Hadiah Untuk Arek Suroboyo

“Kota pahlawan” sebagai peraih penghargaaan Lee Kuan Yew pada kategori Special Mention

Di tengah kegaduhan Pra-Pemilu 2019 beserta perdebatan cebong-kampret yang menyebalkan, kabar membanggakan datang dari Surabaya. Kota terbesar setelah Jakarta ini berhasil meraih penghargaaan Lee Kuan Yew kategori Special Mention bulan Maret Juli lalu, di Singapura. Penghargaan serupa yang diberikan oleh Urban Development Authority (URA) dan Centre for Liveable Cities (CLC) juga diterima tiga kota lainnya: Hamberg, Kaza, dan Tokyo. Keberhasilan ini juga menjadi alasan Singapura berniat belajar ke Kota Pahlawan ini terkait Kota Layak Huni.

Pertanyaan pertama yang mungkin terlintas di benak kita saat mendengar kabar ini adalah bagaimana bisa, Kota Surabaya mendapat penghargaan tersebut? Apa alasan di balik terpilihnya Surabaya? Kenapa bukan Palembang selaku kota pertama dengan LRT di Indonesia? dan.. kenapa bukan Bandung atau Solo?? Jika merujuk pada jawaban dewan juri, maka kita akan mendapat jawaban seperti ini: Surabaya sangat dipuji karena dapat mengapresiasi kebudayaan setempat dan berhasil mengembangkan strategi pembangunan urban yang berani untuk membangun perkampungan tanpa memindahkan atau — kasarnya — menggusurnya. Selain itu, dewan juri juga memuji pelbagai program yang dibuat oleh Pemerintah kota Surabaya seperti revitalisasi belasan taman kota hingga pelibatan warga dalam pengembangan kawasan pinggiran.

Secara detail, tim materi PFC 2018 akan membahas mengenai tiga faktor atas terpilihnya “kota pahlawan” sebagai peraih penghargaaan Lee Kuan Yew untuk kategori Special Mention. Yuk disimak Urban People!!

Paradigma pembangunan urban yang ‘people-centric’, inklusif, dan kolaboratif.

Suatu paradigma (kerangka berpikir) akan menentukan tindakan (real action). Paradigma digunakan untuk mengawal jalannya suatu aksi. Dalam pengambilan kebijakan pun tentu saja tidak lepas dari paradigma. Maka dari itu tidak heran jika dalam suatu kebijakan, kita bisa membaca paradigma seperti apa yang digunakan oleh si pembuat kebijakan. Hal ini pun dapat dibaca dalam kerangka paradigma pembangunan urban yang dipakai Surabaya dalam konteks capaiannya menjadi Special Mention Lee Kuan Yew World City Prize. Tulisan ini hendak menampilkan poin penting apa yang dipertimbangkan dewan juri.

Sejauh pembacaan tekstual dari laman web World City Prize sendiri, setidaknya kita bisa menangkap paradigma pembangunan seperti apa yang ingin disampaikan dewan juri. Mereka memaparkan berbagai keunggulan Surabaya dalam pembangunan urban dengan berbagai bidang yang teringegrasi. Secara tekstual kami kutip:

“The comprehensive ‘Kampung Improvement Programme’ successfully brought together strong community support and participation from the citizens to collaborate closely with the local government in transforming the kampungs into clean, conducive, and productive environments”.

Jika dibuatkan daftar keunggulan yang dipaparkan di laman tersebut, maka hal-hal berikut akan ditemukan:

  1. Meningkatkan produksi sektor makanan dan pakaian warga untuk dijual, dengan menyediakan kredit murah, dan menyiapkan pasar untuk menyerap produk tersebut.
  2. Program Kampung Unggukan dan Pahlawan Ekonomi
  3. Manajemen limbah berbasis komunitas dengan recycle dan kompos.
  4. Terdapat 100 taman aktif dan 25℅ ruang terbuka hijau (RTH) di Surabaya
  5. Pendidikan inklusif terjangkau dengan anggaran 30℅ APBD berhasil meningkatkan tingkat literasi dan menyediakan pendidikan gratis untuk kaum miskin. Serta penyediaan fasilitas publik edukatif, seperi reading corner, perpustakaan berjalan, dan membuka latihan komputer dan bahasa asing gratis.

Dari catatan-catatan di atas, kiranya dapat ditangkap model pembangunan urban seperti apa yang ingin dibangun. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan berhasil melibatkan warga Surabaya (partisipatoris). Selanjutnya, ia juga berusaha memberdayakan dan meningkatkan potensi dan kemampuan warganya. Dalam hal ini, pemerintah Kota Surabaya sudah berpindah dari paradigma berorientasi pertumbuhan (growth-oriented) menuju paradigma berpusat pada rakyat (people-centric).

