Balikpapan dan Rasa-rasanya

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
6 min readFeb 6, 2021

“Ini Kalimantan Timur apa Jawa Timur ya?”

Itulah kesan pertama yang begitu menggodaku saat pertama kali berwisata kuliner di Balikpapan. Sepanjang mata memandang, kota yang terkenal sebagai juragan minyak di Tanah Air tersebut dipenuhi jejeran kedai ayam lalapan kaki lima khas Lamongan dan warung soto ayam khas Suroboyo.

Kalaupun bukan itu, pastinya yang tak kalah merajai barisan kuliner malam Balikpapan adalah Angkringan. Siang harinya, warung makan malah banyak dipersembahkan oleh Soto Ayam Suroboyoan.

Mbok ya tetap saja rasa Jawa ya…” Begitu ujarku dalam hati. Hikmahnya tentu, siapa pun yang singgah ke sini pasti tak akan mengalami istilah “tidak cocok dengan makanannya” lalu pulang-pulang menjadi kurus. Sebab, lalapan Lamongan dan Soto Ayam memang sudah jadi makanan sejuta umat. Di mana-mana ada dan pastinya semua orang bisa makan. Yang lucunya memang, jumlah warung makan khas Jawa Timuran ini jumlahnya malah sangat jauh mengungguli kedai makan khas Balikpapan.

Eits, tunggu dulu. Khas Balikpapan? Selama aku di kota ini, sepertinya aku benar-benar belum menemukan kedai makan khas Balikpapan deh! Ketika aku bertanya pada Alfons yang sudah lama bekerja di kota tersebut, dia menyebut Soto Banjar sebagai makanan khas Balikpapan.

“Lek, itu namanya jelas-jelas Soto Banjar. Bukannya itu sudah pasti makanan khas Banjarmasin ya?”, protesku padanya.

“Ya maybe the best way to desribe Balikpapan adalah dia itu kota melting point-nya Kalimantan. Jadi ya campur-campur makanan khas di sini dengan kota lain di Kalimantan”, kira-kira begitulah jawaban pembenaran Alfons yang dia ucapkan dengan bahasa yang sok dibule-bulekan. Maklumlah, kantornya banyak berisi bos dari negeri asing.

Soto Banjar nan Segar

Soto Banjar yang pertama aku coba ada di Pujasera Markoni Soto Banjar Samarinda (nah, ini malah menyebut Soto Banjar khas Samarinda pula) di Jalan Jenderal Sudirman — Balikpapan.

Soto Banjar ini tampilannya seperti Soto Ayam Lamongan (lagi). Ayamnya direbus dan disuwir memanjang, lalu disiram kuah kaldu rempah dan ditemani kentang rebus atau perkedel, serta telur rebus dan ketupat. Kuahnya agak memutih, seperti air tajin. Rasanya enak dan segar, tapi akan semakin sempurna jika ditambah dengan perasan jeruk nipis dan sambal. Seporsi harga soto cukup beragam. Ada yang menjualnya Rp15.000 dengan nasi/ketupat. Ada pula yang menjualnya dengan harga Rp12.000.

Warung Soto Banjar lain yang menurut saya lebih memiliki suasana lokal ada di Jalan Sungai Ampal, namanya Warung Paman Irsyad. Warung ini berada di tepian jalan dan menjorok ke atas dataran tinggi sehingga bentuk warungnya seperti gubuk kayu yang mengambang di udara. Kedai satu ini selalu ramai. Dan yang khasnya lagi, soto di sini semuanya terhidang langsung dalam piring alih-alih mangkok.

Selain Soto Banjar, yang disebut sebagai makanan khas Balikpapan tentunya adalah seafood. Balikpapan terkenal dengan boga baharinya yang sedap. Tentunya hal ini tidak mengherankan mengingat kota ini memiliki sumber hasil laut dari Teluk Makassar. Boga bahari tersedia hampir di mana-mana di Balikpapan, bahkan hingga warung makan kecil sekalipun setidaknya menyediakan olahan ikan laut dan udang. Termasuk di warung makan Soto Ayam Suroboyonya.

Secara lebih spesifik, makanan laut yang paling jawara di Kota Minyak adalah kepiting. Kepiting di Balikpapan memiliki keistimewaan pada ukuran. Ukuran kepiting di sini besar-besar dan pastinya segar. Untuk urusan satu ini, saya selalu menyerbu Restaurant Dandito yang ada di Jalan Marsma Iswahyudi dekat Bandara Sepinggan. Restoran bergaya lama ini memiliki menu spesial Kepiting Saos Dandito. Rasa bumbu spesial ini menurut lidah saya adalah perpaduan pedasnya saus padang dan segarnya saus asam manis.

Restaurant Dandito sudah sangat populer di kalangan wisatawan Balikpapan

Satu porsi kepiting telur di sini ditawarkan seharga Rp285.000. Buat saya, nilai tersebut murah mengingat yang aku lihat di piring saya adalah 2–3 ekor kepiting betina dengan daging dan telur yang banyak.

