Manajemen Bencana dan Peran AI, Internet of Things, dan Robotik
Manajemen Bencana dan Artificial Intelligence (AI)
- Definisi AI
Artificial Intelligence (AI) adalah kemampuan computer digital atau robot yang dikendalilkan oleh computer untuk melakukan tugas yang umumnya dikaitkan dengan makhluk cerdas. Istilah ini sering diterapkan pada proyek dari pengembangan system dengan karakteristik proses intelektual manusia, seperti kemampuan untuk berpikir, menemukan makna, menggeneralisasi, atau belajar dari pengalaman masa lalu (Copeland, 2020).
2. Manfaat AI dalam Manajemen Bencana
a. Memprediksi bencana alam
Para peneliti telah menemukan bahwa AI dapat digunakan untuk memprediksi bencana alam. Dengan banyaknya jumlah dari himpunan data yang berkualitas baik, AI dapat memprediksi terjadinya berbagai bencana alam. Beberapa bencana yang dapat diprediksi oleh AI adalah gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi, dan badai (Joshi, 2019).
b. Memonitor bencana yang sedang terjadi
AI dapat mencari peningkatan penyebutan suatu kata atau peristiwa dalam rangkaian domain yang diidentifikasi lalu mereferensi silang hal tersebut dengan titik data terkait sebelum potensi bencana terjadi. Sebagai contoh dalam scenario pandemi, AI dapat mengambil data media sosial, laporan berita, data kesehatan masyarakat, atau input mesin pencari untuk melacak laporan penyakit atau peningkatan pertanyaan yang berhubungan dengan gejala penyakit. Selain itu, AI juga dapat mengidentifikasi penyerangan cyber, pemadaman, permasalahan pasokan, dan lain-lain yang memungkinkan entitas local dan internasional untuk mempersiapkan tanda peringatan dini ini sebelum berkembang menjadi sesuatu yang lebih (Catlin, 2020).
c. Memperingatkan adanya bencana
Ketika bencana terjadi, AI dapat mengikat ke dalam system teknologi yang ada sehingga dapat memperluas jangkauan, menawarkan respons yang lebih cepat, dan mengurangi biaya. Sebagai contoh, perusahaan Xiaomi mengintegrasikan fungsi peringatan gempa ke dalam system operasi MIUI-nya yang akan memperingatkan pengguna tentang gempa yang akan datang sebelum dampaknya dapat dirasakan. AI juga dapat membantu celah dalam system. Contohnya adalah Sistem Siaga Darurat AS, yang mengandalkan telepon seluler atau siaran radio, sering tidak dapat menjangkau orang-orang di dalam gedung. Sehingga, AI digunakan untuk menganalisis rekaman CCTV secara real time untuk mengidentifikasi keadaaan darurat dan menyalakan alarm dalam gedung. Dalam situasi pandemic, AI dapat memberikan peringatan ketika individu yang terinfeksi memasuki suatu daerah atau ketika kasus mencapai sebuah kepadatan yang memerlukan langkah keselamatan yang baru (Catlin, 2020).
d. Mendukung bantuan bencana
Setelah bencana melanda, AI dapat digunakan untuk mendukung upaya bantuan di garis depan dan seterusnya. AI dapat memetakan, menganalisis, dan memperagakan zona bencana untuk memberikan saran perjalanan yang diperbarui, membantu mobilisasi dan menemukan warga, dan memastikan bahwa tim tanggap bencana mengetahui sumber daya apa yang perlu digunakan. Sebagai contoh dalam situasi pandemic COVID-19 adalah penggunaan AI oleh perusahaan bioteknologi Korea Selatan untuk mempercepat alat penguji COVID-19 nya, mempercepat waktu pengembangan dari tiga bulan menjadi tiga minggu, dan pendekatan serupa mungkin digunakan untuk perawatan pasien (Catlin, 2020).
