Hitam — Rencana

@bravocado
p3tir
Published in
5 min readOct 22, 2018

Nggak aku sangka ya, kamu masih betah sama aku selama 7 tahun ini.

Tere meraba untuk mencari sesuatu, disambut tangan seorang pria yang memberikan sebuah bantal. Sesegera mungkin didekapnya bantal tersebut oleh Tere. Dirga di sampingnya, tersenyum mendengar pernyataan Tere. “Kamu tuh spesial. Kayak martabak!” Ujar Dirga sambil mencubit manis pipi Tere yang berwarna kemerahan. “Aku pulang dulu ya, kamu besok jadi check-up kan?” Lanjut Dirga seraya mengambil tas kecil miliknya.

“Jadi, sayang. Kamu jemput aku atau kita ketemu di sana?” Tanya Tere sambil berusaha untuk meraih tangan Dirga.

“Ya pasti dong aku jemput!” Ujar Dirga disambut senyum manis dari Tere yang terkonfirmasi rasa yakinnya.

Dirga beranjak pergi setelah mendaratkan kecupan di kening Tere.

Tidak berapa lama setelah Dirga pergi, Tere sibuk tersenyum kecil beberapa kali karena mengingat manisnya kenangan yang mereka lalui.

Tere mengenal Dirga sewaktu berumur 17 tahun. Dirga dulu tinggal berdekatan dengan Tere. Dirga sering memperhatikan Tere sejak kecil. Dulu Dirga merasa aneh mengapa Tere tidak pergi sekolah seperti dirinya. Namun, seiring waktu Dirga mengerti bahwa sekolah umum belum mampu memfasilitasi orang yang berkebutuhan khusus seperti Tere. Semasa kecil, Dirga adalah salah satu teman Tere. Dan pada umur 20 Dirga dan keluarganya harus pindah dari lingkungan tersebut karena alasan ekonomi.

Dirga menyatakan rasa sayangnya di saat Tere berulang tahun yang ke-17. Dirga adalah cinta pertama Tere. Tidak banyak pria yang mendekati Tere dengan tujuan untuk menjalin hubungan lain selain pertemanan. Mungkin karena keterbatasannya Tere dalam pengelihatan. Ya, Tere adalah seorang tunanetra. Ia kehilangan pengelihatannya sejak berumur 3 tahun. Tere yang sekarang sudah tak lagi mengenal warna seperti dahulu kala. Namun beberapa kenangan masih terasa menyejukan untuknya.

Masih kental di memori Tere saat Dirga menyatakan perasaannya pada Tere. Dirga mempelajari bagaimana menggunakan braille dan menyatakan perasaannya dengan menuliskan sesuatu pada sebuah kertas dalam huruf braille.

Di saat Tere meraba untuk mengetahui tulisan tersebut, Dirga menyanyikan apa yang tertulis dalam kertas seiring dengan sentuhan jemari Tere yang lentik. Dilantunkanlah lagu dari Stevie Wonder — You’re The Sunshine of My Life.

Di akhir lagu, Dirga berkata:

“Can I be the sunshine of your life? Can I be the apple of your eye?”

Semenjak itu, Tere tidak lagi sendiri. Tak sekalipun Dirga melepaskan perhatiannya pada Tere. Tak sekalipun Dirga ragu untuk melepaskan kekasihnya itu dari sampingnya. Tak berhenti sekalipun sampai saat ini.

Namun, untuk Tere tidaklah demikian, ragu dan takut selalu membayanginya. Bukan hal yang mudah untuk menerima ada seseorang yang bukan anggota keluarga mau mendampingi hidup tunanetra seperti Tere. “Bagaimana jika aku terlanjur bergantung pada Dirga? Bagaimana jika saat itu Dirga mencampakan aku? Bagaimana masa depan Dirga jika menjalani hidupnya bersamaku?”

Matahari sedang bersahabat hari ini. Tidak terasa terik walaupun jarum jam menunjukan angka 11. Cahaya yang menyegarkan itu menembus ke sebuah ruangan. Terlihat seorang wanita sedang asik menorehkan kuas pada wajahnya.

Walau Tere adalah seorang tunanetra, berdandan adalah hal yang wajib untuknya, terlebih ketika ia harus pergi bersama Dirga. Keterbatasannya dalam pengelihatan tidak membatasi dirinya untuk berdandan. Tere sangat mampu tampil cantik dengan sentuhan-sentuhan kuas dan jarinya pada bagian-bagian wajahnya yang memang sudah cantik. Dalam memilih alat rias, Tere sudah menandainya dengan tekstur-tekstur tertentu. Jadi tidak ada kesulitan berarti yang membuat dirinya terbatas. Bukankah merias diri tanpa cermin begitu menantang untuk siapapun? Untuk Tere, itulah kesehariannya.

Tiba-tiba sebuah alunan nada terdengar dari sebuah telepon genggam. Tere tahu bahwa itu adalah Dirga karena nada khusus yang sudah ia atur sebelumnya. Jemarinya menggapai alat komunikasi tersebut. Diraba layarnya, dan terdengar suara layaknya robot “1 pesan dari Dirga”. Disentuhnya layar tersebut sebanyak dua kali, dan mulailah ia mengetik. Tere sudah hafal betul susunan papan tombol jari, dan dibantu oleh sebuah aplikasi untuk membacakan teks pada layar membuat Tere tidak mengalami kesulitan untuk berkomunikasi menggunakan teknologi. “Aku sedang dandan dulu ya. Kamu masuk aja dulu.” Kirimnya.

Kolase foto menghiasi ruangan di mana Dirga menunggu. Ditatapnya satu-persatu sambil tersenyum kecil melihat wajah Tere semasa kecil. Pada satu kolase, Tere terlihat begitu ceria dan lincah ditemani ayah dan ibunya. Di kolase lain dengan latar belakang rumput hijau yang luas terlihat Tere tengah bermain dengan angin dan begitu cocok dengan kepribadiannya.

