Hamdan. Padahal, bukan itu maksud Hamdan. Orang suka berpikir menyatakan perasaan sama dengan meminta jadi pasangan, harus ada jawaban diterima atau tidak. Karena hal yang begini ini, orang jadi jarang mengucapkan perasaan-perasaan baik ke orang lain. Interpretasinya kejauhan!

Dengan sabar, Hamdan menjabarkan maksud dan tujuan rencananya. Berulang-ulang agar Anjar tak salah kaprah. Orang kasmaran memang suka jadi lemah otak, pikir Hamdan. Begitu Anjar mengerti dan membuat janji akan melakukannya besok, Hamdan membanggakan diri sebagai konsultan cinta. Anjar geli dan Hamdan tidak peduli. Namun, Hamdan hendak memberikan pertanyaan penentu untuk Anjar.

“Lo tahu kalau Lita sudah nggak perawan? Lo nggak apa dengan itu?”

“Itu juga sudah kupikirkan, Dan. Keperawanan nggak sepenting itu.”

“Kata siapa? Cewek yang sudah nggak perawan itu berarti dia bekasan orang, Njir. Gue bayanginnya geli sendiri. Belum lagi pasti bentuknya nggak karuan.”

“Aku hitung itu sebagai pengalaman hidup. Seperti luka di badan saja, bikin kita jelek tapi ya itu kan bagian dari kita juga. Dan aku menerima Lita apa adanya, setidaknya sampai saat ini. Keperawanan itu nggak penting!”

Hamdan hanya mangut-mangut. Bagaimana pun, ia tidak setuju bila perawan dibilang tidak penting. Itu krusial. Ada alasannya vagina dan penis disebut dengan kemaluan. Terlebih Anjar sangat menjaga dirinya, kan kasihan kalau harus bersama perempuan yang selaput daranya sudah dipecahkan orang lain. Hamdan percaya, pasti Anjar juga masih ada kegamangan tentang hal itu, karenanya ia biarkan saja untuk sekarang. Di satu titik, Anjar pasti akan sadar kalau pendapatnya salah.

Usai apel-apel dilahap tuntas, mereka berhenti berbicara. Hamdan mau tidur sementara Anjar ada laporan yang perlu dikerjakan. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak sampai lima menit pejam, Hamdan sudah ada di alam mimpi. Anjar memandang kosong layar laptopnya, membuka Word tapi tidak menulis apa pun. Ia memikirkan Lita, Lita, Lita. Besok ia harus siap berhadapan dengan Lita dan menyampaikan pendapatnya tentang Lita. Anjar yakin betul, hanya ia laki-laki yang tulus berpikir seperti itu. Dengan percaya diri, Anjar berharap hari esok cepat tiba.

***

--

--