Catatan Perjalanan

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readJan 1, 2021
Foto oleh Lopez Robin di Unsplash

Pukul setengah sembilan pagi memanggil. Hari ini aku bangun cukup kesiangan karena semalam terlampau asyik mendengarkan musik sambil membaca buku. Kebetulan kamar tidur yang kutempati memang memiliki rak buku yang menawarkan banyak sekali bacaan menggoda. Aku jadi keenakan deh!

Segera usai mengusap mata yang sedikit belekan, aku merapikan rambut, memakai kacamata dan mengecek ponsel. Tidak ada notifikasi apa pun di sana. Sesuai seperti yang kubayangkan. Sebab memang, aku tidak berkabar pada siapa-siapa jika aku sedang keasyikan di sini.

Tepat pukul sembilan, aku menuruni tangga menuju ruang makan. Meja makan menyambut dengan menu khas Indonesia tergelar. Ada lima masakan dalam menu hari itu. Tumis pare, teri goreng kering, rendang, daun singkong kuah santan, dan kari telur. Semuanya sudah cukup kedinginan karena ya itu tadi, aku bangun kesiangan.

Sang juru masak menghampiriku. Ia adalah seorang perempuan berusia menjelang 60 tahun yang sudah lihai memasak sejak masih belia. Beliau memberitahuku bahwa kemampuan memasaknya didapatkan dari sering membantu ibunya memasak apa saja sejak kecil. Memasuki usia 13 tahun, ia konon sudah sepenuhnya menjadi juru masak di rumah orang tua karena semua resep rahasia keluarga sudah dikuasainya. Cerita itu tentu membuatku sama sekali tidak bisa meragukan kualitas masakan di tempat ini.

Berbeda dari hotel kebanyakan, di sini makanan yang ingin kamu makan tidak dihidangkan sesuai pesanan. Kamu akan memakan apa saja yang dimasak oleh juru masak di hari tersebut. Enaknya, kamu bisa mengambil sendiri makanan tersebut, sepuasnya sesuai kebutuhan dan seleramu. Tidak ada biaya jika kamu nantinya ingin nambah tiga kali.

Aku mengambil nasi panas dari penanak nasi. Mencedok semua menu masing-masing dua sendok. Mungkin terkesan maruk dan tidak nyambung, tapi ya namanya lapar dan ngiler sudah jadi satu. Mau bilang apa lagi?

Sebelum mulai makan, aku sempatkan mengambil segelas air dingin untuk membantu kalau-kalau tenggorokan seret akibat terlalu semangat makan. Setelahnya, aku duduk manis di depan masakan yang luar biasa menggoda itu.

Luar biasa!

Sedap betul!

Itulah kata-kata yang kuucapkan berulang-ulang di dalam hati saat menikmati suapan pertama. Meski penampilan makanannya sangat sederhana, rasanya tiada banding. Cita rasa ala rumahan yang begitu nikmat. Menyantapnya membuatmu selalu teringat pada kehangatan kasih ibu yang setia pada keluarganya.

Puas menyantap makanan, aku kembali ke kamar. Sebuah kamar yang sangat sederhana, seperti kamar tidur biasa tetapi sangat nyaman. Kamar itu memiliki fasilitas yang menurutku cukup lengkap meski kamar mandi tidak menyatu dengannya. AC sudah terpasang di dalamnya. Tempat tidurnya berukuran queen dan cukup empuk. Ada dua meja kerja tersedia.

Walaupun tidak ada televisi, aku bisa tahan berjam-jam di kamar itu karena terdapat rak kayu yang begitu penuh sesak terisi buku. Ada buku yang memancing tawa, menggugah inspirasi, menggoda romantika, hingga meledakkan amarah. Saking penuhnya rak buku itu, aku merasa berada di kamar ini selamanya pun tak akan cukup untuk kita mencoba membaca habis seluruh buku yang ada di situ.

Kadang kala, membaca buku membuat otakmu kaku. Apalagi jika buku yang kamu baca adalah buku karangan penulis besar yang memang senang memanipulasi kata dan pikiran. Untuk merenggangkan kekakuan itu, aku biasanya mencari penyegaran dengan mendengarkan lagu. Untungnya, kamar yang kutempati menyediakan pemutar piringan hitam. Koleksi piringan hitamnya pun menarik dan cukup banyak yang klasik. Misalnya Queen, Bee Gees, Beach Boys, Dr. Hook, dan The Beatles.

Sembari menikmati alunan musik, aku juga suka meluangkan waktu untuk menyelaraskan arus pikiranku dengan gerakan tangan. Keselarasan itu aku capai dengan cara menulis.

Mengikuti perkembangan zaman yang menuhankan teknologi, aku pun menyiapkan komputer jinjing untuk membantuku menulis, selagi tetap mengutamakan buku tulis. Jadilah aku bisa meniti waktu hingga setengah hari untuk menulis saja.

Aku menuliskan apa saja. Bahkan ketika otak kosong pun, aku tetap menulis agar merasa berarti. Ada perasaan bersalah jika aku tidak melewati satu hari tanpa menulis. Entah kenapa bisa begitu ya?

Sesekali aku keluar dari kamar untuk menikmati fasilitas yang ada. Televisi terdapat di ruang tengah di lantai 1. Televisi 43 inci itu berisi banyak saluran tontonan, baik itu TV lokal maupun streaming seperti Netflix. Aku biasanya nongkrong di situ selepas pukul 13.00 sampai sore hari. Di sana, aku akan meluangkan waktu 2 jam untuk menonton film, lalu kemudian menonton acara kuliner dan jalan-jalan di salah satu TV swasta lokal.

Beranjak ke luar bangunan, aku menemukan taman mungil yang lumayan rindang. Keasrian taman itu membuat hawa di tempat ini terasa sangat sejuk. Aku gemar menjemur diri di sana sebelum tengah hari. Sementara sebelum senja, aku menyempatkan diri untuk duduk di taman itu, menikmati angin sepoi-sepoi. Terkadang juga sembari membaca buku atau sekadar bersantai ditemani seekor anjing kecil yang dimiliki empunya tempat ini.

***

Tahun 2020 ini, hanya sedikit manusia yang bisa melakukan perjalanan. Karenanya tulisan perjalanan menjadi begitu sepi dan menyendiri di pojokan. Hari ini aku berencana membuat tulisan perjalanan tanpa harus beranjak ke luar rumah.

Ternyata, berada di rumah pun bisa menjadi sebuah perjalanan itu sendiri. Setiap hari, meski dengan rutinitas yang ada, tetap ada kenangan baru yang numpang hadir di pikiran dan perasaan.

Aku harap semua orang bisa melakukan perjalanan di rumahnya sendiri.

--

--