5 Penulis Kesukaan Sepanjang Masa
Benar juga.
Itu yang kupikirkan dalam hati setelah mendapatkan jawaban dari Alfdjones. Benar juga kata Alfdjones bahwa sekarang sebaiknya kalau mau berbagi ya soal kesukaan sendiri saja. Daripada habis waktu menghakimi selera orang lain, coba bagikan saja seleramu. Katanya.
Masuk akal juga.
Kalaupun mau diributkan kan lucu.
Soal selera kok ribut.
Ribut kok soal selera.
Nah, sudah cukup pembukaannnya. Sekarang aku berpikir untuk menceritakan soal beberapa penulis yang kusukai saja. Nama-nama ini yang hasil karyanya hampir pasti kuburu dan kulengkapi karena aku sudah yakin kualitasnya. Berhubung aku sukanya baca, jadi mungkin ini bisa jadi yang pertama yang bisa kuceritakan. Tujuannya apa? Ya, tidak ada. Mungkin jadi inspirasi atau sekadar bahan penghakiman selera. Silakan.
1. Eka Kurniawan
Membaca tulisan penulis satu ini selalu membuatku bahagia. Buatku, Eka Kurniawan adalah salah satu penulis terbaik Indonesia. Bisa dibilang, dialah penulis nomor satu di hatiku. Tulisan-tulisan penulis kelahiran Tasikmalaya ini menurutku sangat penuh dengan kritik sosial, sangat dekat dengan keseharian kita, sederhana, tapi bejat dan terkutuk.
Membaca tulisan-tulisan Eka selalu membuatku menemukan kesederhanaan sekaligus kerumitan. Untuk cerita pendek, beberapa gong tulisan Eka bisa kutebak. Tapi tetap, aku terpesona pada caranya mengisahkan suatu penggalan kehidupan. Bisa ke sana kemari, tapi begitu cerita itu berakhir, aku hanya bisa mengumpat “tahi” dengan intonasi penuh rasa puas dan bangga. Itu termasuk untuk yang akhir ceritanya bisa kutebak sekalipun.
Sementara untuk cerita panjang atau novel, Eka Kurniawan sangat konsisten. Otaknya begitu hebat bisa bercerita berbagai rupa. Runut ataupun melompat-lompat, semua tetap bisa membuatku betah membaca ceritanya sampai habis. Kesialan, kebejatan, kelaknatan, tergambar dengan sangat terperinci pada sejumlah kisah-kisah Eka Kurniawan.
Bagiku, keistimewaan Eka Kurniawan berada pada kemampuannya menghidupkan setiap karakter dengan sangat baik dan total. Selalu ada keunikan pada tokoh dalam cerita-cerita Eka. Kamu bisa buktikan itu pada novel Cantik Itu Luka. Sakti banget tuh novel!
Dewi Ayu, Alamanda, Ajo Kawir adalah tokoh abadi dengan kehidupannya yang sangat kompleks, realis, dan personal untukku. Sejumlah mahakarya Eka Kurniawan tentu Cantik Itu Luka, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, Lelaki Harimau, O, Gelak Sedih, dan Corat-Coret di Toilet. Kalau dipikir-pikir, baru Eka penulis pertama yang bisa membuatku betah baca novel tebal dalam satu minggu penuh.
2. Seno Gumira Ajidarma
SGA, begitu orang menyebut namanya. Salah satu penulis paling rajin dan romantis yang kukagumi. Sebelum penyanyi indie zaman sekarang memuja senja, ada pangeran atau ksatria senja bernama SGA yang selalu bisa menyelipkan manisnya senja dalam setiap kisah. Seno bahkan menciptakan Negeri Senja sendiri dan mengabadikan Sepotong Senja Untuk Pacarku)nya.
Memiliki latar belakang jurnalistik membuat tulisan SGA begitu kaya. Buku Trilogi Insiden menjadi bukti bahwa ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra (bisa) Bicara. Tulisan fiksi Seno membuktikan bahwa kisah imajinasi bisa lahir dari kenyataan sejarah yang pahit. Sejumlah tulisan Seno, contohnya dalam kumpulan cerpen Saksi Mata, sangat surealis namun bisa menggambarkan bagaimana kejamnya sejarah Peristiwa Dili tahun 1991.
