Cinta Pertama Bikin Perkara (First Love-Netflix)

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
8 min readDec 15, 2022
Sumber foto: Netflix.

Mendaratnya aku pada film romantis satu ini tentu menjadi sebuah kejadian yang cukup langka. Pasalnya, aku paling sulit punya minat nonton film manis-manis, apalagi dalam format serial.

Alasan utama aku menonton film ini, tak lain dan tak bukan, tentu saja Takeru Satoh. Dengan adanya Takeru Satoh di sebuah film, besar kemungkinan aku akan menyaksikannya. Aku selalu tertarik menyaksikan jangkauan kemampuan seni peran Takeru Satoh di berbagai film. Apalagi tampangnya memang sangat memanjakan mata ya.

Selain itu, film ini mengambil ide cerita berdasarkan lagu hits Utada Hikaru — First Love. Lagu satu itu tentu sangat familier di telingaku sebagai anak 90-an. Meski tidak pernah paham arti lirik lagunya, aku bisa kecantol dengan lagu ini karena suara Utada Hikaru memang enak, musiknya pun seperti bisa bercerita tanpa harus kita ngerti kata per katanya.

Jadilah di tanggal 22 November 2022, ketika filmnya baru rilis di Netflix, aku langsung mencoba menonton. Hari perdana itu, aku menonton 3 episode. Hari berikutnya, filmnya langsung kutonton sampai habis. Memang kurang kerjaan saya ini.

Sudah terlihat jelas lah ya dari judulnya, film seri terbaru Jepang di Netflix ini bercerita tentang cinta pertama. Namiki Harumichi (diperankan Takeru Satoh) merupakan cinta pertama Yae Noguchi (diperankan Hikari Mitsushima yang menggemaskan!). Mereka berjumpa di masa SMA, menjalin cinta, lalu kandas karena Yae kecelakaan dan lupa ingatan (agak sinetron ya premisnya).

Dorama romantis ini terbagi atas 9 episode, dengan durasi sekitar 50 menitan lah dengan kredit. Secara garis besar, film ini sangat manis dan tidak membosankan (namun, kuakui aku masih sering mempercepat beberapa adegan yang kurasa tidak menarik). Para pemainnya memanjakan mata sekali. Rata-rata menggemaskan. Hahaha!

Alur cerita

Dari segi alur cerita, First Love menawarkan kisah cinta dengan pola maju mundur. Setiap episode selalu ada menampilkan kilas balik dari berbagai rentang waktu, mulai dari masa SMA si tokoh utama, masa kuliah, masa kerja, masa ketika masing-masing bersama pasangan baru, sampai dengan masa sekarang.

Kiri: masa SMA, Kanan: masa dewasa. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Menariknya, film ini tidak menjelaskan latar cerita secara runut di awal. Semua momen-momen penting yang menjadi jawaban dibuka pelan-pelan secara acak di setiap episode. Penonton seperti diberikan jawaban tiba-tiba, tanpa sempat sadar bahwa sedang penasaran. Selama menonton sih, aku jarang bingung kenapa begini kenapa begitu ya.

Satu-satunya saat aku bingung adalah ketika melihat Yae dewasa kok tidak kenal dengan Namiki saat mereka ketemu lagi di suatu kesempatan. Jawabannya pun diberikan di episode 3 atau 4 kalau tidak salah. Ternyata Yae lupa ingatan (aku langsung merasa ‘meh, kok kayak sinetron gini’.. ahaha)

Film ini menampilkan pertukaran rentang waktu dengan cukup apik dan cepat. Seperti tidak ada jeda, misalnya saat kamu sedang menonton Namiki di hari ini, tahu-tahu tersambung dengan Namiki di masa SMA.

Sejumlah adegan bahkan dibuat seperti terhubung. Misalnya ada adegan saat Yae dewasa sedang mencoba sweater baru yang dibelikan putranya. Ketika Yae sedang berputar untuk bergaya di depan cermin, tiba-tiba adegan berubah menjadi Yae di masa SMA yang juga sedang bergaya di depan cermin, mencoba baju untuk acara kencan pertamanya dengan Namiki.

Dua adegan ini hanya beda sepersekian detik. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Aku juga sangat suka dengan bagaimana pembuat film menggambarkan sejumlah kejadian di masa sekarang ternyata juga merupakan kejadian penting yang berhubungan atau serupa di masa lalu. Ada yang terlihat seperti sebuah memori lama yang terulang di masa depan. Ada pula yang terlihat sebagai sebuah respons dari kesalahan masa lalu yang ingin diperbaiki di masa sekarang.

