Utilitarianisme pada Kebijakan Pembangunan NYIA di Kulonprogo

Pembangunan NYIA di Kulonprogo memang penuh dengan polemik.

sumber: Tempo.co

Sejatinya terdapat problem etis dan moralitas yang bersembunyi di dalam pembentukan kebijakannya. Setelah mengurai fenomena yang terjadi, tulisan ini juga hendak memaparkan analisa terkait problem etika politik yang terkandung di dalam pembangunan NYIA Kulonprogo dimana fenomena polemik yang terjadi tersebut tidak bisa dilepaskan dari pandangan moral yang terbentuk juga di belakangnya. Setidaknya dua pandangan inilah yang akan diuraikan di dua bagian selanjutnya dari tulisan ini.

Pertama, bagaimana pandangan moral utilitarianisme dalam menganalisa polemik pembangunan NYIA Kulon progo. Dan kedua, bagaimana pandangan categorical imperative (Kant) dalam membaca konflik pembangunan NYIA Kulon progo. Terakhir, tulisan ini ingin berusaha menunjukkan bahwa dua pandangan atau perdebatan lama mengenai apa yang baik (moralitas) untuk manusia masih akan terus diuji hingga sekarang, terutama pada pembangunan NYIA Kulonprogo.

Bagaimana menjustifikasi kebijakan pembanguna NYIA di Kulonprogo dengan dalih untuk kepentingan umum? Dari segi hukum sendiri, terdapat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam pasal 3 UU tersebut, disebutkan bahwa,

“Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak”.

Pengadaan Tanah yang dimaksud (sebagaimana yang dijelasakan di BAB I Pasal 1) adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugiaan yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kemudian, soal kepentingan umum juga dijelaskan pada pasal yang sama yakni kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Lebih jelas lagi, pada BAB IV Bagian Kesatu Umum Pasal 10, menyebutkan tanah untuk Kepentingan Umum salah satunya dimaksudnya untuk bandar udara (poin d). Lalu, Pihak yang Berhak, menurut pasal 1, adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah.

Pada dasarnya, dari segi hukum saja, terdapat banyak sekali polemik yang bermunculan. Pertama, soal kepemilikan tanah dan sertifikat para warga Kulonprogo dan soal kepemilikan tanah Sultan (Sultan Ground) maupun tanah Pakualam (Pakualam Ground). Warga Kulonprogo mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Di lain sisi, Keraton mengacu pada peraturan kolonial Rijksblad Kadipaten Kasultanan Yogyakarta Nomor 16 Tahun 1918 dan Rijksblad Kadipaten Pakualaman Nomor 18 Tahun 1918. Kedua, ada inkonsistensi atau kontradiksi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Yurista dalam Reviewing the Development Plan of Temon Airport, Kulonprogo District in the Perspective of Integrative Spatial Planning System menyimpulkan setidaknya ada dua kontradiksi peraturan yang ditemukan dalam konteks pembanguna NYIA Kulonprogo.

Pertama, kontradiksi antara RTRW Kulon Progo dengan RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional), RTRW Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dann Pulau-Pulau Kecil) Provinsi DIY yang tidak sesuai dengan Pasal 7 ayat 1 (jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan: dari UUD sampai Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) dan ayat 2 (Kekuatan dan hukum Peraturan Perundangan-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1) UU №12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Yursita, 2018). Kedua, RTRW Kulonprogo bertentangan dengan Pasal 14 ayat (2) UU №26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

“Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara berhierarki terdiri atas: (a) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, (b) rencana tata ruang wilayah provinsi, dan (c) rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota.”

Di samping polemik yang terakhir tersebut, tulisan ini ingin pertama-tama memproblematisir ulang mengenai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah yang menjadi justifikasi hukum mengenai pemindahan (jika bukan perampasan) ruang penghidupan sebagian kecil orang untuk kepentingan umum.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul: apakah benar secara moral untuk mengorbankan kepentingan sebagian kecil orang untuk kepentingan yang lebih besar lagi, yaitu kepentingan umum? Bagaimana justifikasi moral seperti ini bisa muncul?

