Anjar Anjir (3/3)

@mirolvi
p3tir
Published in
4 min readOct 28, 2018

“Anjar mau ngobrolin apa? Nggak apa-apa berduaan?” Lita bertanya sambil menuruni tangga di samping Anjar. Dijawab tidak apa-apa sebab tidak akan lama. Mereka hendak mengobrol sambil makan rujak yang ada di dekat lapangan parkir kampus. Tempatnya teduh dan tidak banyak orang, paling hanya satpam di dalam posnya. Jantung Anjar berdegup kencang, tapi ia beralasan itu disebabkan tubuhnya lelah bergadang semalam mengerjakan laporan dan kebanyakan minum kopi.

Sesampainya di tukang rujak, Anjar minta bengkoang dan nanasnya dilebihkan sebab itulah kesukaan Lita. Lita tersenyum dan memuji perhatian Anjar. Kemudian, mereka duduk di bangku batu dengan rindang pohon di atasnya, beberapa meter dari tukang rujak. Dengan tidak sabar, Lita mengambil potongan bengkoang untuk dimakan bersama sambal rujak yang kaya rasa.

“Bismillah dulu,” Anjar mengingatkan.

“Oh, iya!” Lita meletakkan kembali potongan bengkoang itu di antara buah yang lain, sehingga sambalnya mengenai buah di bawahnya. Ia mengangkat kedua tangan, menundukkan kepala, lalu membaca doa sebelum makan. Aduh, Anjar jadi makin suka!

Sepuluh menit pertama dihabiskan Anjar dan Lita untuk mengulas hasil pertemuan paguyubannya. Mereka sedang menyiapkan acara penyambutan mahasiswa baru. Lita bilang ia ingin di balik layar saja, sementara Anjar dan anak-anak lain mendukung Lita menjadi penerima mahasiswa baru. Lita bilang ia malu. Cukup di media sosial saja ia ekspos dirinya. Akhirnya, Anjar mengajukan diri untuk menyelamatkan Lita. Semua langsung setuju.

Sepuluh menit kedua dilalui lebih banyak hening. Rujak sudah habis dan suasana malah jadi agak kaku. Anjar mencoba bertanya kepada Lita tentang akhir pekannya, bagaimanakah klub malam itu dan apa yang biasa ia lakukan, tapi Lita enggan menjawab dengan jelas. Toh, Lita sudah sering mengunggahnya ke Instastory. Akibat pertanyaan itu, Anjar jadi tidak enak. Mungkin ini waktunya aku sampaikan perasaanku, pikir Anjar.

“Tadi katanya Anjar mau ngomongin sesuatu?”

Nah! Pas sekali Lita melempar umpan. Anjar berdehem, menenggak minuman, dan menegakkan tubuhnya. Ia memanggil nama Lita dengan suaranya yang diusahakan terasa paling berwibawa. “Yulita,” kata Anjar. “Beberapa bulan ini aku sering mikirin kamu. Aku punya pendapat soal kamu. Maaf kalau aku lancang..”

Dengan terbata-bata di awal, lancar di pertengahan, dan terbata-bata lagi di belakang karena bingung mengakhirinya, Anjar akhirnya berhasil memberi tahu Lita soal perasaannya. Tidak jauh beda dengan yang ia sampaikan ke Hamdan kemarin. Soal Lita yang manis di matanya, baik, peduli, dan hatinya terjaga. Anjar memastikan ia bukan mengajak pacaran, tapi terbuka kalau-kalau Lita mau membuat janji untuk menikah. Lita kaget di bagian itu. Tadinya ia tersanjung di awal, bingung di pertengahan, eh jadi terganggu di belakang. Lita menghargai perasaan Anjar, tapi buatnya ini kurang masuk akal. Maka, Lita memutuskan menanyakan pertanyaan penentu untuk Anjar.

“Anjar.. Anjar tahu kalau Lita sudah tidak perawan?” Wajah Lita sedikit sendu. Semua anak di jurusannya memang tahu soal status itu, setelah Rino, teman satu kelasnya, menyebarkan dengan bangga ia pernah meniduri Lita.

“Aku tahu dan buatku itu tidak ada urusannya,” Anjar menjawab mantap.

