Campur Sari Bahasa Sendiri

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readFeb 19, 2021
Foto oleh Kaizen Nguyễn di Unsplash

“Bahasa menunjukkan bangsa”. Peribahasa klasik satu ini mungkin bisa kita maknai secara sederhana bahwa bahasa yang digunakan seseorang menunjukkan identitasnya.

Keberadaan khazanah bahasa daerah yang begitu beragam di Indonesia menunjukkan identitas negeri ini sebagai sebuah bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Adapun bahasa daerah ini kemudian memiliki bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dengan demikian, semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersirat di dalamnya.

Bahasa menunjukkan bangsa juga mengartikan bahwa kemampuan tutur kata bisa menggambarkan karakteristik seseorang. Tutur kata yang baik, tertata, lembut, dan sopan konon menggambarkan pribadi manusia yang berbudaya dan berpendidikan (atau penipu ulung/seorang manipulatif). Sementara tutur kata yang kasar dan berantakan konon menggambarkan pribadi manusia yang kurang terdidik dan tidak berbudi (atau mungkin seorang yang jujur, apa adanya).

***

Aku tidak tahu persisnya sejak kapan orang Indonesia mulai berbicara menggunakan bahasa campuran. Bahasa campuran ini bisa bahasa Indonesia campur bahasa daerah, bisa juga campur bahasa asing. Satu hal yang jelas, fenomena ini sudah berlangsung lama sekali, bahkan pastinya sejak sebelum aku lahir.

Ivan Lanin, seorang wikipediawan pencinta bahasa Indonesia, menyebutkan fenomena pencampuran penggunaan bahasa dalam berbicara sebagai bentuk alih kode (code switching). Dalam alih kode ini, yang kini lebih sering terjadi adalah pencampuran bahasa dalam satu kalimat percakapan atau diistilahkan sebagai campur kode (code mixing).

Biasanya, campur kode ini terjadi karena pengguna bahasa merasa tidak menemukan padanan kata yang tepat. Aku sendiri cukup sering melakukan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Bali. Biasanya memang karena ada beberapa kata dalam bahasa Bali yang belum kutemukan padanan kata bahasa Indonesianya yang tepat.

Jika aku berbicara dengan sesama orang yang memahami bahasa Bali, tentu ini tidak menjadi masalah. Namun, bagaimana jika dengan orang yang tidak memahami itu? Tentu aku malah jadi harus menjelaskan kata tersebut dengan bahasa Indonesia yang lebih panjang lagi.

Kebiasaan campur kode dalam berbicara ini bukan tidak menimbulkan masalah. Permasalahan utama dalam campur kode ini tentunya adalah ketidakpahaman dan kesalahpahaman. Terutama untuk bahasa daerah, ada saja kata yang sama tetapi memiliki arti berbeda.

Misalnya kata “cicing”. Bagi orang Bali, cicing artinya anjing, sementara bagi orang Sunda, cicing artinya diam. Jika orang Sunda menyebut cicing di depan orang Bali maka si orang Bali pasti mengiranya si orang Sunda sedang mengatainya anjing.

Selain tidak menemukan padanan kata yang tepat, ada lagi alasan lain seseorang melakukan campur kode (terutama dengan bahasa asing). Alasan tersebut adalah keinginan untuk menunjukkan identitasnya (ingat bahasa menunjukkan bangsa). Adapun identitas yang dimaksud adalah strata kelas sosial yang lebih tinggi karena mampu belajar bahasa asing atau bergaul dengan orang asing.

Fenomena campur kode dengan alasan tersebut, misalnya, terjadi pada era penjajahan Belanda. Beberapa cendekiawan yang berkesempatan mengenyam pendidikan di sekolah Belanda biasanya akan sering berbicara campur kode bahasa Indonesia-Belanda.

Kurasa, alasan tersebut juga lah yang lebih banyak mengisi kepala manusia zaman sekarang. Kita tentu tahu, beberapa tahun belakangan, fenomena campur kode di Tanah Air paling sering terjadi antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang dikenal sebagai bahasa internasional semakin merasuk ke percakapan sehari-hari kita. Anak-anak, dewasa, muda, tua, lelaki, perempuan, semuanya berlomba-lomba berbicara dengan bahasa Inggris.

