Belajar Mencipta Puisi dari Sang Maestro

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readJan 15, 2021

Aku suka menulis puisi. Kebiasaan menulis puisi kubangun sejak masih SD. Kala itu, aku menganggap puisi masih sebagai untaian kata pendek-pendek, tapi menyegarkan dan indah.

Aku suka menulis puisi karena bagiku ia bisa menggambarkan situasi tanpa harus mengarang panjang sebagaimana cerita pendek (cerpen) atau novel. Apalagi aku merasa nafasku masih kurang panjang untuk menulis cerpen (cerpen) dan novel.

Semenjak merasa tua seperti sekarang, aku memaknai puisi sebagai proses belajar. Puisi membantuku mengembangkan kemampuan berbahasa. Tak hanya itu, puisi juga membantuku mempertajam kepekaan diri terhadap alam semesta dan segenap fenomenanya, dengan cara yang menawan. Dengan puisi, aku bisa menjadi seseorang yang menyatu dengan semestaku.

Karena itu, bagiku belajar menulis puisi tidak akan pernah menemukan kata “berhenti”.

Kali ini, aku mendapatkan kesempatan untuk belajar mencipta puisi dari sang maestro, Pak Iman Budhi Santosa yang juga dikenal sebagai IBS. Aku belajar menemukan kembali cara menjalin keakraban dengan puisi melalui buku terakhir Pak Iman Budhi Santosa yang beliau terbitkan sebelum meninggal di bulan Desember 2020 lalu.

Buku itu berjudul Seni Mencipta Puisi: Menyingkap Rahasia dan Teknik Penciptaan Puisi dari Sang Maestro. Alih-alih kumpulan catatan proses kreatif dari beberapa penyair kawakan, di buku ini aku menemukan sebuah teknik mencipta puisi yang begitu sistematis dan koheren.

Pak Iman Budhi mengawali pengenalan pembaca terhadap puisi dengan menjelaskan mengapa manusia mencipta, apa itu proses kreatif, mengapa dan kapan seseorang tertarik mencipta puisi, apakah mencipta puisi itu sulit, dan apakah bahasa sastra dan puisi itu sendiri. Setiap bab ditulis ringkas, padat dan jelas. Pada beberapa bagian juga terjadi pengulangan yang aku maknai sebagai usaha Pak Iman Budhi untuk memudahkan pembaca mengingat materinya.

Secara spesifik, buku ini menggunakan istilah “mencipta puisi”, bukan “mengarang”, bukan “membuat”, apalagi “menulis”. Hal ini untuk menjelaskan bahwa puisi merupakan hasil dari sebuah proses kreatif yang mendalam, buah pikiran dan perasaan yang relatif menyampaikan kebaruan.

KBBI memaknai 1) “cipta” sebagai “kesanggupan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, angan-angan yang kreatif”; 2) “mencipta” sebagai “memusatkan pikiran (angan-angan) untuk mengadakan sesuatu”; dan 3) “menciptakan” sebagai “menjadikan sesuatu tanpa bahan; membuat sesuatu yang baru; dan membuat suatu hasil kesenian” (hal.6). Makna KBBI ini sendiri semakin menguatkan kesesuaian pemakaian kata “seni mencipta puisi”.

Sebagai seorang sastrawan yang sudah sangat karib dengan budaya Jawa, Pak Iman Budhi bisa dikatakan menginternalisasikan falsafah Jawa sebagai metode mencipta puisi. Dalam buku ini, Pak Iman Budhi memperkenalkan metode 3N, yakni Niteni (memperhatikan), Nirokake (menirukan atau meneladani), dan Nambahi (menambahi atau mengubah).

NITENI

Niteni atau memperhatikan menjadi langkah awal dalam proses menciptakan puisi. Di sini, pencipta puisi memulai proses kreatifnya dengan terlebih dahulu memperhatikan karya sastra yang sudah ada “dengan sungguh-sungguh, teliti, dan saksama, menggunakan pikiran, perasaan, serta hati yang bersih dan terbuka” (hal. 39).

Dalam memperhatikan, pencipta tidak bisa berpatok pada puisi saja, tetapi juga karya sastra lainnya, seperti cerita pendek, peribahasa, kutipan kata bijak, bahkan esai. Selain bentuk karya, variasi gaya juga penting.

Pada proses niteni contoh puisi dan nonpuisi, pencipta “memerlukan kesungguhan, ketelitian, kesaksamaan, dan kecermatan” (hal 85). Dengan hal tersebut, pencipta hendaknya mampu mengupas karya sastra panutannya hingga ke struktur lapisan yang kompleks, tak sekadar bentuk dan isi.

Di dalam praktiknya, proses memperhatikan di sini lebih mengarah pada upaya menafsirkan secara praktis setepat mungkin mengenai sejumlah aspek yang terdapat pada contoh puisi…..(hal. 86). Intinya adalah memperhatikan 1) wujud puisi, 2) muatan pesan yang disampaikan, 3) proses kreatif penciptaannya (hal. 94).

