Dari Mata Turun ke Hati, Masuk ke Perut

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
11 min readJan 20, 2022
sumber: Lynda Sanchez on Unsplash

(Selama beberapa bulan belakangan, aku berhenti menulis sama sekali. Suka tidak suka, kemampuanku menulis jadi menurun jauh. Aku harus mengulang belajar nulis lagi supaya kemampuan yang satu-satunya bisa buat cari duit ini tidak hilang.)

Pelajaran menulis pertama hari ini akan kumulai dengan hal yang menyenangkan. Salah satu hal paling menyenangkan dalam hari-hariku di tengah pandemi yang masih tidak jelas ujungnya di tahun 2021 kemarin adalah film.

Aku suka sekali menonton film. Hanya saja, aku orangnya gampang bosan, terutama kalau pikiran sedang mumet. Jadi, kadang-kadang menonton film pun menjadi sebuah tantangan di masa pandemi dan minim pekerjaan ini. Kalau filmnya punya alur dan konsep cerita yang lambat dan kompleks, atau pemerannya kurang kusuka, menonton malah terasa menjadi beban pikiran juga.

Untuk itulah, aku sengaja hanya memilih tontonan yang segar, ringan, dan menghibur. Kesan itu kudapatkan dari film bertema kuliner, yang kebanyakan berasal dari Jepang.

Kenapa Jepang?

Karena aku merasa orang Jepang benar-benar cerdik dan lihai menyematkan pesan-pesan menarik melalui cerita yang unik (bahkan seringnya absurd dan tidak terpikirkan sama sekali). Lagipula, aku suka sekali mendengar orang Jepang berbicara.

Kenapa kuliner/makanan?

Karena aku meyakini bahwa makanan adalah sumber inspirasi yang berasal dari rasa. Makanan itu memberikan hiburan dan perenungan yang asyik. Berawal dari mulut dan lidah yang dinikmatkan, menuju ke perut yang dimanjakan, dan akhirnya bermuara ke otak yang dikayakan.

Jadilah aku menonton beberapa film Jepang bertema kuliner di Netflix. Film-film yang kupilih kebanyakan serial dengan durasi pendek (sekitar 20–30 menit) per episodenya. Dalam tulisan ini, aku akan menceritakan 5 yang paling berkesan dan sangat kusukai.

The Curry Songs/Curry no Uta (1 musim, 12 episode)

sumber: wakuwakujapan.com

Film keluaran tahun 2020 ini menjadi favorit pertamaku. Aku langsung menontonnya tak lama setelah rilis di Netflix Indonesia. Awalnya aku memilih film ini karena melihat aktor kesukaanku menjadi pemeran utamanya (Shinnosuke Mitsushima).

Baru episode pertama, aku langsung jatuh cinta sama film ini. Fokus ceritanya adalah seorang pria pengangguran bernama Yoichiro yang sangat menggilai kari. Setiap episode menceritakan bagaimana dia mendatangi berbagai kedai (yang ternyata adalah kedai atau restoran sungguhan yang ada di Jepang) untuk menikmati kari. Ada ritual khusus yang pasti dia lakukan sebelum mulai makan kari, yang menurutku sangat ikonik dan lucu. Setiap kali mencicipi kari, Yoichiro juga pasti mengulas kenikmatan makanan tersebut dengan sangat detail, layaknya seorang pengulas makanan profesional.

Hal yang paling kusuka di film ini justru bukan makanannya, melainkan persona Yoichiro yang dibuat begitu ndablek. Yoichiro digambarkan sebagai pria muda pengangguran yang hidup sesukanya dan sering menjebak orang untuk mentraktirnya makan kari. Dia bahkan tanpa canggung menumpang di rumah seorang pemuda yang baru dia kenal. Pokoknya sesuka-suka dia deh!

Menariknya, meskipun sangat ndablek dan asal-asalan, banyak pemikiran Yoichiro yang terdengar begitu bijaksana. Dia sering terlihat mengambil posisi sebagai penasihat yang memberikan jalan keluar bagi tokoh-tokoh lain dalam film ini. Selain itu, ada pula sisi sedih di film ini, yang berkutat pada hubungan Yoichiro dengan ibunya.