Misalnya saat Namiki dewasa tiba-tiba berlari kalang kabut untuk mencari Yae yang tengah mencuci baju di binatu. Saat sampai di sana, Yae tertidur dan Namiki menjaganya sampai terbangun. Kejadian itu merupakan bentuk respons memori Namiki yang teringat saat dulu Yae kuliah, pakaian dalam Yae pernah dicuri orang di binatu. Bisa dibilang, ini bentuk penebusan Namiki yang dulu tidak bisa berada di dekat Yae saat kejadian tersebut.

Namiki menjaga Yae yang tertidur di binatu. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Contoh lainnya ketika Yae dewasa terjatuh di tangga saat didorong penjahat di tempat Namiki bekerja. Namiki saat itu langsung sigap menolongnya dan terlihat sangat lega ketika mendapati Yae tidak apa-apa. Bagiku itu suatu respons alam bawah sadar Namiki yang merasa akhirnya berhasil menjaga Yae setelah dulu tidak bisa menyelamatkannya dari kecelakaan.

Tak hanya berfokus pada kisah Namiki dan Yae, First Love juga menarasikan kisah cinta Tsuzuru (diperankan Towa Araki) dengan Uta (Aoi Yamada). Tsuzuru adalah putra Yae Noguchi. Ia jatuh cinta pada Uta, seorang selebgram dan penari.

Namiki dan Tsuzuru. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Berkat Namiki, keduanya bisa bertemu dan menjadi dekat.

Namiki sering memberikan nasehat soal percintaan pada Tsuzuru. Mungkin dia melihat masa mudanya di situ dan ingin memastikan Tsuzuru tidak mengalami hal yang sama dengan dia. Kedekatan mereka ini yang akhirnya mempertemukan kembali Namiki dengan Yae.

Dari segi cerita, film ini sangat manis dan menawarkan optimisme. Ibaratnya, film ini sedang memberikan semangat pada orang-orang yang masih berharap bisa bersatu kembali dengan cinta pertamanya, meski telah berpisah sangat lama. Bahkan secara gamblang, film ini rasanya menyiratkan bahwa kalau jodoh ya tidak akan lari ke mana, meskipun kamu juga sudah tidak berusaha-berusaha amat.

Kenapa begitu?

Di mataku, si Namiki ini saat sudah tua juga cuma terlihat sebagai orang yang gagal “move on”, tapi ogah usaha. Pada episode terakhir, diceritakan bahwa ternyata Namiki sudah mengejar Yae sejak lama dan benar-benar merencanakan untuk bisa satu sekolah dan menjadi pacar Yae. Semua itu ia usahakan dan benar-benar terjadi. Semua sesuai rencana sampai dengan Yae kecelakaan dan lupa ingatan.

Setelah itu ya dia menjalani kehidupannya begitu saja. Saat bekerja bertemu dengan Tsunemi, seorang konselor, yang kemudian menjadi pacarnya. Tujuh tahun berpacaran dengan Tsunemi, tiap diajak ketemu orang tua, dia ragu. Akhirnya ketemu lagi dengan Yae, makin ragu lagi hatinya.

Menjelang episode penutup, Namiki akhirnya menyelesaikan hubungannya dengan Tsunemi. Itu pun Tsunemi yang mutusin. Setelah putus, Namiki malah cabut ke Norwegia untuk melupakan percintaannya. Padahal, di sisi lain, Yae yang masih amnesia, sudah mulai jatuh cinta lagi sama dia. Saat menyaksikan episode ini, mulut ini rasanya ingin maki-maki Namiki.

Ujung cerita, Yae dan Namiki bersatu kembali di Norwegia dan menjalani kehidupan berdasarkan mimpi masa muda mereka. Namiki jadi pilot, Yae jadi pramugari. Ini semua juga kejadian karena Yae memutuskan untuk menyusul Namiki. Coba kalau Yae milih move on lagi aja. Garuk peler aja itu Namiki jadinya di Norwegia.

Manusia kagak jelas maunya apaan. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Hal yang kusuka

Ada lah beberapa hal yang kusukai dari First Love (selain aktor-aktornya tentu). Aku suka visualnya, musiknya, dan penokohannya.

Juara pertama di hatiku adalah visualnya. Visual First Love bagus banget! Seperti anime hidup! Palet warnanya adem di mata, benar-benar ciri khas anime Jepang. Pengambilan gambarnya pun bisa mengaksentuasi emosi yang dibangun.