Kelezatan Kepiting Saos Dandito ini juga begitu berkesan karena dagingnya sangat empuk dan lembut, tidak menempel di kulit sehingga begitu mudah digeragoti dan sama sekali tidak tersisa di kulit. Jadi, keluhan orang perihal “makan kepiting di restoran sama dengan beli kulit saja” tentunya tidak akan terjadi di sini. Kelezatan tersebut bahkan sampai membuat ibuku selalu menitip untuk dibawakan kepiting ini sebagai oleh-oleh untuknya setiap aku kembali ke Jakarta.

Puas dengan kepiting, aku kemudian mencoba beralih untuk menikmati kesegaran lain. Berhubung makanan khas lainnya belum aku temukan, maka tidak ada salahnya merapat ke Angkringan. Jumlah angkringan di kota ini terbilang cukup banyak dan tersebar cukup merata. Lokasinya ada yang di depan toko tutup, di depan lapangan, di pinggir jalan, dan di depan warung makan lainnya.

Angkringan Nasi Kikil lengkap dengan hiburan musik

Harga makanan di angkringan Balikpapan kurang lebih sama dengan di Jakarta. Aku biasanya menyantap minimal dua bungkus sego kucing, empat sate, dan satu minuman, lalu membungkus satu porsi dan dua tusuk sate untuk camilan tengah malam. Bersama kawan yang memakan jenis dan porsi serupa, biasanya kami menghabiskan Rp40–50 ribu sekali makan di angkringan.

Oh ya, mengenai lokasi, angkringan yang paling aku gemari ada di dekat Coffee Chat — Batakan. Aku selalu lupa dengan namanya karena terbiasa menyebutnya Angkringan Nasi Kikil. Julukan itu muncul karena angkringan ini satu-satunya tempat aku menemukan sate kikil enak di Balikpapan.

Satu lagi yang masuk dalam daftar favorit adalah di Angkringan Mas Pendi yang memiliki sambal super sedap dan berhasil membuat Alfons pucat menahan mules di tengah santapan.

Ada satu lagi hal yang membuatku berkesimpulan bahwa Balikpapan dipenuhi dengan perantau dari Jawa Timur. Hal itu adalah betapa mudahnya kita menemukan Rujak Cingur di sini. Gerobak yang menjual makanan eksotis tersebut cukup mudah ditemukan di pinggir jalan. Pujasera dalam mal atau pusat belanja modern lainnya pun setidaknya pasti menyediakan satu atau dua tempat makan yang menjual menu ini.

Sebagai penyuka makanan khas Jawa Timuran tersebut, tentu aku sangat bahagia dengan kenyataan ini. Meskipun memang, rasanya ternyata tidak seyahud rujak cingur yang kuidolakan di masa SD dulu. Setidaknya, ada satu kedai rujak cingur yang menurutku rasanya memanjakan lidah yakni di Taman Bekapai. Aku selalu menyantapnya setiap kali nongkrong malam di taman rakyat tersebut.

Sesekali, aku juga menyicipi makanan kelas atas. Mengingat Balikpapan banyak dihuni ekspat yang bekerja di perusahaan minyak dan gas, maka kota ini juga punya banyak kedai makan ala Barat. Beach House, Jack House, Ocean, Open House, Kelapa, Colonial Restaurant and Lounge adalah beberapa nama yang pernah kukunjungi untuk wisata kuliner mewah.

Jika sudah masuk tempat makan model begini, ya pasrah saja lah apabila tagihan menjadi 2–3 kali lipat. Sebab, kita memberi makan untuk perut sekaligus mata kita. Segi rasa sih tidak terlalu membuatku terkenang.

Satu kenangan yang malah aku ingat sampai sekarang adalah saat ditegur bule pemilik Jack House yang mengira aku sedang memotret menunya. Padahal, aku tengah mengecek foto-foto di perjalanan yang ada dalam kameraku. Pemandangan pantai di depan dan rasa makanan, semuanya menjadi kurang terkenang karena galaknya tuan bule tersebut. Jujur saya memang lupa rasanya seperti apa. Kalau tidak salah dulu saya memesan Homemade Burger ala Jack House.

Sudah pesan setengah porsi di Acang, masih banyak begini

Ada dua nama warung makan yang rasanya tidak boleh lupa untuk kusebut. Yaitu Depot Mr. Koki Acang. Warung makan satu ini selalu aku singgahi saat ingin makan banyak. Porsi makanan di sini biasanya bisa untuk sekeluarga (3–5 orang). Pilihan menunya juga sangat banyak, mulai dari masakan Cina hingga olahan boga bahari. Aku bahkan bisa memilih sendiri boga bahari yang aku inginkan, termasuk cara masaknya.

Sembari menanti pesanan datang, pisang goreng ala Sechuan yang manis-manis gemuk menjadi kudapan ganjalan favoritku di sini. Soalnya, selain enak, juga gratisan!

Nah, itulah kenikmatan makan di Kota Minyak. Rasanya memang luar biasa karena Balikpapan benar-benar menyediakan hidangan yang beragam, meski masih sulit mengetahui apa sih makanan khas Kota Minyak ini. Semoga suatu hari nanti aku bisa ke sana lagi untuk memanjakan lidah sambil sowan ke pasar malamnya yang ada pedagang pentol bakar yang enak sekali. Semoga pasar malamnya pun masih ada, tidak kalah sama modernisasi.

*tulisan ini dibuat tahun 2015.

--

--