Strategi pembangunan Urban inovatif nan efektif

Pengembangan kota seringkali hanya memperhatikan aspek fisik saja (ekomoni) namun luput dari aspek-aspek penting lainnya seperti Sosial, Budaya, Lingkungan, dan Pendidikan. Padahal aspek-aspek tersebut tidak kalah jauh pentingnya, bahkan dalam lirik lagu “Indonesia Raya” pun terucap “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya” yang dapat dimaknai secara implisit bahwa pembangunan hendaklah tidak sekedar mempercantik rupa, tetapi juga mencerdaskan manusianya. Dalam hal ini, pemerintah kota Surabaya dapat dinilai secara inovatif mampu memfasilitasi perkembangan “mental” masyarakatnya dengan melakukan pelbagai macam pendekatan, yang tak jarang menonjolkan sisi ketegasan pemerintah kota terhadap masyarakat. Namun, dengan kemasan yang inovatif tim penulis menilai pendekatan pemerintah kota Surabaya berhasil merubah pandangan masyarakat untuk lebih peduli terhadap kotanya. Narasi ini tidak semata-mata kami munculkan begitu saja, mengingat apa yang kami sampaikan sejatinya merefleksikan penelitian yang dibuat oleh Prof. Johan Sias terkait dengan pola hidup bermasyarakat warga Surabaya.

Menurut Profesor Johan Silas, masih terdapat beberapa bagian bantaran di sungai dalam kota Surabaya yang masih kotor, namun itu, salah satunya, dikarenakan ada banyak kaum pendatang yang menetap disitu (Zahro, 2018). Kami merasa bahwa aspek rasa memiliki atau kepedulian atas kota Surabaya dapat dilihat dari aspek ekonomi, di mana masyarakat pendatang, yang sehari-harinya lebih cenderung bekerja, masih memandang Surabaya dan objek-objeknya sebagai lahan bekerja saja, bukan sebagai rumah. Surabaya hanya merupakan sekedar tempat tidur saja, sehingga superfisial. Menilik kepercayaan masyarakat bahwa apabila seseorang belum menyatu, baik apakah itu dengan kendaraan pribadinya atau bahkan dengan kotanya, maka kepedulian dan rasa memiliki itu tidak akan berkembang. Aspek inilah yang menjadi arah kebijakan perkotaan Surabaya sehingga menghasilkan insentif yang tidak bertolak belakang dengan apa yang telah direncanakan. Maka, dengan pernyataan ini maka hipotesis diatas cukup masuk akal untuk kembali dikaji dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Aspek ini memasukkan penilaian atas nilai (value) di dalamnya sehingga cukup holistik untuk diteliti dan juga cukup menantang karena akan menantang paradigma yang non-value. Untuk tambahan, menilik perhatian masyarakat yang meningkat terhadap kondisi lingkungan Surabaya pada masa pemerintahan Walikota Risma menunjukkan bahwa gaya pemerintahan seseorang akan menjadi figur bagi masyarakat, atau sebaliknya, menjadi rasa malu bagi masyarakat. Dalam memberikan pelayanan publik, Pemerintah Kota Surabaya pun kerap kali memanfaatkan teknologi media sosial sebagai ajang mendekatkan diri dengan masyarakat. Di samping mendekatkan diri dengan masyarakat, Media sosial pun dijadikan sebagai ajang “pamer” program sehingga masyarakat dapat melihat kinjera pemerintah Kota Surabaya.

Adanya simbiosis mutualisme antara pemerintah dan masyarakat nyatanya berdampak besar pada perubahan sikap Arek Suroboyo untuk jauh lebih bangga terhadap kotanya. Kebanggaan masyarakat dalam mengikuti program pemerintah menjadi keunikan tersendiri. Pada hakikatnya negara dan pemerintah, selaku penggerak institusi kenegaraan, merupakan momok bagi masyarakat dikarenakan tendensinya dalam menggunakan kekerasan dan koersi dalam menegakkan kekuasaannya, dikarenakan negara memiliki penggunaan kekuasaan yang absah dalam suatu wilayah dan terhadap penduduk tertetntu. Identitas baru yang disematkan kepada pemerintah menunjukkan keunikan cara pandang masyarakat modern secara umum dan masyarakat Surabaya secara khusus terhadap cara pemerintahan harus berjalan.

Leadership ala Tri Rismaharini

Kemajuan yang dialami oleh Surabaya tidak dapat dipisahkan dari bentuk konkrit kepemimpinan sosok Tri Risma. Menurut Joeseph C Rost kepemimpinan ada-lah sebuah hubungan yang saling mem-pengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) dengan tujuan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya(Rost, 1993). Dalam relasinya kepada bawahan beliau mampu memberikan ketegasan dan juga motivasi sehingga beliau mampu metranslasi visi yang dimilikinya kedalam persepsi bawahan. Sebagai contoh kemampuannya dalam memaksimalkan kecintaannya kepada taman kota mampu terealisasi kedalam program kerja pemkot Surabaya.

