Convenience Store Woman; Menentukan Diri Sendiri dalam Tuntutan Sosial

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readOct 22, 2020

Convenience Store Woman atau Gadis Minimarket mengisahkan bagaimana seorang pegawai minimarket akhirnya bisa menentukan dirinya sendiri meski tuntutan sosial berkata lain.

Buku bersampul biru ini telah menjadi incaran Alfons (rekan gilaku) sejak beberapa tahun belakangan. Namun demikian, Alfons tidak jadi-jadi membelinya. Bagiku sendiri, buku ini belum menarik minat karena sama sekali tidak kuketahui ide besarnya (dan memang aku tidak mencari tahu).

Diam-diam, Alfons ternyata membeli buku Convenience Store Woman versi digital. Beberapa waktu lalu, saat aku sedang membuka aplikasi Kindle di iPad miliknya, aku menemukan buku ini dalam perpustakaan digitalnya. Awalnya ingin membaca buku lain, aku malah jadi membaca buku ini dan bahkan menyelesaikan pembacaan dalam kurun waktu satu hari saja.

Novel karya Sayaka Murata ini merupakan novel fiksi yang terinspirasi dari kisah hidup Sayaka yang memang pernah bekerja sebagai gadis penjaga minimarket. Pengalaman pribadi tersebut menjadikannya mampu membuat detail cerita yang begitu apik dan tergambarkan dengan baik.

Novel peraih Akutagawa Prize tahun 2016 ini mengambil set utama di Smile Mart — Stasiun Hiiromachi, Jepang. Sebagian besar cerita menggambarkan rutinitas seorang penjaga minimarket, termasuk bagaimana kehidupan di minimarket itu berjalan.

Setiap kali Sayaka menggambarkan hal tersebut, pikiranku langsung bisa membayangkan suasananya. Bagaimana pegawai mengucapkan salam setiap kali tamu datang, menata dagangan di rak sesuai dengan aturan yang berlaku, hingga proses pembayaran di kasir, termasuk sejumlah masalah yang kerap muncul di minimarket.

***

Novel Convenience Store Woman dibuka dengan tokoh utama (Keiko Furukara) menceritakan bagaimana ia memaknai tempat kerjanya sebagai “a world of sound” atau dunia bebunyian. Dalam narasi, tergambar apik dan rapi detail-detail kehidupan bebunyian di minimarket tersebut.

Cerita kemudian berlanjut pada kehidupan Keiko di masa kecil. Menurut pengakuannya, Keiko merasa dirinya dipandang aneh sejak kecil. Banyak kejadian yang membuat orang sekitarnya mengira Keiko adalah orang yang bermasalah. Padahal, dirinya sendiri tidak merasakan hal tersebut. Bagi Keiko, dirinya ya normal-normal saja.

Pandangan orang tentang dirinya yang aneh terus ada sampai ia dewasa, bahkan menua. Pandangan tersebut juga ikut berkelindan dengan pilihannya untuk menjadi penjaga minimarket hingga separuh kehidupannya. Orang-orang sekitarnya memandang Keiko aneh karena memilih untuk terus bekerja paruh waktu di minimarket sejak remaja hingga usia 30-an.

Apalagi, Keiko juga benar-benar tenggelam dalam kehidupannya sebagai pegawai minimarket. Dikisahkan dalam beberapa kesempatan bahwa saat tidur pun Keiko tetap mendengar keriuhan bebunyian di minimarket. Ia bahkan melakukan semua aktivitasnya untuk minimarket. Misalnya saja menjaga kesehatan agar tetap fit bekerja dan menikmati jalan pergi pulang sembari survei untuk minimarket.

Terkungkungnya Keiko dalam kehidupan sebagai pegawai minimarket otomatis membuatnya tidak sempat memikirkan soal cinta dan hidup berkeluarga. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu konflik dalam cerita.

Sayaka Murata menggambarkan dengan gamblang bagaimana keluarga dan teman-temannya memandang Keiko sebagai orang tidak normal karena tidak kunjung berkeluarga akibat terlalu lama bekerja di minimarket. Padahal, di sisi lain, Keiko merasa itu pilihan hidupnya yang sama sekali tidak pernah menyulitkan dirinya sendiri maupun orang lain.

Konflik pandangan Keiko dengan dunia sosialnya juga semakin seru dengan adanya tokoh Shiraha. Lelaki sebaya Keiko ini menjadi tokoh yang begitu mengutuk pandangan sosial bahwa manusia harus bekerja mapan, berkeluarga, punya anak, dan seterusnya. Perbincangan antara Keiko dan Shiraha mengenai pandangan-pandangan yang memaksa “kenormalan” pada diri mereka ini begitu seru untuk disimak.

Sayangnya, tokoh Shiraha yang menurutku memiliki pemikiran yang cukup berani ini ternyata tak lebih sebagai parasit yang pintar berkelit untuk keuntungan pribadinya saja. Membaca kisah Shiraha ketika menumpang di tempat tinggal Keiko ini membuatku selalu gregetan.

Foto oleh Yasin Yusuf di Unsplash

Tubuh novel Convenience Store Woman mengisahkan soal bagaimana minoritas (mereka yang “dipandang” berbeda dari norma sosial) menjadi sebuah keanehan dalam masyarakat, sehingga perlu diperbaiki. Novel ini dengan lihai mengaitkan hal tersebut dari kacamata seorang penjaga minimarket yang pada kenyataannya, pekerjaan mereka memang sering dipandang rendah oleh orang lain.

Aku sangat menyukai novel ini. Membacanya tanpa mengetahui sedikitpun tentang ide yang ingin disampaikan penulis membuatku bisa mengikuti cerita yang begitu mengalir dengan beberapa kejutan di setiap halamannya. Aku tidak menyangka bahwa kehidupan gadis minimarket ini ternyata akan mengisahkan soal pemaksaan kehendak norma sosial terhadap minoritas yang sudah merasa nyaman dengan pilihan hidupnya dan sama sekali tidak merugikan orang lain.

Buku Convenience Store Woman yang kubaca adalah versi berbahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya mudah kita pahami sekalipun mungkin kita membaca tanpa konsentrasi tinggi.

Aku suka dengan penutup kisah di mana gadis minimarket, setelah sempat mencoba berkompromi dengan pandangan mayoritas, akhirnya bisa kembali menentukan apa yang pas untuk dirinya sendiri. Salut!

--

--