“Dirga, aku sudah selesai nih. Kita jalan sekarang atau tunggu kamu istirahat dulu?” Terdengar suara Tere menuju ruang di mana Dirga menunggu.

“Sekarang aja yuk!” Balas Dirga

Gedung yang megah di hari yang cerah tidak membuat suasana lingkungan tersebut terasa menyenangkan. Hampir tidak ada sepertinya yang pernah menganggap berkunjung ke rumah sakit adalah hal yang menyenangkan. Pintu kaca sebagai batas harum khas rumah sakit dilewati mereka berdua.

“Mbak, saya sudah ada janji dengan Dokter Arman atas nama Tere.” Ujar Dirga kepada seseorang di meja pelayanan.

“Oh iya. Sebentar ya mas saya cek dulu.” Ujar suster dengan segera mengetikan nama Tere pada papan tombol jari. “Nah, Silakan menunggu di sana ya, mas.” Lanjut suster dengan menunjukan telunjuknya ke arah ruang tunggu.

Digandengnya Tere menelusuri lorong. Sesampainya di bangku tunggu, Dirga berkata “aku ke toilet dulu ya. Nanti kamu nggak apa-apa sendirian untuk nemuin dokternya?”

“Nggak apa-apa kok. Tenang aja! Ya udah sana kamu ke toilet dulu daripada beser di sini. Hiii..” Canda Tere menjawab pertanyaan Dirga.

Ini kali pertama Dirga meninggalkan Tere sendirian. Dirga segera beranjak dari tempat duduk menelusuri lorong yang sebelumnya dilalui. Ia melewati sebuah papan bertuliskan toilet. Kemudian ia segera berbelok menuju ke sebuah runagan. Tertulis “Dokter Yasmin” pada pintu ruangan tersebut. Diketuknya pintu itu, dan ia segera masuk.

“Oh Dirga!” Ujar seorang wanita yang menggunakan baju berwarna putih tersebut. Wanita itu terlihat cantik dan masih sangat muda. Senyum manisnya menyambut Dirga yang ingin meletakan tubuhnya pada sandaran bangku.

“Jadi gimana nih?” Dirga mengerenyitkan dahinya

“Ya nggak bisa dong. Ini bukan masalah keinginan lo, Ga! Ini masalah norma.” Dokter Yasmin menjawab dengan yakin karena tahu apa maksud pertanyaan Dirga.

Yasmin dan Dirga sudah lama saling kenal. Yasmin adalah teman dari kakaknya Dirga. Dirga sering bertemu dengan Yasmin saat mengantar Tere untuk check-up. Tentu dengan Tere di sampingnya dan sebagian besar hanya membahas tentang kesehatan Tere diselingi canda.

“Aduh gue rela kok, kak! Beneran deh. Apapun bakal gue lakuin. Lo nggak bisa usahain gitu buat gue?” Dirga berusaha menahan suaranya yang mulai terdengar keras.

“Nggak bisa, Ga. Gue udah berkali-kali bilang ke lo. Kalo gue ngikutin kemauan lo, tamat karir gue!” Balas Yasmin yang tak kalah kuatnya.

“Ya udah gini aja, lo bikinin gue surat atau apa kek gitu supaya gue bisa ngelakuin hal ini. Gue nggak mau Tere menderita terus!” Dirga masih berusaha dengan keinginannya.

“Siapa yang bilang Tere menderita? Lo! Itu asumsi lo! Lo nggak usah ngotot sama hal yang lo lakukan sepihak ini. Bisa jadi dia nggak seneng sama hal yang lo lakuin. Udah deh, Ga! Nggak usah konyol!” Yasminpun tak mau kalah dengan pendapatnya.

Percakapan antara Dirga dan Yasmin membuat ruangan itu terdengar gaduh. Telebih dengan kondisi rumah sakit yang sangat mewajibkan untuk tenang.

“Tok… tok…” terdengar suara ketukan pada pintu ruangan itu.

“Ah, diomelin deh gue” pikir Yasmin karena merasa sudah membuat kegaduhan di ruangannya. Yasmin segera membukakan pintu ruangannya.

“Eh, Tere!” Yasmin segera mencolek Dirga yang memang berada di dekat pintu.

“Sayang, maaf aku tadi ke Dokter Yasmin dulu nih. Lho, kamu udah selesai emang? Cepet amat!” Dirga dengan sigap walau kaget melihat kekasihnya di depan pintu.

“Ya belum, dong! Aku mau minta tisu aku yang di tas kamu. Terus aku samperin kamu ke depan toilet, eh aku denger suara kamu habis itu. Jadi aku samperin ke sini.” Ujar Tere dengan membuat wajahnya agar terlihat imut.

“Ya ampun kenapa nggak nunggu aku aja? Ya udah yuk. Bentar, aku ambilin tisunya dulu ya.” Seraya Dirga merogoh tas. “Dok, nanti lanjut lagi ya diskusinya! Semoga yang terbaik ya buat Tere. Hehehe” Lanjut Dirga sambil meraih tangan Tere menandakan untuk segera berbalik arah.

“Wah! Ngomongin aku yaaa?” Tanya Tere meledek.

Tawa mereka bertiga mengakhiri percakapan mereka. Dirga dan Tere terlihat menjauh dari ruangan dan kembali menulusuri lorong.

“Dasar, orang gila!” Umpat Yasmin sambil menurut pintu ruangannya.

Bersambung…

--

--

@bravocado
p3tir
Editor for

Some superficial nerd, with an artificial sense of humor | Computer and Social Science | Social Inclusion