NIROKAKE

Prinsip utama metode nirokake bukan sekadar meniru karena meniru bisa berarti menjiplak atau menyalin dan konotasinya begitu buruk. Lebih tepat disebut sebagai meneladani, nirokake memaksudkan pencipta untuk meneladani karya yang ia sukai dan memang patut untuk dicontoh. Adapun hasil dari nirokake ini merupakan bentuk latihan dan tetap tidak disarankan untuk dipublikasikan.

Dalam meneladani, pencipta puisi perlu melakukan beberapa langkah. Langkah tersebut adalah 1) mencari dan merumuskan tema/masalah puisi yang disukai, 2) membuat tema baru yang mirip, 3) jadikan peristiwa yang muncul dalam benak menjadi puisi dengan kebahasaan dan penulisan seperti puisi contoh, 4) membuat 2 – 3 puisi baru, dan 5) terus berlatih sampai puisi yang dicipta benar-benar menemukan kemiripan dengan puisi contoh atau pedomannya (hal.106 – 107).

NAMBAHI

Tahap nambahi mengarahkan pencipta puisi untuk melakukan pengubahan dan penambahan, dengan maksud menciptakan puisi baru menyesuaikan selera atau cita rasa masing-masing. Aku mengartikan tahap ini secara sederhana sebagai proses mencipta puisi yang sama sekali baru, dengan tetap mengacu pada kualitas puisi yang sudah melalui tahap niteni dan nirokake.

Adapun proses penciptaan baru ini dilakukan setelah kita berhasil mencapai kesetaraan atau kemiripan optimal dengan puisi yang diteladani melalui tahap nirokake. Dalam proses penciptaan baru, pencipta dipersilakan untuk melakukan “pelepasan diri dari fase meneladani kemudian memasuki fase kreatif” (hal. 117).

Dalam praktiknya, proses nambahi ini berlangsung dalam tiga tahap, yakni 1) menemukan rumusan tema/masalah dari contoh karya yang disukai, 2) membangun momentum puitik pribadi berpedoman pada contoh, dan 3) mencoba menuangkan momentum puitik yang dibangun ke dalam ungkapan puisi (hal 118).

“Momentum puitik” menjadi hal yang sangat menarik bagiku. Dalam buku Seni Mencipta Puisi ini, momentum puitik diartikan sebagai “percikan permenungan mengenai suatu peristiwa menarik dan bermakna yang dialami atau menjadi orientasi pikiran dan perasaan yang demikian mendesak untuk diwujudkan menjadi puisi” (hal 118). Bisa dibilang, momentum puitik inilah yang menjadi inspirasi utama dalam mencipta puisi.

Dikatakan lebih jauh, momentum puitik bukanlah cerita melainkan untai peristiwa kecil yang memiliki luapan besar. Artinya, momentum puitik bisa saja datang dari kejadian atau masalah biasa, yang tiba-tiba menjadi inspirasi karena dianggap bernilai oleh pencipta puisi itu sendiri. Adapun momentum puitik itu terjadi dari interaksi intensif batik dan fisik antara penyair dengan masalah yang ia hadapi.

Pembelajaran dari buku Pak Iman Budhi Santosa ini membawaku pada simpulan bahwa mencipta puisi bukan soal gampang. Mencipta puisi yang bagus tak lagi sekadar mendapat inpirasi atau ilham, lalu langsung menuliskannya dengan bahasa yang cantik. Ada ketekunan, kecermatan, dan kesungguhan dalam proses mengamati, mengolah, dan mencipta.

Sebagaimana diungkapkan Pak Iman Budhi Santosa dalam bukunya, proses mencipta puisi maupun ragam karya sastra lain “memerlukan kecerdasan verbal, intra dan interpersonal, serta kecerdasan lainnya”. Kecerdasan itu bahkan perlu ditunjang “kepekaan pribadi, wawasan yang luas, kemampuan berbahasa, kemampuan berpikir, dan kesabaran yang cukup” (hal. 21).

Menarik memahami bahwa dalam mencipta puisi, seseorang perlu lihai dalam memanfaatkan momentum puitiknya. Dalam hal ini, momentum puitik tersebut diolah sedemikian rupa dengan melalui proses mencatat masalah, meneliti masalah (mengamati dengan saksama dan memadukan wawasan yang ada), menuliskan puisi, bahkan melalui revisi demi kesempurnaan.

Sungguh menarik memahami bahwa proses kreatif mencipta puisi ternyata tidak semudah itu. Ada proses kajian di dalamnya yang perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh, teliti, tekun, cermat, dan saksama.

Secara keseluruhan, buku Seni Mencipta Puisi karya Iman Budhi Santosa ini mampu membantu peminat sastra yang ingin belajar mencipta puisi. Penyampaiannya begitu lugas, dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.

Penulis juga menyampaikan materi berulang-ulang, kurasa (selain untuk mengejar tebal halaman) untuk memudahkan pembaca dalam mengingat materinya. Ada pula sejumlah contoh hasil dari setiap proses pada metode 3N yang sangat menarik untuk disimak.

Aku jadi tak sabar untuk mencoba mempraktikkannya. Saatnya melatih kepekaan untuk menemukan momentum puitikku ah!

--

--