Sebelum menjawab hal tersebut, mari melihat seberapa kecil orang-orang yang akan dikorbankan untuk kepentingan umum tersebut — dalam hal ini pembangunan bandara baru. Pada Januari lalu, jumlah warga yang menetap terhitung berjumlah 39 KK (Kresna, 2018). Terakhir, Agustus lalu, jumlah KK yang masih bertahan menipis menjadi 19 KK (Hanafi, 2018). Ini belum dihitung dengan jumlah yang sudah dipindahkan dan mendapat ganti rugi. Menurut laporan atau data yang dihimpun Tribun Jogja, terdapat 279 KK yang mengikuti program relokasi dengan fasilitasi pemerintah. Jumlah penurunan ini juga sejalan dengan berbagai usaha-usaha relokasi, mulai dari pemaksaan dan intimidasi, sampai bujukan dengan beragam janji, salah satunya ganti rugi. Penelitian yang dilakukan Prianggoro dan Kuarniawan menunjukkan bahwa terdapat 76% responden dari masyarakat terdampak di Kulon progo yang memiliki persepsi positif terhadap rencana pembangunan bandara (Prianggoro & Kurniawan, 2016).

Utilitarianisme adalah salah satu bentuk konsekuensialisme yang berpendapat bahwa konsekuensi atau hasil dari suatu tindakan, hukum, kebijakan, dll., yang menentukan apakah hal tersebut baik atau buruk, benar atau salah. Oleh karena itu, dalam pandangan ini, kita diharuskan untuk memilih berdasarkan dampak atau hasil yang dianggap (ter)baik. Salah satu pemikir yang menjadi tokoh besar dalam pandangan ini adalah Jeremy Bentham (1748–1832) dan John Stuart Mill (1806–1873).

Bentham yang mengawali dan mencetuskan “prinsip kesenangan terbesar (the greatest happiness principle)” atau “prinsip utility (the principle of utility) — istilah yang ia pinjam dari David Hume yang juga mempengaruhi pemikirannya. Ia pada dasarnya tidak merujuk pada kegunaan dari sesuatu (utility of a thing), melainkan bagaimana suatu tindakan dapat menghasilkan kesenangan umum (general happiness). Bentham mengatakan,

By the principle of utility is meant that principle which approves or disapproves of every action whatsoever, according to the tendency it appears to have augment or diminish the happiness of the party whose interest is in question: or, what is the same thing in other words to promote or to oppose that happiness (Bentham, 1781)”.

Ia selanjutnya juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan utilitas: “By utility is meant that property in any object, whereby it tends to produce benefit, advantage, pleasure, good, or happiness, (all this in the present case comes to the same thing) or (what comes again to the same thing) to prevent the happing of mischief, pain, evil, or unhappiness to the party whose interest is considered: if that party be the community in general, then the happiness of the community: if a particular individual, then the happiness of that individual (Bentham, 1781)”. Singkatnya, apa yang menjadi kewajiban moral adalah untuk menciptakan sebanyak mungkin kesenangan untuk sebanyak mungkin orang — yang mana kesenangan ini ditentukan oleh hadirnya kenikmatan (pleasure). Satu lagi prinsip yang meliputi prinsip utilitas adalah satu manusia sama berharganya dengan manusia lainnya — atau bahasa lainnya — setiap orang dihitung satu dan tidak ada seorang pun yang lebih dari satu. Ada konsep kesetaran manusia yang mendasari prinsip yang satu ini.

Pemikiran John Stuart Mill soal utilitarianisme sangat dipengaruhi oleh Jeremy Bentham. Karenanya, Pemikiran Mill pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan utlitiariansimenya Bentham. Mill menjelaskan bahwa,

Utility, or the Greatest Happiness Principle, holds that actions are right in proportion as they tend to produce the reverse of happiness. By happiness is intended pleasure, and the absence of pain; by unhappiness, pain, and the privation of pleasure”. (Mill, 2009)

Di bab 4 bukunya, Mill mencoba membuktikan dasar prinsip utilitas — yang mana kesenangan (happiness) secara intrinsic satu-satunya hal yang diinginkan — dengan menunjukkan bahwa kita secara spontan menerima itu dengan refleksi. Pada dasarnya, tidaklah susah untuk membuktikan bahwa kesenangan adalah hal yang kita inginkan secara instrinsik, misalnya dengan menguji satu per satu keinginan kita yang pada akhirnya berujung pada kesenangan. Bagian yang sulit adalah bagaimana membuktikan bahwa satu-satunya hal yang secara instrinsik kita inginkan atau kita hargai adalah kesenangan. Sebab, adalakanya kita menghargai atau menginginkan sesuatu semata-mata untuk hal tersebut. Tetapi, bagi Mill, ketika kita mulai menghargai (to value) sesuatu, kita pada dasarnya sedang menghargainya sebagai bagian kesenangan. Contohnya, seperti kita menginginkan kebebasan, kebajikan, dll., pada dasarnya untuk kesenangan kita sendiri.

