Catatan 2020

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readDec 31, 2020
Foto oleh Immo Wegmann di Unsplash

Akhir tahun selalu menjadi sebuah momentum bagi semua orang untuk berkumpul bersama orang terdekat. Saat berkumpul, kita biasanya membicarakan yang sudah lewat dan mengumpulkan harap untuk yang akan datang.

Kebanyakan orang di tengah malam akan ingar bingar merayakan tahun yang berganti dengan menyalakan kembang api atau petasan dan meniup terompet. Sebagian lainnya merayakan dengan hening, cukup mengucap doa untuk menyampaikan rasa syukur dan permohonan-permohonan.

Hari ke 31 di bulan 12 menjadi hari terakhir di tahun 2020. Hari ini diharapkan menjadi hari terakhir bagi kita menghadapi kejutan-kejutan yang menyakitkan. Rasa-rasanya, semua orang sudah menanti hari ini berakhir dengan harapan semua kejutan menyakitkan dan penderitaan yang datang di tahun ini hilang bersama dengan berakhirnya tahun 2020.

2020 menjadi tahun yang menarik bagiku. Cukup banyak hal yang aku alami di tahun ini. Apa yang kualami pun tidak bisa kubilang biasa saja. Semuanya menarik. Beberapa ada yang menyiksa, tapi pada akhirnya semua bisa kusyukuri.

Awal tahun 2020 kuhadapi dengan kejutan lucu. Hari pertama di tahun ini akhirnya aku mengalami lagi kebanjiran di ibu kota. Meski banjir tidak sampai masuk ke rumah, kejadian ini terbilang memberikan kesan tersendiri untukku dan keluarga.

Rencana awalnya, aku akan berkumpul bersama keluarga di rumah dan pesta makan sate babi bersama di hari pertama tahun 2020. Mengingat kami tidak bisa berkumpul di malam akhir tahun, kami pun memilih tidur saja untuk melewati pergantian tahun.

Hujan turun deras sedari tengah malam, kami sekeluarga di rumah cukup menyadari hal itu. Namun demikian, kami tidak berpikir bahwa hujan itu akan menyebabkan banjir yang ternyata cukup besar.

Pagi hari tanggal 1 Januari 2020, aku dan Alfons terbangun karena kegerahan akibat listrik mati. Seperti hari-hari biasanya, aku pun langsung menuju ke pintu depan untuk membuka kunci gembok. Saat membuka, aku menemukan jalan depan rumah sudah tergenang air.

Karena hal itu sudah pernah terjadi berkali-kali, aku pun masih menganggap itu biasa saja. Sampai akhirnya menjelang tengah hari, kami menyadari genangan air tidak surut dan listrik masih belum menyala. Padahal, biasanya genangan air cepat surut lagi. Listrik mati pun tak pernah selama ini.

Kami sekeluarga pun akhirnya iseng jalan ke depan komplek suntuk melihat keadaan sekitar. Ternyata oh ternyata, banjir sudah hampir rata di seluruh kompleks permukiman kami. Ketika kami mencapai ujung blok rumah, sudah banyak orang yang nyeker melintasi banjir. Tak seperti biasanya, motor dan mobil jarang terlihat berlalu lalang.

Usut punya usut, banjir itu ternyata bukan banjir sepele. Sebab, kampung terdekat dari permukiman kami konon terendam banjir hingga setinggi dua meter. Jalan di sekitar gereja di kawasan permukiman kami pun terendam banjir hingga setinggi pinggang. Penyebab banjir ini katanya adalah bendungan yang jebol di daerah dekat perumahan kami.

Hal tersebut membuat akses kami untuk keluar masuk kompleks menjadi terputus. Jika ingin keluar masuk kompleks, kami harus menggunakan perahu karet, itu pun hanya untuk keperluan penting sekali.

Selama seharian penuh, kami tidak bisa keluar kompleks. Listrik pun tidak menyala. Air bersih di penampungan kami juga ternyata terkena luapan air got sehingga menjadi keruh bahkan kotor sekali.

Di saat-saat seperti ini, kami mulai khawatir stok makanan yang ada di kulkas rusak. Ibu pun akhirnya memilih untuk mulai memasak sejumlah bahan makanan yang mungkin akan segera rusak. Beliau memasak dalam kegelapan, hanya ditemani lilin kecil. Terasa begitu kudus.