Sebagai seorang penulis yang fokus pada bahasa Indonesia, aku sebenarnya tidak (terlalu) punya masalah dengan campur kode bahasa Indonesia-Inggris. Aku pun tidak (terlalu) punya masalah dengan orang Indonesia yang kerap berbicara bahasa Inggris dengan sesama orang Indonesia lainnya.

Hanya saja, aku terbiasa mencari padanan kata bahasa Indonesia terlebih dahulu sebelum bicara atau menulis (sebab pekerjaan menuntutku demikian). Hal tersebut selalu membantuku untuk tetap bisa berbicara atau menulis bahasa Indonesia secara utuh. Jika kemudian ada orang yang tidak paham dengan padanan kata yang kupakai, aku bersedia menjelaskannya (misalnya “gawai” sebagai padanan kata “gadget” atau “swafoto” sebagai padanan kata “selfie”). Hitung-hitung, aku juga memperkaya khazanah bahasa Indonesia lawan bicara.

Ada yang menyebutkan bahwa fenomena alih dan campur kode ini bisa dilatarbelakangi oleh pencampuran budaya atau sejarah. Misalnya orang Amerika keturunan Spanyol yang akhirnya berbicara campur bahasa Inggris dan Spanyol (Spanglish) atau orang Singapura yang pernah dijajah Inggris akhirnya bicara campur bahasa Mandarin dan Inggris (Singlish). Contoh lainnya ya orang India yang merupakan jajahan Inggris juga.

Apa yang semakin sering terjadi di Indonesia (atau mungkin di Jakarta saja ya?) kemudian adalah orang-orang yang berbicara menggunakan campur kode bahasa Indonesia-Inggris seenaknya. Mereka berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang dicampurkan dengan bahasa Inggris dalam satu kalimat. Mungkin menggunakan bahasa Inggris untuk satu atau dua kata saja tidak jadi masalah, tapi kalau sudah lebih? Aku sendiri merasa geregetan mendengarnya.

“Actually, aku berharap we all agree dengan kesepakatan ini ya”

I honestly can relate dengan kejadian yang kamu alami. Let’s support each other mulai sekarang ya!”

I spent my childhood di Amerika sih. Then aku kerja di oil and gas company di Abu Dhabi for about five years sebelum aku finally back to Jakarta”.

Mendengar percakapan seperti itu, jujur saja aku merasa geregetan. Bukan karena aku tidak mengerti artinya akibat kemampuan bahasa Inggrisku yang pas-pasan, melainkan karena aku masih merasa orang yang bicara demikian terlalu banyak gaya.

Menurutku, orang yang berbicara campur sari seperti contoh di atas kemungkinan besar adalah orang yang malas atau tidak konsisten. Mereka malas mencari padanan kata bahasa Indonesianya atau tidak bisa konsisten memilih ingin bicara menggunakan bahasa apa.

Kebiasaan melakukan hal tersebut juga menunjukkan identitas seseorang yang kemampuan bahasanya justru tidak bagus-bagus amat karena tidak bisa berbicara dalam satu bahasa yang baik secara berkesinambungan.

Aku sulit menganggap orang yang melakukan campur kode berlebihan sebagai seorang poliglot. Sebab, aku masih memandang bahwa seseorang yang keterampilan berbahasanya tinggi akan terbiasa bicara dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, dan konsisten.

Meskipun demikian, aku ingin sekali memahami alasan yang melatarbelakangi orang berbicara dengan cara seperti itu. Mungkin dia tidak memahami satu bahasa secara utuh sehingga bicara harus dicampur aduk? Mungkin dia seorang blasteran atau punya ikatan sejarah dengan Inggris? Mungkin dia memang tidak tahu padanan katanya dalam bahasa Indonesia? Mungkin dia memang lulusan luar negeri? Mungkin dia memang nilai bahasa Inggrisnya seratus? Dan mungkin mungkin lainnya?

Lagi-lagi, bahasa menunjukkan bangsa. Campur kode Indonesia-Inggris ala generasi sekarang ini mau menunjukkan bangsa yang bagaimana? Bangsa yang mementingkan gaya dan strata tinggi? Atau bangsa cendekiawan yang lihai bermain kata-kata? Atau….. apa lagi?

Atau mungkin kesimpulan dari semua ini, bisa jadi aku hanya iri karena aku tidak jago bahasa Inggris?

--

--