Setelah mendapatkan ulasan singkat mengenai utilitarianisme, selanjutnya mari menggunakan pandangan ini untuk membedah pembangunan NYIA di Kulon progo. Stephen Nathanson menjelaskan bahwa untuk mengerti prinsip utilitarianisme ini, setidaknya kita harus paham tiga hal: (1) apa hal yang baik dan buruk, (2) kebaikan siapa (individu atau kelompok) yang harus kita maksimalkan, dan (3) apakah tindakan, kebijakan, dll., itu benar atau salah karena konsekuensi aktualnya atau konsekuensi yang akan terjadi (Nathanson, n.d.).

Bentham menjawab pertanyaan (1) tadi dengan meminjam pandangan dari hedonisme. Menurut hedonism, satu hal yang baik hanyalah kenikmatan atau kesenangan. Walaupun banyak pemikir yang menolak hedonism karena mengkalim bahwa banyak barang yang pentif yang tidak berhubungan dengan rasa. Tetapi, semua utilitarianis setuju bahwa sesuatu berharga karena ia cenderung menghasilkan kebaikan bersama (well-being) dan mengurangi keburukan (ill being). Ketika membaca laporan Tirto mengenai nasib warga Kulon progo yang belum dan yang sudah digusur, kita bisa membaca bagaimana ada pain dan pleasure yang tercipta secara bersamaan. Jumlah yang menderita secara kuantitas jauh lebih sedikit; yaitu mereka yang masih tinggal di wilayah tersebut. Di lain sisi, mereka yang sudah direlokasi mendapat kesenangan berupa rumah baru dan besar, serta ganti rugi yang tidak sedikit (Kresna, 2018).

Dalam menjawab problem (2) soal kesejahteraan buat siapa, maka dalam konteks ini diarahkan pada kesejahteraan suatu kelompok. Metode yang digunakan untuk menentukan kesejahteraan suatu kelompok adalah dengan melibatkan keuntungan dan kerugian yang (akan) dialami oleh kelompok tersebut sebagai akibat dari suatu tindakan atau kebijakan. Menurut laporan Metrotv News, Humas warga penolak bandara, Nur Wiji, mengatakan bahwa rencana pembangunan bandara di Temon memakan lahan produktif sekitar 400 hektare, sehingga akan puluhan ton hasil pertanian akan hilang. Di satu sisi, peneliti mencoba menakar manfaat ekonomi yang didapat ketika pembangunan sudah dirampungkan. Misalnya, keberadaan hotel, rumah makan, parkir yang dapat diusahakan oleh masayarakat sekitar bandara, serta juga menjadi destinasi wisata (Kurniawan, 2018).

Terakhir mengenai problem (3) yang tidak kalah rumitnya, yaitu konsekuensi aktual (actual consequences) dan konsekuensi yang diprediksi (foreseeable consequences). Riset yang dapat menjawab problem ini datang dari Rachman, Satriagsa, dan Riasasi dalam Economic Impact Studies on Development Project of New Yogyakarta International Airport to Aquaculture in Kulonprogo Coastal. Mereka mencoba menjelaskan dengan menghitung nilai kompensasi dan nilai pendapatan dari kegiatan ekonomi budidaya udang. Berangkat dari fakta di lapangan bahwa terdapat 83 ha area budidaya udang, maka perlu dihitung dampak kerugiaan dari pembangunan NYIA yang memakan lahan hingga 587,2 ha.