3. Tantangan AI dalam Manajemen Bencana
a. Kemungkinan adanya bias yang diskriminatif
Tes dalam machine learning telah menunjukkan bahwa jika input tersebut bias atau diskriminatif terhadap kelompok sosial tertentu, maka hasil dari eksperimen machine learning juga akan menjadi bias dan diskriminatif. Pada 2019, terdapat tes yang menunjukkan bahwa pendeteksi ujaran kebencian Google berbasis AI bias terhadap orang berkulit hitam. Pada bulan Oktober di tahun yang sama juga ditemukan bahwa sebuah algoritma yang digunakan oleh sejumlah besar dari penyedia layanan kesehatan di AS didirikan untuk mengalokasikan sumber daya perawatan berdasarkan berapa banyak biaya untuk merawat setiap pasien. Logika yang digunakan dalam algoritma ini adalah semakin besar kebutuhan pasien, maka semakin mahal pula perawatannya. Bias ini dapat menyebabkan akses layanan kesehatan yang tidak merata dan memarginalkan kelompok masyarakat tertentu (Mavrodieva & Shaw, 2020).
b. Pengumpulan data bisa salah
Data dalam system AI dikumpulkan oleh manusia, sehingga data tersebut dapat menjadi cacat. Sehingga, hasil yang dihasilkan oleh AI mungkin tidak akurat. Selain itu, kita memiliki kecenderungan untuk terlalu bergantung pada AI. Sehingga jika AI melakukan kesalahan, kita akan tetap mempercayainya dan mengambil tindakan yang sesuai. Sebagai contoh, ketika system membuat kesalahan dalam memprediksi lokasi gempa susulan, maka akan tak terhitung jumlah nyawa yang hilang. Oleh sebab itu, peneliti masih harus melakukan beberapa tes untuk membuat teknologi ini dapat diandalkan untuk implementasi kehidupan nyata (Joshi, 2019).
c. Sulit untuk memprediksi bencana alam yang dipengaruhi perubahan iklim
Data dalam AI didasarkan pada catatan bencana alam di masa lalu. Sehingga, aplikasi dengan AI tidak dapat memproses perubahan gaya dan ukuran bencana alam seperti banjir dan gempa bumi. Selain itu, tidak ada cara untuk mengenalkan dampak dari perubahan iklim pada bencana alam dalam aplikasi dengan AI saat ini. Karena AI dilatih dengan catatan masa lalu, maka system tidak dapat menganalisis dampak perubahan iklim pada berbagai bencana alam (Joshi, 2019).
Manajemen Bencana dan Internet of Things (IoT)
1. Definisi IoT
Menurut Kamus Merriam Webster, Internet of Things (IoT) adalah kemampuan jaringan yang memungkinkan informasi untuk dikirim dan diterima dari objek dan perangkat, seperti perlengkapan dan peralatan dapur menggunakan internet.
2. Manfaat IoT dalam Manajemen Bencana
a. Mitigasi atau Pencegahan
IoT dapat memantau kemungkinan bencana melalui komunikasi satelit dan system informasi geografis (SIG), merancang system peringatan dini, dan menggunakan media sosial untuk pembentukan kesadaran (Sinha & Kumar, 2019).
b. Persiapan
Dalam kesiapsiagaan bencana, IoT sangat berguna untuk memprediksi bencana dan mengadakan system peringatan dini. Dengan ini, IoT dapat mengimbangi infrastruktur buruk yang menempatkan negara berkembang dalam posisi yang rentan. Sebagai contoh terdapat aplikasi IoT yang sedang dikembangkan, seperti gelombang mikro yang dapat digunakan untuk mengukur pergerakan bumi sebelum dan sesudah gempa bumi dan sensor inframerah yang dapat mendeteksi dan mengukur banjir serta pergerakan orang (Kreische, Ullrich, & Ziemann, 2015).
c. Respons
Dengan adanya IoT dapat memungkinkan komunikasi real-time untuk bantuan dan tindakan respons yang tepat waktu (Sinha & Kumar, 2019).
d. Pemulihan
Setelah terjadi bencana, IoT dapat mencari orang hilang dan mengadakan system pengelolaan dana secara online. Sifat dinamis dari persyaratan dan lingkungan selama pengerjaan pertolongan menekankan pada kemampuan untuk dapat menciptakan keputusan yang efisien dan tepat dalam waktu yang singkat (Sinha & Kumar, 2019).