Tak hanya sehari, mati lampu di rumah ternyata berlangsung selama tiga hari penuh. Hal itu terjadi karena banjir tinggi di perkampungan sekitar belum surut sehingga PLN terpaksa harus mematikan listrik di gardu terdekat. Lebih sialnya lagi, gardu utama kompleks kami ternyata rusak.

Jadilah selama tiga hari kami gelap-gelapan dan panas-panasan. Kami mencari bahan makanan dengan jalan kaki menerjang banjir (sebab motor hanya bisa melewati beberapa kawasan kering yang terbatas sekali).

Beberapa kali aku dan Alfons mencoba berkeliling naik motor untuk mencari akses keluar kompleks demi bisa membeli bahan makanan, lilin, dan bensin. Setelah beberapa kali buntu, akhirnya di hari kedua kami menemukan jalan yang sudah surut.

Salah satu hal yang paling sulit kami hadapi ketika kebanjiran di awal tahun 2020 adalah sinyal internet yang ikut-ikutan mati di dalam rumah. Kami jadi kesulitan mengontak keluarga yang berbeda rumah dari kami. Kami pun harus berjalan agak jauh keluar blok untuk mendapatkan sinyal ponsel yang juga empot-empotan.

Tantangan selanjutnya tentu perihal baterai ponsel yang tidak bisa bertahan lama dan sayangnya tidak bisa diisi karena listrik mati. Setelah dua hari terjebak banjir dan mati lampu, kakak tertua datang. Dia menerjang banjir sepinggang demi bisa membawakan kami beberapa powerbank. Syukurlah. Terima kasih kakakku!

Listrik akhirnya menyala di hari keempat. Banjir pun sudah surut di beberapa titik yang vital. Kami sudah bisa naik motor untuk berkeliling melihat situasi sekitar. Kami sempat melewati jalan besar dan menemukan bahwa sejumlah gang dan perkampungan masih terendam banjir sepaha. Di saat-saat begitu, keceriaan anak-anak bermain air tetap terlihat dan terasa begitu menghibur.

Sialnya, ketika listrik sudah menyala, kami akhirnya mendapati kulkas kami rusak. Alhasil, banjir awal tahun ini memaksa kami untuk membeli kulkas baru. Lumayan lah baru masuk tahun 2020, sudah keluar uang sekian juta. Untung uangnya ada.

***

Itulah awal tahun 2020ku. Aku tidak menyangka bahwa banjir awal tahun 2020 itu baru menjadi permulaan dari berbagai kejutan lainnya yang terjadi sepanjang tahun. Aku tidak menyangka bahwa banyak hal yang kukutuk dan akhirnya kusyukuri di sepanjang 2020.

Ada banyak kematian tokoh besar di tahun ini. Ada banyak bencana alam terjadi di tahun ini. Konflik sosial dan demonstrasi karena isu kritis pun begitu ramai di 2020. Skandal artis juga bermunculan di dekade ini.

Satu hal buruk yang paling parah adalah pandemi Covid-19 yang ternyata membawa perubahan kehidupan yang signifikan untuk manusia di dunia. Aku mengalami tantangan yang cukup berat selama pandemi ini. Alfons terjebak di luar kota selama hampir 6 bulan. Aku dan Alfons pun harus dipecat dari pekerjaan masing-masing. Beberapa kali juga sejumlah perlengkapan di rumah ternyata rusak dan aku harus mengurusinya sendiri.

Meski begitu peliknya hari-hari dalam dekade satu ini, ternyata tetap ada banyak hal yang bisa kusyukuri. Keponakanku lahir dalam keadaan sehat. Tak beberapa lama berselang, iparku yang kedua hamil lagi. Alfons pun bisa pulang dalam keadaan sehat, tanpa kekurangan apa pun. Memasuki bulan sembilan, aku mendapatkan buku foto Marilyn Manson seharga satu juta lebih tanpa bayar. Aku masih bisa membantu kakak pertamaku pindahan dan membantu kakak keduaku mengecat kamarnya. Aku juga masih bisa merayakan ulang tahun, natal dan tahun baruan bersama keluarga terdekatku. Masih banyak lagi lah!

Dari semua itu, hal yang paling aku syukuri adalah kami sekeluarga bisa keluar dari tahun 2020 dalam keadaan sehat. Kami juga masih bisa saling berkabar satu sama lain. Beberapa kali kami masih bisa berjumpa. Aku pun masih bisa waras meski beberapa bulan di awal pandemi ini sempat terserang gangguan kecemasan dan perubahan suasana hati.

Terima kasih 2020.

Bermurah hatilah 2021.

--

--