Membaca tulisan Seno itu bisa sangat menyedihkan, bisa juga romantis. Karya seperti Sepotong Senja untuk Pacarku, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Iblis Tak Pernah Mati, dan Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi buatku merasakan suasana romantis yang kuat sekali. Kalau kamu sukannya yang benar-benar menyayat hati, bisa baca Mengapa Kau Culik Anak Kami, Taxi Blues, Jakarta 2039, Penembak Misterius, dan Matinya Seorang Penari Telanjang.
Latar belakang seni budaya juga menjadikan Seno sangat memiliki pemahaman mendalam soal banyak hal. Oleh karenanya Seno juga menulis banyak riset dan esai soal kesenian serta fenomena sosial budaya. Beberapa buku non-fiksi yang sangat menarik dari Seno (untuk pembaca umum sekalipun) adalah Panji Tengkorak, Antara Tawa dan Bahaya (bicara soal komik), Tiada Ojek di Paris dan Affair (kritik sosial dan budaya), Jejak Mata Pyongyang (esai foto), dan Layar Kata (skenario).
3. Pramoedya Ananta Toer
Kekagumanku pada Bung Pram (PAT) tak pernah berhenti pada dirinya sebagai penulis. Aku bahkan mengaguminya sebagai manusia, mengingat lebih banyak buku biografi dan wawancara beliau yang kubaca dibandingkan karya tulisnya. Ketekunan beliau untuk terus mengumpulkan kliping, menulis, dan mengkritik, kurasa belum ada saingannya sampai sekarang.
Sebagai seorang penulis, Bung Pram luar biasa kaya akan pengetahuan sejarah. Mengingat lebih dari separuh hidupnya Bung Pram terkekang dan terbuang oleh negara, betapa mengagumkannya beliau tetap mampu memelihara ketekunan untuk mencari informasi dan menuliskannya dalam ribuan lembar cerita.
Bagiku, semua tulisan Bung Pram penuh dengan perjuangan. Heroisme berbalut kemarahan karena penindasan, membuahkan kritik yang menggebu-gebu, penuh api dan berbahaya untuk pemerintah. Tak heran jika buku-bukunya banyak dibakar dan pikiran Bung Pram selalu berusaha dibungkam.
Membaca tulisan Bung Pram selalu membuatku marah karena perjuangan dan penindasan berjalan sama peliknya selalu dan selalu dalam setiap lembar kisah. Membaca tulisan tentang Bung Pram selalu membuatku sedih. Bagaimana negara ini tak menyadari dan menghargai ada putera bangsanya yang luar biasa mengagumkan dan menerangi. Bagaimana negara ini bahkan menyisihkannya. Aduh kesal, marah, sedih, semua jadi satu!
Tetralogi Buru adalah epos sejarah yang luar biasa dari Bung Pram. Mahakarya itu merupakan warisan untuk dunia yang sangat sayang jika disia-siakan dan diacak-acak generasi kita, apalagi generasi mendatang. Arus Balik juga konon begitu menakjubkan bisa lahir dari seorang seperti Bung Pram. Aku belum sanggup membaca buku itu, tapi aku akan melakukannya suatu saat nanti. Tunggu dapat buku aslinya dulu ya. Selain Arus Balik, buku yang juga penasaran ingin kubaca adalah Nyanyian Seorang Bisu dan Sang Pemula.
Selain mahakarya tersebut, Pram juga menelurkan banyak buku lepasan yang lebih personal dan tetap bernuansa sejarah kolonialisme. Sebut saja Gadis Pantai, Bukan Pasar Malam, Peristiwa di Banten Selatan, serta Midah si Manis Bergigi Emas. Masih banyak sekali karya PAT yang belum kubaca dan kumiliki. Pelan-pelan kurasa layak untuk kuperjuangkan. Harganya mahal bukan main!