Satu hal lagi yang juga sangat kuingat dan kusukai dari The Curry Songs adalah gaya fesyen Yoichiro yang tabrak lari. Pada setiap episode, Yoichiro selalu terlihat memakai kemeja bermotif penuh warna, dipadu syal bermotif yang tidak senada dan mantel kebesaran. Jika dilihat memang norak banget, tapi lucunya malah sangat cocok untuk persona Yoichiro yang juga absurd. Untuk hal satu ini, aku haturkan hormat bagi penata gayanya! TOP BANGET!

The Road to Red Restaurant List/Zetsumeshi Road (1 musim, 12 episode)

sumber: jurnalapps.co.id

Lagi-lagi aku memilih film karena tertarik dengan pemeran utamanya. Aku mengetahui pemeran utama film ini dari film One Cut of The Dead yang menurutku merupakan salah satu film terbaik di dunia. Mengingat aktingnya di film itu sangat menarik, aku jadi tertarik untuk melihat karya selanjutnya dari orang ini.

The Road to Red Restaurant List merupakan sebuah film seri yang mengisahkan sisi lain kehidupan pria paruh baya bernama Tamio Suda. Dia adalah seorang karyawan swasta yang punya kebiasaan unik. Setiap jumat malam, istri dan anaknya pasti pergi nonton konser idola. Pada waktu yang sama, Pak Suda kemudian akan melakukan perjalanan seorang diri menggunakan mobil van modernnya.

Perjalanan Pak Suda menjadi sangat menarik karena bukan sekadar berkeliling naik mobil. Pak Suda biasanya akan berangkat Jumat malam sepulang kerja. Dia akan menuju ke suatu tempat yang jauh dari rumahnya, untuk kemudian bermalam di dalam mobilnya. Berbekal perlengkapan kemah minimalis, ia memanfaatkan mobil vannya menjadi sebuah kemah yang menyenangkan (berkat film ini, aku tahu bahwa kebiasaan berkemah di mobil ini sangat lumrah di Jepang dan bahkan difasilitasi).

Gongnya justru terjadi di keesokan harinya. Biasanya, pagi-pagi Pak Suda akan menikmati suasana di sekitar tempatnya berkemah. Dia lalu berjalan-jalan menuju sejumlah tempat menarik. Memasuki jam makan siang, mulailah ia mengunjungi restoran-restoran yang menurutnya sudah langka dan hampir punah (restoran yang ada di film ini semuanya adalah restoran sungguhan yang masih beroperasi di Jepang).

Petualangannya memasuki restoran demi restoran ini terasa sangat menggugah. Apalagi restoran yang ia pilih adalah restoran yang terlihat sudah tertinggal, sepi, dan (sekilas) tidak menarik perhatian. Kejutan-kejutan kecil dari kenikmatan makanan (yang sering kali sederhana), obrolan sejarah maupun kehidupan si pemilik restoran, sampai perenungan Pak Suda selama makan di restoran yang nyaris punah itu menjadi bumbu yang menyedapkan film ini.

Menonton film satu ini benar-benar membuat aku ingin menjelajah tempat makan terpencil di sekitar.

What Did You Eat Yesterday?/Kino Nani Tabeta? (1 musim, 12 episode)

sumber: asianwiki.com

Wah, film satu ini menurutku sangat romantis dan manis! Ceritanya berpusat pada kehidupan pasangan gay paruh baya yang tinggal bersama di Tokyo. Shiro Kakei adalah seorang pengacara dan pacarnya, Kenji Yabuki, adalah seorang penata rambut.

Keduanya memiliki kepribadian yang jauh berbeda. Shiro adalah seorang yang sangat kaku, hemat, apik, dan pandai mengurus rumah tangga. Sementara itu, Kenji adalah seorang yang hangat, periang, dan manja.