Pada akhirnya didapatkan hasil dari perhitungan bahwa nilai properti 83 ha berjumlah Rp. 92.695.808.088, sedangkan total nilai kompensasi yang didapat dari kompensasi fisik (Rp. 718.421.436.225) dan non fisik (Rp. 56.008.654.511) adalah 774.430.090.736 (Rachman, Satriagasa, & Riasasi, 2018). Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa pemilik budidaya udang tidak dirugikan oleh pemerintah, bahkan mendapat ganti rugi yang lebih besar.

Tulisan ini pada akhirnya ingin menunjukkan bahwa pembangunan NYIA Kulon Progo tidak lepas dari pandangan utilitarianisme yang berdasarkan pada kesenangan terbesar (greatest happiness) dari jumlah terbesar (greatest number). Hal ini sudah ada dilegitimasi ternyata dalam mengenai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah yang menjadi justifikasi hukum mengenai pemindahan (jika bukan perampasan) ruang penghidupan sebagian kecil orang untuk kepentingan umum. Setelah itu, tulisan ini juga menghitung keuntungan dan kerugiaan yang dihasilkan dari pembangunan bandara pembangunan analisis ekonomi.

Referensi

Bentham, J. (1781). An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. London: Batoche Books.

Hanafi, R. (2018, Agustus 14). 19 KK Masih Bertahan di Area Proyek Bandara Kulon Progo. Retrieved from Detiknews: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4166054/19-kk-masih-bertahan-di-area-proyek-bandara-kulon-progo

Ing. (2017, October 20). Inilah Kilas Data Program Relokasi Warga Terdampak Bandara Kulonprogo. Retrieved from TribunJogja.com: http://jogja.tribunnews.com/2017/10/20/inilah-kilas-data-program-relokasi-warga-terdampak-bandara-kulonprogo?page=3

Kresna, M. (2018, Januari 1). Nasib Warga Kulon Progo yang Belum & Sudah Digusur Proyek Bandara. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/nasib-warga-kulon-progo-yang-belum-amp-sudah-digusur-proyek-bandara-cCuU

Kurniawan, D. A. (2018, Februari 6). Menakar Manfaat Ekonomi NYIA. Retrieved from Krjogja.com: http://krjogja.com/web/news/read/57146/Menakar_Manfaat_Ekonomi_NYIA

Mill, J. S. (2009). Utilitarianism. Auckland: The Floating Press.

Mustaqim, A. (2016, August 30). Bandara Kulon Progo Datang, Puluhan Ton Hasil Pertanian Hilang. Retrieved from Metrotvnews.com: http://jateng.metrotvnews.com/peristiwa/MkMY1oOk-bandara-kulon-progo-datang-puluhan-ton-hasil-pertanian-hilang

Nathanson, S. (n.d.). Utilitarianism, Act and Rule. Retrieved from Internet Encyclopedia of Philosophy: https://www.iep.utm.edu/util-a-r/#H1

Prianggoro, A. A., & Kurniawan, A. (2016). Persepsi Masyarakat dan Potensi Reorientasi Usaha Berkaitan dengan Pembangunan Bandara Internasional di Kulon Progo. Jurnal Bumi Indonesia, 1–8.

Rachman, F., Satriagasa, M. C., & Riasasi, W. (2018). Economic Impact Studies on Development Project of New Yogyakarta International Airport to Aquaculture in Kulonprogo Coastal. The 2nd International Symposium on Marine and Fisheries Research (pp. 1–7). Yogyakarta: IOP Publishing.

Rudiana, P. A. (2016, June 16). Tak Punya Dasar Hukum, Sertifikat Tanah Keraton Yogya Minta Dibatalkan. Retrieved from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/780432/tak-punya-dasar-hukum-sertifikat-tanah-keraton-yogya-minta-dibatalkan

Triyatmo, B., Rustadi, & Priyono, S. B. (2018). Characteristics and Environmental Carrying Capacities of Coastal Area in Yogyakarta Special Region for Aquaculture. The 2nd International Symposium on Marine and Fisheries Research (pp. 1–11). Yogyakarta: IOP Publishing.

Yursita, A. P. (2018). Reviewing the Development Plan of Temon Airport, Kulonprogo District in the Perspective of Integrative Spatial Planning System. Mimbar Hukum, 110–126.

--

--

Padjadjaran Fest & Conference 2021
Padjadjaran Fest and Conference

An event organized by FISIP Padjadjaran University students that consists of conferences, national seminar, debate competitions, and panel discussion.