Anjar Anjir (1/3)

@mirolvi
p3tir
Published in
3 min readOct 26, 2018

Matahari hampir naik seperempat tinggi di Depok. Dua orang bujang duduk berhadapan di kantin kampus, sibuk perang lewat ponsel alias main Mobile Legends. Di sela kata makian karena kesal dengan tim yang menurutnya payah, mereka kerap beristighfar. Sampai hampir 15 menit, perang berakhir dengan kemenangan meski tak satu pun dari bujang itu jadi pemain terbaik.

“Sinyalku jelek tadi,” kata Anjar.

“Apaan, kita kan pakai wi-fi yang sama,” sahut Hamdan.

Ada empat gelas di meja mereka; dua kopi instan three in one dan dua air putih dari rebusan keran yang bisa diminta secara gratis. Karena semuanya disajikan dalam keadaan mendidih, seperti yang diminta Anjar, maka minuman-minuman itu sekarang sudah layak konsumsi dengan suhu yang pas. Anjar menghirup wangi kopi yang ia hafal itu, seolah-olah ahli kopi, kemudian menenggak hampir setengah. Hamdan memilih air putih untuk digunakannya kumur-kumur dan ditelan kemudian. Mau bilas sisa roti yang menyelip di gigi, kata Hamdan saat Anjar menegurnya karena jijik.

Anjar adalah laki-laki yang punya satu lusin kaus hitam ukuran L. Tiap hari dipakainya bergantian ke kampus, kadang dilapis kemeja ketika ada jadwal presentasi. Selama tinggal di Depok hampir dua tahun, Anjar hanya menyimpan dua celana jeans dan satu chino untuk dipadukan dengan kaus hitamnya itu. Karena punya rupa yang teduh dan potongan rambut yang selalu rapi, penampilan Anjar yang itu-itu saja tidak pernah dikritik membosankan.

Sebaliknya, Hamdan selalu pakai baju mencolok, tapi orang-orang malah bilang bosan melihat tampilan Hamdan. Hamdan sudah dekat dengan Anjar sejak masih mahasiswa baru meski keduanya tidak dari SMA yang sama — Anjar dari Sukabumi, sementara Hamdan tidak pernah keluar Depok. Keduanya saling melengkapi kekosongan dan menutupi kekurangan satu sama lain. Di mana ada Anjar, di situ ada Hamdan. Di mana ada Hamdan, Anjar tak jauh-jauh dari sana.

Tapi ini bukan cerita tentang romansa laki-laki mereka. Ini tentang Anjar yang belakangan berubah sikapnya, jadi suka menyembunyikan sesuatu dari Hamdan dan bikin Hamdan khawatir sahabatnya itu punya gangguan kecemasan seperti orang sekarang. Hamdan berkali-kali minta penjelasan dari Anjar, meski Anjar selalu bilang tidak ada apa-apa. Pagi itu pun Hamdan menegur Anjar karena tidak menjalankan tugasnya sebagai Marksman di perang tadi secara baik, padahal Hamdan sebagai Tank sudah berupaya melindungi Anjar agar bisa mengumpulkan item banyak-banyak.

“Lo tuh ada masalah apa sih, Njir?” tanya Hamdan yang suka memanggil Anjar dengan ‘Anjir’ ketika mereka hanya berdua. Hamdan menyalakan rokok sambil menunggu jawaban Anjar.

“Duh, Dan. Nggak ada masalah apa-apa, asli. Aku pasti ceritalah kalau ada masalah.”

“Lo jadi suka bengong. Sambil pasang lagu Ed Sheeran. Terus, lo kalau shalat jadi dua kali lebih lama dari biasanya. Bukannya jelek sih, tapi tumben saja. Ngaku deh, lo habis ta’aruf ya waktu libur semester kemarin?”

“Kalau karena ta’aruf mah, aku rasa malah jadi lebih gampang.”

“Nah, kan! Benar kan ada masalah? Ayo, lo nggak bisa ngelak lagi. Ngaku sekarang mumpung nggak ada orang.”

“Bukan masalah, Dan. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Nanti deh, habis dhuha kita masuk kelasnya Pak Edi dulu. Terus lohor. Terus dahar. Terus aku kelas Bu Ratmi, paling kamu tidur kan di ruang BEM? Habis itu aku ada urusan dulu sama kating, kamu terserah mau ngapain. Kalau sudah selesai, kita ngobrol di kosan,” terang Anjar panjang lebar. Ia sampai haus dan menghabiskan air putihnya. Kemudian, ia bangkit karena mau berangkat ke mushalla. “Ayo, cabut sekarang!” Hamdan menyambut panggilan Anjar sambil menghitung-hitung berapa jam lagi ia bisa mendapat jawaban.

***

--

--