Kisah kehidupan mereka digambarkan begitu hangat, meski ada beberapa percikan masalah. Dialog dan konflik di film ini begitu menggambarkan kehidupan gay yang berkutat pada penerimaan diri, keluarga, dan sosial. Ada beberapa episode yang menggambarkan kecemburuan yang terasa sangat menggemaskan bagiku. Semuanya disampaikan dengan begitu ringan dan menyenangkan.

Aku suka dengan penokohan yang ditonjolkan dalam film ini. Shiro digambarkan begitu kaku dan masih tertutup dengan identitas seksualnya. Meski begitu, ketika di apartemen bersama Kenji, Shiro menjadi begitu hangat dan sangat “keibuan”. Dia sangat pandai berbelanja (mengejar diskon, memilih bahan makanan), mengatur duit, dan tentunya masak (mengingatkanku pada diriku sendiri.. haha).

Aku sangat menikmati interaksi antara Shiro dan Kenji, terutama saat-saat Shiro memasak dan kemudian makan bersama dengan Kenji. Setiap memasak, Shiro menarasikan apa yang dia lakukan sehingga terasa seperti menyaksikan video panduan memasak juga. Masakannya rata-rata sederhana dan terlihat sangat enak. Hebatnya lagi, paduan masakan Shiro ini terasa begitu bagus karena dia juga sangat memperhatikan kesehatan.

Setiap kali aku menyaksikan Shiro memasak, rasanya waktu berjalan lebih lambat dan menyenangkan. Apalagi setelah itu dilanjutkan dengan makan bersama Kenji sambil ngobrol centil.

Pokoknya, film satu ini sangat hangat, nikmat, dan menggemaskan. Aku rasa film ini juga masih ramah bagi siapa saja karena sekalipun membahas soal identitas seksual sejenis, sama sekali tidak menampilkan kevulgaran yang tidak perlu.

Izakaya Bottakuri (1 musim, 11 episode)

sumber: media-amazon.com

Kalau film satu ini tokoh utamanya adalah dua perempuan muda bernama Mine dan Kaoru. Diceritakan mereka adalah kakak beradik yang mewarisi izakaya (kedai khas Jepang yang menjual minuman beralkohol dengan makanan sebagai sampingan) dari orang tua mereka. Izakaya mereka memiliki nama yang nyeleneh, yaitu Izakaya Bottakuri yang bisa dibilang artinya “kedai yang mengelabui atau mengakali orang”. Nama tersebut menjadikan kedai itu amat menarik perhatian.

Mengambil latar tempat di Izakaya sederhana, film ini menggambarkan obrolan-obrolan ringan yang terjalin di antara Mine dan Kaoru dengan para pengunjung tetap kedai yang berasal dari beragam latar belakang. Masing-masing episode menampilkan kisah mereka secara bergantian.

Selain obrolan hangat yang penuh rasa kekeluargaan, Izakaya Bottakuri juga menonjolkan kelihaian Mine dalam membuat makanan dan minuman di kedainya. Kelihaian Mine ditunjukkan dengan kemampuannya memodifikasi cara mengolah makanan Jepang dengan menu yang setiap hari selalu baru. Pengunjung bahkan bisa mengajukan pesanan sendiri yang tidak ada di menu dan Mine selalu punya cara untuk mewujudkannya dengan sangat sempurna.

Kelihaian itulah yang membuat kedai ini dikatakan mampu “mengelabui atau mengakali orang” karena makanan dan minuman yang mereka makan sering kali memberikan kejutan yang berbeda dari tampilan atau cara memasak pada umumnya.

Berbicara soal Izakaya juga tentunya tidak lepas dari minuman beralkohol. Setiap episodenya, ada adegan di mana Mine akan menyuguhkan minuman beralkohol (utamanya sake) spesial. Di akhir episode, akan ada adegan Mine menjelaskan minuman spesial beserta resep makanan yang disuguhkan di hari tersebut. Penjelasannya sederhana, didukung dengan visual yang cantik.

Jujur saja, awalnya aku sama sekali tidak tertarik dengan film ini karena aku sempat skeptis menyangka bahwa akan sangat banyak drama tidak pentingnya. Eh ternyata prasangkaku meleset. Drama dalam film ini ternyata begitu hangat dan menjadi sempurna dengan ditemani kuliner khas Jepang yang menggoda selera.