“Anjar sendiri, gimana? Anjar masih perjaka?” Lita menaikkan wajahnya hingga bisa menatap lekat mata Anjar.

“Aku.. Masih. Aku masih perjaka.”

Lita menghela napas. Jari kirinya menggerutuk bangku batu dengan irama. Tanda ia merasa cemas. Melihat itu, Anjar langsung berupaya meyakinkan Lita bahwa itu memang tidak perawan bukanlah masalah baginya. “Aku nggak pusing soal keperawanan, Lit! Itu nggak penting!”

“Tapi itu penting buat aku!” Lita menyela tegas. Anjar terdiam. Ia sadar Lita sudah mengubah kata ganti dirinya sendiri. “Maaf, Njar, aku nggak bisa sama perjaka. Apalagi kalau sampai menikah segala. Nggak bisa aku, Njar. Nggak bisa.” Lita geleng-geleng. Kemudian, ia berdiri untuk meninggalkan Anjar. “Aku mau jelaskan ke kamu juga bingung, Njar. Aku nggak nyaman bahasnya. Maaf.”

Anjar duduk membatu di bangku batu. Ia tidak mengerti bagaimana ceritanya bisa jadi begini sementara Lita menjauh.

***

Hamdan mengungsikan PS 3 dan TVnya untuk sementara di kosan Anjar. Biar jadi distraksi setelah Anjar ditolak dan malah disisakan kebingungan-kebingungan. Anjar bahkan tidak diberi kesempatan bertanya! Ada suatu gejolak dalam diri Anjar yang sulit ia jelaskan. Sebagai spesialis Marksman, Anjar merasa seperti baru dibunuh Fighter pada akhir permainan. Ia tidak sempat melesatkan serangan jarak jauh: memanggil Lita kembali dan melemparkan senyum untuk menunjukkan betapa tulus ia.

“Ya sudahlah,” Hamdan mencoba menghibur tapi tidak bisa. Takut salah bicara.

“Aing keur lieur!” kata Anjar.

“Lo lieur sama orang liar mah nggak bakal ada ujungnya, Njir. Lo berdua mungkin dari asal yang sama, tapi kehidupannya beda. Lita nggak ngasih lo kesempatan buat adaptasi, ngapain lo susah-susah mau ngerti maksud sikapnya?” Hamdan sebal. Di satu sisi, ini adalah kesempatan Hamdan menunjukkan dirinya bisa lebih bijak dari Anjar.

Kamar Anjar terasa sepi dengan dua bujang yang tak pernah tahu rasanya sentuhan perempuan. Tak terkira oleh mereka bahwa perempuan bisa malas dengan laki-laki yang tak punya pengalaman. Katanya sih, katanya ya, perempuan lebih senang jadi yang terakhir sementara laki-laki bangga untuk jadi yang pertama.

Di daerah Depok yang lain, Lita sedang bercermin seraya mengaplikasi serum vitamin C ke wajah. Tap, tap, tap, ujung jari telunjuk dan tengahnya menekan halus pipinya yang lembut dan kenyal. Ia masih tak habis pikir dengan Anjar dan ajakannya. Ketahuan diajak arisan atau MLM, kata Lita dalam hati. Ponsel Lita bergetar beberapa kali selama rutinitas malamnya berlangsung. Nama Rino muncul di layar, berikut dengan isi pesan yang berulang menanyakan kabar, posisi, serta kesempatan kencan. Tuh kan! Perjaka tuh sudahlah clingy, enaknya juga nggak dapat. Ih! Lita langsung menghapus pesan itu sebelum membacanya. Ia membuka Instagram dan mengunggah sesuatu ke Instastory.

“Lita update Snapgram, nih,” Hamdan memberi info pada Anjar yang sedang melawan Super Mutant di Fallout New Vegas. Ia jadi tak bisa konsentrasi meski dari awal memang sudah kurang fokus dan kerjanya hanya berputar-putar di Commonwealth. Ia abaikan permainan itu, meraih ponselnya, dan sambil pura-pura tenang melihat ada lingkaran di foto profil Lita. Ia tekan lingkarannya, menemukan latar hitam dengan tulisan putih di tengah-tengah. Lita menulis:

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. (An-Nur: 3)

Usai membaca, berdesis Anjar, “Anjir.”

*

--

--