Biola Tak Berdawai, Sebuah Roman dari Tubuh dan Jiwa yang “Bicara”

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
3 min readMar 30, 2021

“Tanpa dawai, bagaimanakah biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh dan suara itulah jiwanya — tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai…”

Prolog di atas membuka tabir kisah roman Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma yang terbit tahun 2004. Prolog itu menggambarkan bahwa biola tanpa dawai dapat dikatakan nirguna dan tubuh manusia yang tak bisa menampakkan jiwa sama halnya dengan biola tak berdawai tersebut.

Seno kemudian melanjutkan prolog itu dengan membalikkan keadaan. Katanya, berbeda dengan biola yang tak berdawai, tubuh manusia yang hidup tanpa mampu menjadi dawai atau perantara jiwanya, masih tetap menyimpan jiwa itu di dalamnya. Dengan demikian, maka mereka yang tunadaksa tak sekonyong-konyong menjadi seonggok darah dan daging semata. Mereka tetap berjiwa dengan segenap keutuhannya dan merupakan makhluk yang juga sempurna.

Novel Biola Tak Berdawai mengisahkan kehidupan kaum tunadaksa melalui kacamata seorang anak bernama Dewa. Dikisahkan Dewa sebagai anak berusia delapan tahun yang telah menjadi penyandang tunadaksa (dalam KBBI berarti cacat tubuh) sedari lahir. Ia tunawicara, memiliki kelainan sistem peredaran darah dan kecenderungan autistik.

Ketika berusia dua hari, Dewa diserahkan orang tuanya ke sebuah panti asuhan bernama Rumah Asuh Ibu Sejati yang berada di Kotagede, pinggiran Kota Jogja. Sejak usia yang masih sangat muda tersebut pun Dewa dirawat oleh Renjani. Renjani sendiri adalah seorang perempuan berusia tiga puluhan yang mendirikan Rumah Asuh Ibu Sejati sebagai panti asuhan khusus anak-anak tunadaksa. Renjani mengurus rumah asuh itu bersama dengan seorang dokter bernama Mbak Wid.

Biola Tak Berdawai memainkan kisah Dewa yang mendapatkan kasih sayang begitu sempurna dari Renjani. Mengambil sudut pandang Dewa, novel ini berkelindan pada kisah kasih ibu dan anak asuhnya yang tampil begitu mengharukan. Bisa dibilang, novel ini seolah menjadi sebuah ungkapan perasaan kasih Dewa kepada Renjani yang tidak bisa ia sampaikan langsung karena keterbatasan fisiknya. Di dalamnya, Dewa bicara mengenai perasaannya, tanggapan-tanggapannya, serta harapan-harapannya terhadap Renjani dan kehidupan secara keseluruhan.

Karakter di dalam Biola Tak Berdawai tidak banyak jumlahnya. Tokoh utama yang kisahnya dikupas perlahan di sini ada Renjani, Dewa, dan Mbak Wid. Di tengah perjalanan, muncul tokoh Bhisma sebagai lelaki muda pemain biola yang juga tak kalah penting artinya bagi kehidupan Dewa dan Renjani.

Roman Biola Tak Berdawai awalnya merupakan sebuah film yang ditulis dan disutradarai oleh Sekar Ayu Asmara. Film yang memenangkan sejumlah penghargaan tersebut kemudian dialihwahanakan menjadi sebuah buku bacaan dengan judul yang sama.

Bagiku, Seno menuliskan Biola Tak Berdawai dengan begitu apik dan kaya. Setiap bab dituliskan dengan rinci dan indah, membawa setiap pembaca mampu memproyeksikan visual kisah tersebut dalam benaknya. Bagiku yang belum pernah menonton film Biola Tak Berdawai, versi novel ini berhasil membuat pembaca seolah menonton film itu sendiri.

Kisah dalam novel ini tergambar melalui kata-kata yang romantis dan menggugah. Seno menunjukkan kepiawaiannya menulis dengan turut menggabungkan roman dengan epos Mahabharata. Cuplikan kisah Mahabharata turut hadir pada beberapa bab di novel ini. Tak sekadar menjadi tambahan, cuplikan epos tersebut pada dasarnya memiliki benang merah tersendiri pada kisah hidup Renjani, Dewa, Mbak Wid, dan Bhisma.

Meski buku ini terbilang tipis, aku membutuhkan waktu sebulan membacanya. Bukan karena aku lambat membaca atau ceritanya buruk, melainkan lebih karena aku membaca buku ini ketika pikiran sedang tidak “kosong” (aku biasanya mengosongkan pikiran sebelum membaca buku agar bisa fokus dan terlarut oleh isi buku tersebut). Selain itu, awalnya aku merasa terseret-seret ketika membaca buku ini, justru karena kata-kata yang diindah-indahkan dan panjang-panjang.

Jadilah kemudian aku membaca buku ini sembari membagi waktu dengan aktivitas lain. Kadang kala hari-hari berlalu tanpa aku melanjut membaca novel ini.

Meski begitu, kisah Dewa dan Renjani ternyata sudah begitu menyangkut di pikiranku sehingga aku kemudian bisa lanjut membaca buku ini di hari-hari berikutnya, tanpa kehilangan kisah yang kubaca di hari-hari terdahulu. Mungkin beberapa ada yang sempat terlupa, tetapi ketika aku kemudian mulai lanjut membaca lagi, perlahan bagian yang terlupa bisa teringat begitu saja tanpa harus membaca ulang.

Sekali lagi, Seno memanjakan mata, hati, dan pikiranku. Kali ini dengan kisah kasih yang mengharukan sekaligus memilukan. Untungnya, akhir roman ini bisa dibilang cukup membahagiakan. Epilognya pun menjadi sebuah curahan hati Dewa yang terasa begitu tulus, menampar, sekaligus melegakan.

Mungkin selanjutnya aku perlu melengkapi kesan pembacaan novel ini dengan menonton filmnya.

--

--