Ada-ada Saja

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readOct 27, 2020
Foto oleh Andrea Leopardi di Unsplash

Teringat saat masih usia sekolah, kami sekeluarga tinggal di Pulau Dewata. Ayah senang sekali membawa istri dan ketiga anaknya berjalan-jalan mencari makan. Aku dan kedua abangku selalu menyambut ajakan tersebut dengan gembira, meskipun misalnya, tiba-tiba dibangunkan di tengah malam hanya untuk mencari ayam lalapan pinggir jalan. Itu semua karena makanan yang ayah pilih selalu enak dan tempatnya selalu mengisahkan keunikan sederhana.

Ada sate ayam yang dagingnya tebal-tebal di seberang toko gudang rabat. Ada sop dan sate kaki kambing yang kuahnya gemuk nan gurih di dekat kandang kuda. Ada nasi Padang vegetarian di tengah kawasan turis elit, juga nasi Padang emperan di dekat bandara. Ada pula dim sum murah di restoran parlente, dan masih banyak lagi.

***

Suatu hari,23 tahun yang lalu. Belum lewat dua jam aku belajar di kelas, guruku tiba-tiba menghampiri.

“Nak, katanya keluargamu ada yang sakit. Sini ikut ibu. Orang tua kamu sudah menjemput untuk pulang kampung”.

Tanpa rasa curiga, aku mengikuti ibu guru ke luar kelas. Tepat di depan Ruang Tata Usaha, sudah berdiri ayahku dengan wajah cemas. Aku pun mendadak ikut cemas. Mencoba mereka-reka, siapa keluargaku yang sedang sakit?

Aku menghampiri ayah. Ayah langsung merangkulku sembari mengucap pamit dan berterima kasih pada ibu guru yang mengizinkanku pulang di tengah pelajaran.

Begitu tiba di luar gerbang sekolah, sudah tampak mobil bak ayah di pinggir trotoar. Tepat di atas bak terbuka, telah ada kedua abangku dan ibu menyambut dengan wajah semringah. Aku melihat itu, langsung semakin bingung. Sebenarnya siapa yang sakit? Mengapa mereka malah berseri-seri?

“Ayah, siapa yang sakit? Kita mau ke mana?”, tanyaku.

“Hari ini kita mau ke Karangasem, Dek. Kita mau makan sate dan sop kambing Madura kesukaan kita”, ayah menjawab pertanyaanku dengan tersenyum lebar, diikuti ibu dan abangku yang terbahak-bahak.

“Lho tadi katanya pulang kampung?”, pungkasku.

“Alasan doang itu, Dek. Biar kita bisa pulang cepat. Ke Karang Asem kan jauh perjalanannya. Harus berangkat dari pagi”, jawab ayah.

Jadilah aku pun jadi ikut riang. Kapan lagi bisa bolos sekolah atas restu orang tua dan diajak makan sate dan sop kambing Madura yang amat nikmat?

Sate dan sop kambing Madura yang akan kami hampiri hari itu, sebenarnya hanya sate dan sop biasa. Hanya saja, kenikmatan rasa kuliner berbahan dasar daging kambing di warung makan satu itu “sing ada lawan!” alias “tidak ada tandingannya”. Kuah beningnya, potongan dagingnya, satenya yang garing dan tidak perengus, semua berpadu membentuk kesempurnaan santapan.

Keistimewaan itu membawa kami dengan sengaja dan gembira menempuh perjalanan dari pusat Kota Denpasar ke Karang Asem, selama kurang lebih 2,5 jam. Sepanjang perjalanan itu, aku dan kedua abangku duduk di bak terbuka, menikmati pemandangan. Sebagaimana menjadi kebiasaan, kami main tebak-tebakan merek truk dan bus yang kami temui sepanjang perjalanan.

Seringnya, perjalanan mencari harta karun penuh tantangan. Begitu pula saat kami berburu harta karun bernama Sate dan Sop Madura itu. Pertama-tama, polisi sempat menghentikan mobil kami. Kami tidak ditilang, tapi ayah dan ibu kena tegur karena dianggap bahaya membiarkan anak-anak duduk di belakang, pada bak terbuka. Aku lupa persisnya ayah menjawab apa terhadap teguran itu. Hal yang jelas, setelah polisi pergi, anak-anak tetap duduk di belakang dan perjalanan pun berlanjut.

Setengah perjalanan kemudian mempertemukan kami dengan bensin habis. Ayah sempat bingung karena sebelum berangkat beliau sudah mengisi bahan bakar terlebih dahulu. Setelah dicek, ternyata tangki bensin mobil butut kami bocor.

