Angin Berembus Terus

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
7 min readAug 13, 2021

Beberapa hari lalu aku ditodong sama admin Instagramnya Tentang Angin Smansa. Aku ditodong halus, diarahkan untuk ikut meramaikan kuis (?) memperingati dirgahayu Teater Angin yang ke….. (berapa ya? Aku lupa), pokoknya ulang tahun TA di tahun 2021 ini lah!

Jadilah aku menulis cerita nostalgila ini. Tujuannya utamanya sih bukan untuk ikut kuis (tapi kata Alfons hadiah pulsa listriknya lumayan), melainkan untuk menyenangkan hatiku dan hati admin IG Tentang Angin Smansa. Lagipula aku jadi ada bahan untuk memperbarui tulisan di mediumku ini.

Sejak kecil aku suka dengan sastra. Membaca buku sastra, menulis cerita dan puisi, bahkan bermain peran, menjadi hal yang paling suka kulakukan saat masih usia sekolah. Tak heran jika aku mulai menjajaki ekstrakurikuler teater saat duduk di jenjang sekolah menengah. Aku merasa teater adalah wadah yang cocok untuk memperdalam bakatku yang banyak tapi semuanya dangkal ini.

Aku lupa persisnya kenapa aku memilih untuk masuk ke Smansa. Meski seolah kurang motivasi begitu, ternyata sekolah di Smansa membawa banyak cerita menyenangkan untuk kehidupanku. Salah satunya tentu karena aku bisa bergabung di Teater Angin (TA).

Teater Angin mungkin merupakan salah satu teater SMA terpopuler di Bali. Sebelum aku bergabung di sana, namanya sudah berkali-kali disebut dalam daftar pemenang aneka lomba teater. Di mana ada lomba, di situ sudah hampir pasti TA masuk jajaran juaranya.

Dua hal yang paling tipikal TA adalah tidak adanya senioritas dan kemandirian. Jika ekstrakurikuler lain (dan di sekolah lain) ada yang namanya senioritas, di TA (katanya) sih enggak ada. Bicara soal kemandirian, TA menjadi (kayaknya) satu-satunya teater sekolah yang tidak punya pelatih. TA hanya punya pembina yang (menurutku) tugasnya kasih kata sambutan dan tanda tangan surat-surat (termasuk surat dispensasi).

Lingkaran TA (Dokumentasi: Alfons)

Tagline TA adalah the absurd generation. Moto TA adalah kebersamaan dan makan. Bicara soal TA adalah bicara soal kebersamaan di antara anggotanya yang abstrak dan makan-makan enak sampai kenyang. Mungkin sederhananya, ke mana-mana ya sama-sama dan makan-makan.

Aku ingat ketika pertama ditanya kakak kelas saat MOS tentang ekskul apa yang ingin kuikuti, dengan mantap kujawab TA. Teguh a.k.a Bolot yang menjadi ketua TA saat itu mengatakan bahwa ikut TA itu harus yakin dan siap. Sebab TA latihannya berat dan banyak nginap di sekolah. Kalau mau ikut TA, pastikan dulu orang tua kasih restu anaknya untuk sering habis waktu di sekolah.

Pulang MOS, aku langsung meminta izin pada orang tuaku. Sepertinya saat itu mereka tidak akan mengira bahwa TA akan sesibuk itu, makanya mereka ya kasih izin saja. Aku saat minta izin itu juga tidak menyangka kegiatan TA akan sangat padat. Jadilah orang tuaku nantinya menyesal memberikan izin. Sementara aku, ya senang-senang saja banyak aktivitas di TA (tapi jadi sering sakit. Agak cemen memang badan ini pas zaman sekolah).

Pada waktu itu, sekretariat TA berada di hadapan lapangan tenis. Sekre yang sering bau debu itu sering menjadi tempatku dispen, bolos, ngerecak sama teman-teman, pacaran (tapi nggak mesum ya, takut leteh), ngerokok, dan belajar main ketipung.

Lingkaran di sekre yang udah setengah hancur (Dokumentasi: Alfons)

Kegiatan resmi TA yang rutin, berlangsung setiap hari Sabtu jam 4 sore. Latihan di akhir pekan itu biasanya dibuka dengan konsentrasi, pemanasan, latihan vokal, senam muka, dan lanjut latihan teater dengan materi yang disusun oleh para anggotanya. Pelatih TA saat itu adalah kakak kelas sendiri yang kadang berganti-gantian dengan para anggota baru.

Secara tidak resmi, TA punya tiga cabang seni, yakni musikalisasi puisi, teaterisasi puisi, dan drama. Ada acara tahunan bernama Malam Apresiasi Sastra (MAS) yang akan menampilkan pertunjukan tiga seni tadi dengan pemeran dari seluruh anggota kelas 1. Acara MAS menjadi acara pertama yang dipersiapkan secara utuh oleh anggota TA kelas 1. Di acara tersebut, (seingatku) aku menjabat sekretaris yang berkutat dengan surat-surat, terutama surat dispensasi.

Aku berharap bisa tergabung dengan grup musikalisasi di TA karena pada dasarnya aku suka menyanyi dan aku merasa suaraku bagus. Nyatanya, aku tidak terpilih sebagai anggota musikalisasi. Ternyata, aku harus sadar bahwa suaraku masih kalah bagus dengan beberapa teman perempuan lainnya di TA.

Musikalisasi puisi MAS 2006 (Dokumentasi: Alfons)

Tidak berhasil gabung di musikalisasi, aku berharap bisa tergabung di grup teaterisasi. Teaterisasi ini dipahami secara sederhana sebagai olah tubuh memaknai sebuah karya puisi. Jika dilihat sekilas, teaterisasi seperti menarikan sebuah puisi, diramaikan dengan instrumen musik, utamanya ketipung sebagai pengatur tempo.

