Aku dan Menulis

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
3 min readNov 29, 2020
Foto oleh Museums Victoria di Unsplash

Aku tidak ingat kapan pertama kalinya aku menulis. Ingatan pertamaku soal menulis adalah saat SD, tetapi aku lupa persisnya kelas berapa. Kala SD, aku paling senang mengikuti pelajaran bahasa Indonesia. Aku paling senang jika mendapat tugas mengarang cerita. Apalagi jika mengarang cerita soal liburan sekolah. Kertas ulangan yang ukurannya folio itu, empat lembar pun bisa kuhajar habis, bahkan bisa lebih.

Dulu aku ingat sering mendapat nilai bagus kalau sudah urusan menulis dan mengarang. Hal tersebut bahkan terus berlangsung sampai aku kuliah. Seorang dosen ada yang selalu menyebut namaku di kelas sampai ada beberapa mahasiswa lain yang menggerutu karena malas mendengar namaku terus disebut sebagai penulis yang bagus. Padahal bukan doa ibu, kenapa juga namaku harus terus disebut ya?

Teringat kembali ke masa SD. Aku juga paling suka disuruh menulis soal film. Aku ingat pernah mengikut ulangan bahasa Indonesia yang soalnya disuruh membuat ulasan film. Aku pun ingat dulu yang kutulis adalah ulasan film James Bond, the World is Not Enough. Hal yang kuingat adalah guruku menanyakan arti judul film itu dalam bahasa Indonesia. Syukurlah aku bisa menjawab. Syukurlah juga dia tidak merasa aneh menemukan murid SD yang tontonannya film macam James Bond.

Ada pula kejadian menarik soal menulis saat SD. Aku pernah mendapat tugas mengarang dengan genre detektif. Alih-alih membuat tulisan yang sesuai usiaku ala Detektif Lima Sekawan, aku malah membuat cerita pembunuhan sadis psikologis paduan Sherlock Holmes dan Conan Edogawa. Jika kuingat-ingat isi ceritanya, aku bersyukur sekali tidak ada guru BK di sekolahku saat itu. Kalau ada, pasti orang tuaku sudah dipanggil untuk ditanya, “Anak ini hobinya apa? Apa suka menyendiri di rumah? Apa bapak ibu mengawasi bacaan dan tontonan anak ini?”. Hahaha.

Ketika usia sekolah, tulisanku juga cukup bisa kubanggakan. Saat SMP kelas satu atau dua, aku pernah menang lomba Suratilah Presiden. Aku dapat hadiah Rp500.000 sebagai juara satu. Itulah honor pertamaku dari menulis. Rasanya senang bukan main. Rasanya aku langsung merasa menjadi yang paling pintar di antara semua orang satu sekolah.

Sejak kecil aku suka sekali menulis. Aku senang mengarang dan bercerita lewat tulisan. Entah ada yang suruh atau tidak, kewajiban atau bukan, aku masih memiliki kebiasaan menulis sedari bocah sampai sekarang sudah kepala tiga. Setiap hari kubiasakan menulis, entah itu hanya sebait atau sebaris. Tulisan itu bisa di atas kertas, bisa juga di dalam layar digital seperti ini.

Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa begitu sukanya dengan menulis. Soalnya, sejak kecil tidak ada satupun keluarga yang membiasakan aku untuk menulis. Tidak ada satupun yang membangkitkan kesukaanku terhadap menulis. Hal itu terjadi mengalir begitu saja seperti perasaan cinta yang tak pandang usia, tahu-tahu datang sendiri.

Sampai detik ini, aku merasa menulis adalah kehidupanku. Aku ingat sekali bahwa sejak sekolah aku sudah bercita-cita ingin menjadi penulis. Kukatakan pada diriku bahwa aku akan hidup dari menulis.

Benar saja, lebih dari satu dekade ini, aku sudah hidup dari menulis. Nafkah utamaku datang dari menulis. Meski banyak sekali tulisan yang sama sekali tidak mengembangkan pengetahuan dan kemampuanku, aku bisa hidup dari menulis. Sumber penghasilan utamaku adalah dengan menjadi pekerja teks komersial. Aku merasa beruntung bisa mencapai cita-cita sendiri, tanpa begitu banyak pengorbanan berat. Hahaha

Menulis adalah kehidupanku. Aku percaya bahwa menulis membuat seseorang tetap bisa hidup selamanya. Melalui tulisan yang dibuatnya, orang bisa mengabadikan pikirannya, pendapatnya, keyakinannya, bahkan pencapaiannya.

Aku bisa saja mati besok, tapi orang bisa tetap merasa aku hidup ketika mereka membaca tulisanku beberapa dekade ke depan. Sama halnya aku masih merasa Bung Pramoedya Ananta Toer tetap hidup sampai hari ini karena tulisan luar biasanya. Pemikirannya masih sangat relevan sampai sekarang meski beliau sudah belasan tahun tiada.

Menulis adalah kehidupanku. Dengan menulis, aku bisa tetap hidup sampai hari ini. Tanpa menulis mungkin aku sudah lama bunuh diri karena tidak tahu mau kukemanakan isi kepalaku yang begitu berisiknya ini. Terima kasih tangan yang masih mau menurut otak untuk tetap menulis, sekalipun isi tulisanku lebih banyak marah dan menggerutunya.

Semoga aku tetap terus bisa dan mau menulis ya.

--

--