Banyak pengambilan sudut lebar dari jarak jauh yang membuat mata kita terbelalak dengan keindahannya. Rasanya seperti menonton sebuah lukisan pemandangan dari pelukis suhu. Gaya-gaya visual yang memang cocok untuk film drama romantis.

Beberapa visual yang cantik seperti anime di First Love. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Juara kedua adalah musiknya. Latar lagu utama dari Utada Hikaru mengalun di momen-momen yang menurutku sangat pas. Tidak berlebihan dan tidak kekurangan juga. Setiap lagu First Love mengalun, penonton seperti dibuai untuk ikut merasakan emosi manis-manis pedih, sembari bernyanyi dalam hati. Lagu-lagu lain juga terbilang asyik dan bisa mewakili setiap emosi dan kesan yang ingin disampaikan dalam adegan.

Juara ketiga adalah penokohan. Semua tokoh di dorama First Love punya karakter yang khas. Karakter itu dibawakan dengan apik oleh masing-masing aktornya. Aku paling suka dengan karakter Yae yang canggungan, yang kemudian menurun ke putranya, Tsuzuru.

Berbicara soal penokohan, mungkin aku agak kecewa dengan jomplangnya karakter Yae muda dengan Yae dewasa. Melihat perbedaan yang sangat jauh di antara aktris yang memerankan Yae muda dengan Yae tua membuatku terus protes dalam hati selama menonton.

Perbedaan perawakan Rikako Yagi dengan Hikari Mitsushima sangat jauh. (Sumber foto: Netflix).

Dari segi fisik, pemilihan aktor untuk tokoh ini terbilang kurang konsisten. Yae muda diperankan oleh Rikako Yagi yang tinggi semampai dengan rambut lurus, wajah agak penuh, dan bibir tebal. Sementara Yae dewasa diperankan oleh Hikari Mitsushima yang bertubuh mungil dengan wajahnya lancip dan berbibir tipis. Agak jauh bedanya antara perawakan Yae muda dengan dewasa.

Rasanya seperti melihat orang yang mudanya adalah Pevita Pearce dan tuanya adalah…. Aku. Menyusut, Mak! 😂

Pun dari segi gestur mereka terlihat tidak mirip. Cara bicara, cara bergerak, semuanya terlihat beda. Rasanya seperti melihat Yae tidak hanya kehilangan ingatan, tetapi juga bentuk fisiknya. Aku sebagai penonton merasa tidak diyakinkan bahwa Yae muda dan Yae dewasa adalah 1 orang yang sama.

Sebagai penutup, First Love manis buat mereka yang sangat mengagung-agungkan cinta. Buat mereka yang percaya cinta pertama itu penting. Buat mereka yang percaya cinta bisa menaklukkan segalanya.

Kalau buat aku… cinta bikin perkara… Ahahahaha!

Saat akan menonton First Love, aku tidak memiliki ekspektasi tinggi. Ketika menonton dan setelahnya, aku juga jadi tidak merasa kecewa atau gimana. Aku hanya merasa agak kurang berperasaan setelah membaca opini orang di media sosial yang mengatakan betapa film ini sangat sedih, romantis, dan emosional.

Soalnya aku tidak merasa begitu. Mungkin karena memang aku tidak merasa teridentifikasi ya. Aku tidak pernah merasa punya kehidupan percintaan yang kugandrungi banget, apalagi mikirin soal cinta pertama. Hahaha. Inget juga kagak kayaknya.

Abis nonton film ini, ngobrol sama Alfdjones soal cinta pertama. Kami berdua sama-sama kagak tahu siapa cinta pertama masing-masing. Kata Alfdjones, dia kebanyakan masalah jadi nggak sempet mikirin gituan pas muda.

Aku malah lebih tergelitik oleh hubungan Yae dengan ibunya. Bisa dibilang, ibunya ini agak manipulatif. Punya ambisi ingin anaknya bisa jadi yang terbaik dan membanggakan. Ingin anak jadi putri kampus, jadi juara lomba debat, jadi pramugari, jadi istri orang kaya.. dan semua keinginannya malah bikin anaknya berantakan.

Yah, namanya ibu memang selalu ingin yang terbaik untuk anaknya ya. Masalahnya, kadang tolok ukur “terbaik untuk anak” itu kebanyakan sebenarnya malah “terbaik buat diri sendiri”. Ego yang tidak tersadari dan tak diakui.

--

--