Teaterisasi puisi MAS 2006 (Dokumentasi: Alfons)

Sayangnya, keinginan gabung di teaterisasi gugur juga karena waktu audisi aku malah pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Kenapa bisa pingsan? Paginya aku sekolah, siangnya ke bukit nyari naskah drama ke Fakultas Sastra Udayana (dan nggak dapat apa-apa), sorenya langsung lanjut latihan. Badanku cupu, jadinya ya korslet di waktu yang tidak tepat.

Akhirnya aku dinyatakan masuk grup drama dan terpilih sebagai pemeran utama wanita. Drama yang kami mainkan berjudul Rumah Untuk Mani karya Rabindranath Tagore. Aku jadi si Mani (iya… mani), seorang istri yang memiliki suami yang sakit-sakitan dan mertua yang cukup penuntut.

Drama MAS 2006 (Dokumentasi: Alfons)

Beruntung juga aku terpilih masuk grup drama. Sebab, drama menjadi cabang seni yang dilombakan di Pekan Seni Remaja. Dengan naskah yang sama, TA maju PSR tahun 2006 (betul tidak sih, aku banyak lupanya kalau soal waktu). Aku menampilkan akting yang menurutku cukup memuaskan dan ternyata berhasil menjadi salah satu peraih piala Pemeran Terbaik Wanita. Bisa dibilang ini pengalaman di TA yang paling kuingat.

Drama PSR 2006, Rumah untuk Mani (Dokumentasi: Alfons)

Hal lain yang juga kuingat adalah saat aku masuk menjadi kandidat calon ketua TA. Bersama Jawi, Deva, Joni, dan Jaya, aku menjadi calon ketua TA. Aku menjadi satu-satunya kandidat perempuan. Jujur saja memang di tahun pertama masuk TA, aku sengaja caper dan sok aktif supaya masuk daftar tersebut. Aku berpikir untuk bisa masuk daftar calon ketua TA, lalu nantinya dengan sombong menolak tawaran tersebut dengan berbagai alasan (memang nas kleng dari dulu saya ini).

Seingatku, waktu pemilihan, ada sesi tanya jawab dengan anggota dan aku menyebutkan bahwa aku tidak bisa jadi ketua. Lalu, aku pun dipilih menjadi sekretaris I. Lagi-lagi jadi juru administrasi. Memang sudah bakatnya di situ sepertinya ya?

Seiring berjalannya waktu, aku rada menyesal juga kenapa dulu tidak jadi ketua saja. Tapi kalau aku jadi ketua, nanti malah tidak jadi punya ketua kesayangan paling nyentrik bernama Jawi. Lagipula, aku juga pasti tidak mampu jadi ketua karena memang mentalku bukan pemimpin. Aku kan bisanya marah-marah doang.

Tapi nantinya aku juga sempat jadi ketua kok! Ketua peluncuran buku puisi TA “Jalan Angin”. Pengalaman jadi ketua ternyata sangat menyenangkan karena aku bisa mengatur kegiatan dan mengatur orang-orang. Aku juga punya kesempatan untuk nampang menyampaikan sambutan. Bonusnya, dapat pacar manajer toko buku (dia manajer bukan ya?).

Ah, satu lagi yang kuingat adalah menjadi sie survei barang pelantikan sama Alfons. Aku jadi punya banyak pengalaman sama si Alfons yang dulu kupanggil Ucok. Diomelin satpam Gramedia Matahari Dewi Sartika, ditangkap polisi karena dikira anak kecil bawa motor, dan ninggalin Alfons di tengah jalan karena ban motornya pecah, dan banyak lagi. Romantis nggak tuh? TAI.

Bisa dibilang, berproses bersama TA mengarahkanku untuk mau dan mampu melakukan banyak hal. Aku jadi semakin rajin membaca buku sastra dan menulis (puisi). Aku jadi punya suara yang bulat dan kencang tanpa harus teriak-teriak. Aku jadi bisa meditasi di atas sarang semut. Aku jadi jago main ketipung. Aku semakin berani mandiri, ke mana-mana sendiri, nginep di sekolah dan malas pulang berhari-hari. Aku bisa jadi ahli supranatural karena sering lihat setan kalau sedang latihan sampai malam. Aku juga jadi mampu omong besar ke orang-orang (kalau satu ini rasanya lebih karena bawaan lahirnya tukang kibul saja).

Bersama TA, aku juga jadi bisa berorganisasi secara serius tapi menyenangkan. Aku jadi tahu susahnya penggalian dana dan mempersiapkan pementasan maupun acara serta lomba-lomba. Aku jadi paham cara membuat surat yang baik dan benar. Aku juga semakin mampu bersosialisasi (dan bertoleransi) dengan banyak orang, termasuk berbicara di hadapan khalayak umum. Bisa kenal dengan banyak seniman besar. Aku bahkan semakin mahir berkelit dan menang debat sama guru-guru di Smansa.

Satu hal yang kusesali di TA adalah aku kebanyakan pacaran. Gonta-ganti pacar melulu, jadinya berproses kurang maksimal. Dasar perempuan gatal! Akibat kebanyakan pacaran, begitu masuk usia kuliah yang harusnya liar, malah jadi malas bergaul.

Aduh jadi kangen berteater lagi deh! Kalau saja aku masih tinggal di Bali, rasanya aku masih aktif berkesenian ya. Tinggal di Jakarta malah membuatku aktif ngobrol dengan diri sendiri dan memelihara basang panes.

Semoga suatu hari nanti bisa reunian dengan teman-teman TA dan berproses bersama lagi.

Negara 2006 (?) (Dokumentasi: Alfons)

--

--