Canda Kopi

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
2 min readJan 30, 2021
Foto oleh 🇸🇮 Janko Ferlič di Unsplash

Kopi hitam yang berasap menemani kamu dan aku yang sedang duduk di kedai mungil terbuka pada suatu pojok Kota Kembang. Seperti biasanya, kamu sibuk menambah gula dan krim ke dalam cangkirmu. Sementara aku hanya sibuk menghirup wangi pahit dari cangkirku.

Selagi kamu mengaduk-aduk kopi dan memastikan gula dan krimnya tercampur rata, aku mulai mencoba menyesap kopi pahitku. Kedua tanganku mengukup menadahi cangkir, tak peduli seberapa panas. Selesai menyesap pahitnya kopi, aku menelannya dan tak sengaja mengeluarkan suara yang menandakan betapa segar dan sedapnya kopi yang kuminum ini.

“Melihatmu yang seperti ini, selalu membuatku ingin menciummu”

“Aku yang “seperti ini” seperti apa maksudmu?”

“Begitu manisnya menyesap kopi dan begitu menikmatinya saat menelan kepahitan”.

“Apa yang menarik dari itu?”

“Kamu.”

“Berlebihan.. Aku merasa geli.”

“Kok kamu tidak tertawa kalau benar geli”

“Aku mau muntah”

“Kopimu tidak enak?”

“Responsmu yang tidak enak”

Setelah mengucap itu aku tertawa. Aku sengaja tertawa sekencang-kencang agar kamu tahu bahwa aku sedang bercanda. Kamu yang awalnya terpaku pun ikut tertawa dan akhirnya malah ngakak sendiri tanpa berhenti.

“Syukurlah kamu masih bisa diajak bercanda”.

“Ya tentu bisa dan selalu bisa. Kapan aku tidak bisa kamu ajak bercanda? Bahkan saat aku ingin benar-benar serius denganmu dan kamu menanggapinya dengan bercanda pun, aku jadi ikut bercanda lagi”.

Sekarang dia tertawa semakin keras. Aku jadi sendirian yang terpaku tanpa tahu harus merespons apa. Dasar sial. Memang dasarnya dunia ini sekarang sudah tidak bisa diajak bercanda.

Untung aku masih punya kopi pahit untuk kuajak bercanda sepenuhnya.

--

--