Manajemen Bencana dan Robotik
1. Definisi Robotik
Menurut Kamus Merriam Webster, robotik adalah teknologi yang berhubungan dengan desain, konstruksi, dan pengoperasian robot dalam otomatisasi.
2. Manfaat Robotik dalam Manajemen Bencana
a. Menggantikan manusia dalam pekerjaan yang berbahaya
Robot dapat menggantikan manusia dalam menangani limbah nuklir, mengidentifikasi lokasi bahan peledak, dan lain-lain. Robot seluler dapat memasuki dan mensurvei lubang yang terlalu kecil atau terlalu dalam untuk seseorang. Robot juga dapat membawa kamera, pencitra termal, detektor bahan berbahaya, dan muatan medis ke dalam tumpukan puing dan mempersiapkan hubungan komunikasi dengan operator manusia. Pergerakan tim robot sendiri dilengkapi oleh sensor yang sesuai dan perencanaan algoritma sehingga dapat menghasilkan peta untuk tumpahan minyak atau kebocoran radiasi (Chaudhury, 2011).
b. Meningkatkan kesadaran terhadap gambaran situasi bencana secara lebih cepat
Salah satu manfaat utama robot adalah mereka dapat membuat kita melihat pemandangan bencana dari sudut pandang yang hampir tidak mungkin atau tidak praktis didapatkan oleh manusia. Sebagai contoh, penggunaan drone dapat memberi gambaran dari lokasi bencana secara cepat untuk merencanakan operasi penyelamatan dan robot dalam air dapat memetakan puing-puing atau mencari manusia di bawah air setelah banjir atau tsunami (Chaudhury, 2011).
c. Mengumpulkan data untuk operasi bantuan
Aset tak berawak yang dilengkapi dengan sensor kuat memiliki peran pwnting untuk mengumpulkan data selama krisis untuk mendukung operasi bantuan secara langsung. Selain untuk bantuan, data-data ini juga dapat digunakan sebagai bukti penyelesaian sengketa hukum setelah bencana antara orang yang menderita kerugian, pihak berwenang, dan perusahaan asuransi (Chaudhury, 2011).
d. Mengurangi biaya operasional
Biasanya, operasi pencarian dan penyelamatan di darat atau laut terjadi melalui penyebaran helicopter penyelamat berawak dan/atau kapal patrol yang menghabiskan biaya ribuan dolar perjam untuk beroperasi. Namun dengan adanya asset tak berawak, biaya operasional dapat turun secara drastic dan dapat menggunakan asset berawak untuk tugas–tugas prioritas tinggi (Chaudhury, 2011).
3. Tantangan Robotik dalam Manajemen Bencana
a. Kesulitan dalam ketidakpastian dan kejadian yang tidak direncanakan sehingga masih membutuhkan tingkat pengawasan dan control manusia yang tinggi. Contohnya, mobil tanpa pengemudi tercanggih memiliki kesulitan dalam menangani efek perubahan pada pemandangan jalan akibat perubahan salju, hujan, dan pencahayaan (Scanlan, Flynn, & Lane, 2017).
b. Belum memiliki sensor yang dapat memproses sinyal yang sangat cepat untuk dapat memahami lingkungan sekitar dengan kecepatan hampir real-time (Scanlan, Flynn, & Lane, 2017).
c. Membutuhkan bandwidth yang lebih tinggi dan komunikasi yang lebih aman (Scanlan, Flynn, & Lane, 2017).
d. Memiliki penyimpanan dan manajemen energi yang terbatas. Contohnya, daya tahan robot udara bersayap putar dengan tenaga baterai canggih adalah 20–30 menit dan robot maritime memiliki jangkauan dan daya tahan yang sangat terbatas dengan teknologi baterainya saat ini (Scanlan, Flynn, & Lane, 2017).