The Way of the Hot & Spicy/Gekikaradou (1 musim, 12 episode)

sumber: asset.kompas.com

Bisa dibilang, film satu ini adalah yang paling filosofis dibandingkan 4 film dalam tulisanku. Aku langsung tertarik ingin menontonnya (padahal sama sekali tidak tahu dengan para pemerannya) hanya karena aku memang suka makanan pedas.

The Way of Hot & Spicy atau Gekikaradou tak sekadar menjadi film yang mengisahkan penjelajahan tokoh utama menyicipi berbagai makanan pedas. Jauh lebih mendalam, film ini memberikan nilai-nilai inspirasi kehidupan yang bisa diambil dari makanan pedas. Sungguh sebuah kehebatan orang Jepang yang bisa membangun pemikiran seperti itu.

Gekikaradou mengisahkan seorang tenaga pemasaran perusahaan minuman bernama Kenta Sarukawa yang baru dimutasi dari Osaka ke Tokyo. Di kantor barunya, Sarukawa satu tim dengan penggila makanan pedas. Usut punya usut, ternyata kebiasaan makan makanan pedas itu memang dibentuk oleh sang manajer.

Pak manajer tak hanya mengenalkan timnya dengan makanan pedas agar mereka kuat makan pedas. Ada filosofi nilai tertentu yang berusaha ia ajarkan pada timnya, terutama tentunya soal kekuatan dan ketahanan menghadapi tantangan yang bisa diaplikasikan dalam pekerjaan mereka sebagai tenaga pemasaran.

Pada setiap episode, selalu ada adegan di mana si tokoh utama atau teman timnya menghadapi tantangan atau masalah baru dalam pekerjaan mereka. Makan makanan pedas menjadi cara mereka untuk menghibur diri sekaligus mencari inspirasi dan solusi.

Aku sangat suka melihat bagaimana para tokoh menikmati (sekaligus menderita) saat makan makanan pedas mereka. Pilihan makanan dan tampilannya juga dibuat sedemikian rupa menjadi begitu membuat ngiler meskipun kelihatan sekali bahwa pedasnya terasa tidak manusiawi. Adegan pak manajer mengarang filosofi kehidupan juga selalu berhasil membuatku tertawa.

Samurai Gourmet (1 musim, 12 episode)

sumber: netflix.com

Aku ingat sekali bahwa Samurai Gourmet adalah film Jepang tentang makanan pertama yang kutonton di Netflix. Saat itu aku tertarik dengan poster dan judul film ini. Ditambah lagi, pemeran utamanya juga tidak asing bagiku.

Awalnya kukira film ini adalah tentang seorang samurai yang berwisata kuliner atau jago memasak. Nyata, film ini jauh lebih menarik dari itu. Ide cerita utamanya sangat sederhana yakni tentang kehidupan seorang kakek setelah memasuki masa pensiun.

Dikisahkan Takeshi Kasumi akhirnya memasuki masa pensiun setelah lebih dari 35 tahun menjadi karyawan. Fase kehidupan barunya ini ingin dia jalani dengan maksimal mengingat selama menjadi karyawan, hidupnya sangat monoton dengan rutinitas.

Jadilah Kasumi memberanikan diri untuk bertualang. Salah satu tekadnya adalah lebih berani mengeksplor makanan di berbagai tempat (semasa bekerja, dia makan di situ-situ saja setiap hari). Setiap hari dia mencoba makanan baru di restoran yang dia temui. Setiap momen makan dia nikmati dengan saksama sehingga ia bisa menilai kualitas makanan yang ia santap.

Tidak semua restoran yang ia datangi memberikan kesenangan. Ada juga di beberapa episode diceritakan Kasumi merasa kecewa dengan pilihannya. Salah satunya di episode 2, yakni saat ia makan ramen anyep di sebuah restoran China. Episode ini sangat kuingat karena penutupnya begitu lucu dan relevan. Penutupnya Kasumi merasa kekecewaannya terbayarkan ketika menyantap ramen instan buatan istrinya di rumah. Kejadian itu sangat aku sekali.