Dengan kemampuan mekanik otodidaknya, ayah membeli bensin menggunakan jeriken dari pom terdekat. Ayah yang memang seorang mekanik, tentunya membawa sejumlah peralatan penting. Termasuk selang air. Dalam waktu singkat, ayah berhasil membuat tangki bensin darurat untuk membawa kami kembali berburu sate dan sop kambing Madura. Sejak hari itu, kami menjuluki ayah, MacGyver.

Melewati tengah hari, kami tiba di warung sate dan sop kambing Madura idola. Tanpa banyak bicara, ayah langsung memesan paket sate dan sop kambing, masing-masing dua porsi untuk kami semua. Kami makan dengan lahap tanpa sempat berbagi obrolan.

Selesai memuaskan lidah dan perut, kami mendapati hari sudah menuju sore. Rasa-rasanya terkesan kurang jika kami langsung pulang begitu saja ke Denpasar. Ayah pun memberi ide untuk menginap satu malam saja di daerah bernama Candidasa ini. Maka dari itu, selepas berburu soto dan sop, kami pun berburu penginapan.

Mengingat Candidasa adalah salah satu kawasan wisata teramai di Karang Asem, kami pun bisa dengan mudah menemukan banyak penginapan di sini. Ayah mengajak kami mencoba memasuki beberapa cottage, bungalow, dan motel untuk melihat mana yang menarik untuk kami inapi.

Ada salah satu motel yang sangat menarik buatku. Menarik karena di area lobinya terdapat banyak sekali rangka ranjang seukuran bayi digantung di atap dalamnya. Sebelum sempat aku menanyakan apa guna hiasan itu kepada ayah, ibu malah langsung menarik kami dan berbisik “hati-hati di hotel ini banyak tuyul, itu tempat tidurnya digantung semua”.

Kami semua pun tertawa dan pada akhirnya tidak jadi menginap di penginapan tersebut. Alasan sebenarnya kenapa enggan memilih penginapan tersebut, entah karena tuyul atau karena memang suasananya kurang bagus.

****

Aku lupa persisnya berapa banyak penginapan yang kami masuki. Setelah hampir pukul 3 sore, ayah tiba-tiba teringat ada salah satu temannya yang memiliki hotel di sini. Beliau pun membawa kami ke sana dengan harapan mendapat kesempatan menginap gratis di hotel mewah.

Akhirnya, sampailah kami di hotel mewah milik teman ayah. Benar saja ayah diberikan kesempatan menginap gratis di hotel ini. Kawasan hotel cukup luas, kamarnya pun menarik. Di dekat lobi, ada bangku berjemur yang langsung menghadap ke laut. Menurut pemiliknya, ia belum sempat membangun kolam renang. Jadi dia biarkan tamunya untuk langsung saja berjemur dan jika mau, menceburkan diri ke laut.

Mengingat aku dan abangku sangat suka berenang, kami pun langsung bersiap untuk berenang. Meski sebenarnya, tidak ada yang disiapkan karena sedari awal kami tak berencana menginap. Persiapan kami hanyalah lompat!

Ketika itu, ketika usiaku masih tujuh tahun, kami sama sekali tidak merasa takut akan penampakan laut lepas di hadapan kami. Kami bahkan langsung melompat ke sana tanpa tahu seberapa dalamkah lautnya dan ada apakah di bawah sana. Kami malah girang berenang terombang ambing ombak yang cukup besar.

Tanpa kami sadari, ternyata di dasar laut yang tingginya permukaannya hampir sedaguku ini ada banyak karang tajam. Alhasil, saat akhirnya ingin mencoba berdiri, kaki kami malah sobek-sobek. Lucunya, kami hanya teriak “au..au”.. “aduh..aduh”, lalu lanjut beradu mengapung.

***

Ketika masih usia kanak, semua hal memang terasa menyenangkan. Semua hal terasa tak punya risiko apa-apa. Perjalanan dengan masalah apa pun tetap terasa penuh keceriaan.

Coba sekarang, setelah dua puluh tahun lebih lewat. Mau melakukan perjalanan, banyak sekali rencana yang kita pertimbangkan. Sudah di tujuan, sering pula kita mengeluh. Makanan kurang sedap lah, penginapan kurang nyaman lah, tempat bermain kurang bersih lah, remang sedikit dianggap hotel tempat mesum lah, gelap sedikit dikira banyak hantu lah. Selalu ada-ada saja.

Jika dulu, aku yang berusia 7 tahun selalu ada-ada saja akalnya untuk menikmati suasana, kini aku yang sudah hampir kepala tiga, selalu ada-ada saja pikirannya untuk merusak suasana.

Bolehkah kembali polos?

--

--