4. Putu Wijaya
Bli Putu adalah seorang penulis asal Tabanan, Bali. Penulis sekaligus pegiat teater yang berasal dari daerah tempatku bertumbuh dewasa ini juga merupakan orang yang membuatku jatuh cinta pada sastra. Awalnya aku mengenal beliau hanya sebagai seorang kakek dengan topi beret putihnya. Foto beliau yang khas itu aku lihat selalu mejeng di pojok halaman sebuah rubrik (aku lupa namanya) di Koran Tokoh.
Selain melihat foto beliau, aku juga suka membaca kolom di bawahnya. Kolom itu adalah sebuah cerita tentang keluarga Pak Amat dan Bu Amat yang ditulis oleh Bli Putu. Hampir setiap koran itu terbit, aku ikuti kisah Pak Amat dan Bu Amat. Buatku ceritanya menarik, menyentil, dan sangat lucu.
Dari situ aku mengetahui soal Bli Putu. Kemudian, aku mulai rajin main ke Gramedia di Matahari Dewi Sartika. Ketemulah dengan buku kumpulan cerpen Bli Putu yang berjudul Bali. Ketemu pula dengan buku biografi Bli Putu yang akhirnya membuatku mengetahui bahwa Bli Putu adalah peneror mental.
Bli Putu memang betul seorang peneror mental. Membaca tulisan-tulisannya, sekalipun yang kocak, akan membuat pembacanya seolah terteror mentalnya. Tulisan-tulisan Bli Putu menyiratkan kritik sosial yang sangat dalam dan bahkan sering digambarkan sangat mengganggu. Beberapa ada yang sangat realis, ada pula yang surealis dan jauh lebih meneror mental lagi. Saat menulis ini bahkan aku langsung teringat salah satu cerpennya di buku Klop yang sangat menghantuiku sampai sekarang. Yang kuingat, judulnya Mayat dan satu lagi, Merdeka.
Selain teror mental, Bli Putu punya ciri khas dalam pemilihan judul. Beliau hampir selalu memilih satu kata saja sebagai judul. Lah, Lho, Klop, Dor, Blok, Zat, Yel, Aus dan Bor adalah beberapa contohnya. Selain kumpulan cerpen, beliau juga jago menulis novel. Beberapa judulnya Mala, Nora, Dangdut, dan Stasiun.
5. Afrizal Malna
Penulis gundul asal Jakarta ini menurutku perwujudan abstrak yang sesungguhnya. Orang satu ini seperti tidak punya pola khusus dalam menulis. Apa saja ditulis, suka-suka dia. Mau yang baca paham mau tidak, bukan urusannya.
Membaca tulisan Afrizal Malna, yang pasti aku mimisan. Banyak sekali bukunya yang bikin aku sakit kepala setiap habis baca. Anehnya kok aku malah suka ya. Tiap baca, pasti maunya dihabiskan bukannya dihentikan.
Tapi memang, keabstrakkan yang dikenalkan Afrizal Malna padaku sangat menarik. Aku bisa memahaminya kalau memang membacanya pelan-pelan. Tapi untuk esai Sesuatu Indonesia, satu-satunya yang kalau kubaca ulang malah makin merasa tersesat, tak kenal jalan pulang. Ahahah.
Untuk yang ingin membaca kewarasan Afrizal Malna, bisa coba baca novel Kepada Apakah. Setidaknya itu novel yang bisa kalian pahami karena penceritaannya masih realis. Ada sisi romantisnya, ada pembelajaran filosofinya, ada protes sosialnya, pokoknya lengkap deh!
Sementara untuk yang mau coba asyiknya mimisan bersama Afrizal, bisa coba baca Lubang Dari Separuh Langit, Pada Bantal Berasap, Di Rahim Ibuku Tidak Ada Anjing, Arsitektur Hujan, dan Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia.
Selain Sesuatu Indonesia, buku non-fiksi yang bisa kalian baca untuk memahami betapa tekun dan cerdasnya Afrizal Malna dalam dunia teater adalah Perjalanan Teater Kedua (Antologi Tubuh dan Kata) dan Teks Cacat di Luar Tubuh Aktor.
Itulah lima penulis Indonesia yang luar biasa kusuka. Nah, karena kalian sudah tahu, lain kali hadiahkan aku buku beliau-beliau lah ya!
Terima Kasih
Matur Nuwun
Matur Suksma
Thank You
Kamsia
Nuhun