Dalam berlangsungnya manajemen Kota maka sudah pasti akan timbul berbagai macam masalah ataupun konflik yang ada. Maka salah tugas dari pemimpin adalah pengelolaan konflik. Bu Risma dalam mengelola konflik dapat baik karena beliau mampu mengumpulkan semua pihak, memahami perspektif yang berbeda dan kemudian menemukan cita-cita bersama yang disepakati oleh setiap orang. Dalam kasus Penutupan Lokalisasi Dolly, beliau berkomunikasi langsung dengan para PSK dan memberikan solusi berupa pelatihan-pelatihan dan juga bantuan modal hingga mantan penghuni lokalisasi bisa mandiri secara ekonomi.

Terjalinnya relasi juga penting bagi pemimpin dalam proses pembangunan urban. Tri Rismaharini memiliki caranya tersendiri dalam manarik relasi untuk menguatkan posisinya dalam pengambilan kebijakan. Dukungan media adalah salah satu medium dalam menciptakan trust masyarakat. Maka dari itu media menjadi sala satu sarana relasi bagi Bu Risma. Beliau juga memiliki jaringan relasi yang lebih kuat kepada pucuk pimpinan seperti pemerintah pusat dan dewan pengurus pusat PDIP ketimbang dewan pengurus daerah atau cabang (Rahmi, 2015).

Dari catatan-catatan di atas, kiranya dapat ditangkap model pembangunan urban seperti apa yang ingin dibangun. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan berhasil melibatkan warga Surabaya (partisipatoris). Selanjutnya, ia juga berusaha memberdayakan dan meningkatkan potensi dan kemampuan warganya. Dalam hal ini, pemerintah Kota Surabaya sudah berpindah dari paradigma berorientasi pertumbuhan (growth-oriented) menuju paradigma berpusat pada rakyat (people-centric). Paradigma ini dipelopori oleh David Korten. Dalam paradigma ini, pembangunan bertujuan untuk perkembangan manusia dalam mengaktualisasi nilai dan potensi kemanusiaannya: harga diri (self-esteem), kemandirian (self-reliance), martabat (dignity), pemberdayaan (empowerment), dsb. Oleh karena itu, yang menjadi fokus utamanya adalah manusia. Korten (1995) dikutip Nanga (2010) mendefenisikannya sebagai proses dimana manusia meningkatkan kemampuannya, baik kemampuan teknik maupun kelembagaan, untuk menghasilkan barang dan jasa guna peningkatan kualitas hidup.

Selanjutnya, Muana Nanga dalam “Mencermati Pergeseran dalam Paradigma Pembangunan” menjelaskan sekaligus merangkum ikhwal utama paradigma ini: (1) bahwa individu atau masyarakatlah yang harus menjadi aktor utama damam pembangunan, dan karenanya mereka juga yang menentukan tujuan yang ingin dicapai, yang menguasai sumber daya, dan yang mengarahkan prosesnya, (2) bahwa peran pemerintah hanyalah sebagai fasilitator yang tugas utamanya yaitu membuat iklim yang kondusif bagi aktualisasi nilai dan potensi kemanusiaan dari individu atau masyarakat, (3) diperlukan penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial masyarakat untuk menunjang kerja-kerja mandiri masyarakat, dan (4) perlu adanya proses demokratisasi: kontrol atas aset dan akses ekonomi-politik serta keterbukaan informasi (Nanga, 2010).

Pada bagian ini, tulisan ini berhasil memaparkan paradigma yang bersembunyi di balik program dan kebijakan pembangunan yang diklaim dewan juri Lee Kuan Yew World City Prize menjadi alasan raihan Surabaya tersebut. Tulisan ini pertama-tama perlu mengklarifikasi bahwa tulisan bukan hendak menyimpulkan bahwa pembangunan urban Surabaya bersifat people-centric, inklusif, dan kolaboratif. Kesimpulan ini tentu perlu riset dan data lebih jauh dan lebih banyak. Tulisan ini hendak menerima terlebih dahulu metodologi yang digunakan dewan juri Lee Kuan Yew World City Prize dalam menilai Kota Surabaya. Mempertanyakan penilaian ini juga diharuskan, namun tentu tidak ada transparansi dalam hal ini. Oleh karena itu, pada akhirnya tulisan ini berniat untuk membongkar paradigma seperti apa yang menjadi faktor pertama kemenangan Surabaya di ajang dua tahun sekali ini.

Referensi:

  1. Rahmi, P. A. (2015). Kepemimpinan Kepala Daerah (Studi Kasus Walikota Surabaya, Tri Rismaharini dalam Perspektif Emotional Intelligence). Kebijakan Manajemen Publik, 112–120.
  2. Rost, J. C. (1993). Leadership For Twenty-First Century . Westport: ABC-CLIO.
  3. Zahro, F. (2018, July 10). Surabaya Dapat Lee Kuan Yew Award, Prof Johan Silas: Tiga Hal ini Keunggulan Surabaya. Retrieved from Surya.co.id: http://surabaya.tribunnews.com/2018/07/10/surabaya-dapat-lee-kuan-yew-award-prof-johan-silas-tiga-hal-ini-keunggulan-surabaya

--

--

Padjadjaran Fest & Conference 2021
Padjadjaran Fest and Conference

An event organized by FISIP Padjadjaran University students that consists of conferences, national seminar, debate competitions, and panel discussion.