Lantas, apa hubungannya kisah Kasumi dengan samurai?

Dijelaskan dalam setiap episode ada hal-hal dalam pikirannya yang ingin Kasumi lakukan. Hal-hal ini kemudian ditampilkan dalam figur seorang samurai yang mewakili sisi lain Kasumi yang lebih “eksploratif dan pemberani”. Pada saat-saat tertentu (terutama saat makan), Kasumi akan berimajinasi melihat samurai ini melakukan hal-hal yang hanya bisa Kasumi pikirkan dalam kepalanya saja. Imajinasinya inilah yang sering kali menjadi inspirasi dan semangat barunya.

Rekomendasi spesial

The Hungry and The Hairy (1 musim, 10 episode).

sumber: asset.kompas.com

Selain 5 film Jepang di atas, aku ingin menyebutkan lagi 1 film bertema kuliner yang sangat menyenangkan hatiku. Bukan dari Jepang, film ini justru berasal dari Korea Selatan dan berkonsep dokumenter.

Sebagai seorang yang selama ini tidak tertarik nonton film Korea, terdamparnya aku ke film satu ini semata-mata hanya untuk Rain alias Jeong Ji-Hoon. Aku suka Rain dan penasaran ingin melihat dirinya di film lagi setelah terakhir aku nonton dia di Full House (sudah lama sekali bukan?).

Memasuki awal tahun 2022, aku mulai memutar The Hungry and The Hairy di Netflix. Tidak ada harapan apa-apa, cuma dasarnya penasaran saja.

Eh, begitu mulai nonton, ternyata aku langsung kecantol. Aku jadi keranjingan menyaksikan film ini dan penasaran kelanjutannya. Setelah akhirnya musim 1 film ini tamat, aku bahkan benar-benar merasa sedih. Hahaha.

The Hungry and The Hairy adalah dokumenter yang menceritakan perjalanan Rain (sebagai “si lapar”) dengan Noh Hong-Chul (sebagai “si berbulu”) berkeliling naik motor untuk mengunjungi berbagai tempat menarik di Korea Selatan.

Satu episode biasanya menceritakan keseruan si lapar dan si berbulu menjelajahi 1 daerah selama beberapa hari. Ada keseruan perjalanan naik motor yang diwarnai dengan obrolan lucu, keseruan menikmati pemandangan di tempat wisata, keseruan beraktivitas di tempat wisata (berkemah, berenang, memancing, berlayar, piknik, menjajal wahana bermain), keseruan mencicipi makanan di restoran pilihan, hingga keseruan memasak.

Setiap kali menonton film ini, aku sangat menantikan momen Rain menyiapkan dan memasak makanan. Kelihaiannya mengolah makanan serta kenikmatannya menyantap makanan menjadi pemandangan yang benar-benar menggambarkan rasanya “dari mata turun ke hati, masuk ke perut”. Semuanya benar-benar memanjakanku, membuatku ngiler dan kagum.

Film ini sangat berhasil menggambarkan keindahan alam dan kota di Korea Selatan. Visualnya bagus banget! Musik pengiringnya juga sangat mendukung (salut untuk Sang-Soon dan Lee-Hyori!). Interaksi Rain dan Hong Chul yang kocak nan hangat pasti membuat penonton pegal tertawa. Apalagi jika melihat kekonyolan Hong-Chul yang memang adalah seorang komedian (aku pasti ngakak setiap kali melihat dia menjilat Netflix dan Reed Hastings).

Pokoknya, film ini berhasil membuatku mulai menyukai Korea Selatan. Hahaha!

Itulah dia beberapa tontonan menarik yang menemaniku selama pandemi ini. Kalau tidak ada mereka, mungkin hari-hariku hampa. Isinya cuma bangun, bersih-bersih, masak, mandi, dan tidur panjang. Aku berharap bisa menemukan yang berikutnya segera!

--

--