Dualisme Turisme

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
7 min readFeb 2, 2021
Foto oleh Elizeu Dias di Unsplash

Indonesia dikenal sebagai negeri kepulauan dengan pesona pariwisata yang menawan hati. Keindahan alam dan keragaman budaya yang menjadi daya tarik utamanya mampu menarik perhatian beragam orang dari berbagai belahan dunia. Tak heran banyak orang asing yang jatuh cinta dengan Indonesia dan memilih tinggal di negeri ini.

Dengan kondisi demikian, bisa dibilang sektor pariwisata menjadi salah satu penyokong roda ekonomi Indonesia. Daerah wisata seperti Bali, Yogyakarta, dan Lombok bahkan memosisikan turisme sebagai urat nadi kehidupan masyarakatnya.

Ketika berbicara soal turisme, kita bagai membicarakan sebuah koin yang memiliki dua sisi. Hanya saja, jika pada koin kedua sisinya sama-sama bernilai baik, tidaklah pada turisme. Dalam pandanganku, turisme memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Satunya baik, satunya buruk.

Sisi baik turisme sudah pasti adalah soal kebangkitan dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, turisme juga memperkenalkan pesona suatu tempat (dalam bahasan ini adalah Indonesia) ke tempat lain, baik yang dekat maupun yang jauh sekalipun. Dengan adanya turisme, orang dari semua belahan dunia bisa mengetahui keindahan Tanah Air kita dan memberitahukannya kepada orang lain sebanyak mungkin.

Sementara itu, membahas dualisme turisme berarti juga membahas sisi buruknya. Sebagai orang yang hidup cukup lama di Bali dan sempat mengunjungi beberapa daerah wisata di Tanah Air, bisa dibilang aku cukup merasakan sendiri baik buruknya turisme. Adapun sisi negatif atau sisi buruk praktik turisme menurutku ada 4, yaitu:

  1. Komodifikasi berlebihan

Salah satu tujuan turisme atau kepariwisataan adalah mendatangkan keuntungan komersial. Hal ini, suka dan tidak suka, mendorong pelaku industrinya untuk mengedepankan komodifikasi. Adapun komodifikasi mengarahkan segala sesuatunya menjadi komoditas (barang bernilai jual).

Secara sederhana, komodifikasi melahirkan apa yang kita kenal sebagai “apa apa bayar”. Dalam turisme, praktiknya seperti mau parkir bayar, mau masuk bayar, mau makan bayar, mau foto bayar, mau nonton bayar, mau buang air bayar, mau keluar pun bayar.

Sekilas hal tersebut tidaklah berbahaya. Namun, jika praktik ini dilakukan secara masif, akan terlihat penggerusan atau eksploitasi terhadap alam, makhluk hidup, dan budaya yang diperlakukan sebagai barang dagangan.

Misalnya, sebuah aktivitas budaya yang biasanya hanya bisa dilakukan pada waktu-waktu tertentu, akhirnya bisa dilakukan kapan saja selama ada turis yang bersedia membayar karcis (yang merusak kesakralannya); kuliner lokal diolah menjadi lebih modern dan dipadukan dengan gaya lain demi memenuhi selera pasar, yang akhirnya merusak cita rasa dan nilai budaya kuliner itu sendiri; hingga hewan di kebun binatang yang harus dibius demi bisa diajak foto berbayar oleh wisatawan. Contoh lain yang juga sering terlihat adalah pemanfaatan lahan hijau menjadi pusat hiburan dan pusat belanja modern.

Konsep kampung wisata misalnya, menurutku sebenarnya sangat menarik. Namun, cukup sering konsep kampung wisata ini dibuat dengan lebih menonjolkan pada apa yang laku menurut tren wisata saja dan melupakan kreativitas serta keautentikan budaya yang ada di kampung tersebut. Akhirnya, lahirlah kampung wisata yang lebih pada menawarkan spot foto cantik dan oleh-oleh seragam alih-alih menawarkan pengalaman budaya dan oleh-oleh khas.

Menurutku, komodifikasi berlebihan terjadi bukan sekadar akibat oknum yang gila duit. Hal ini juga dipancing oleh turis atau wisatawan itu sendiri, yang merasa bisa membayar segalanya.

2. Homogenisasi

Setiap daerah, apalagi di Indonesia memiliki pesona alam dan budaya yang berbeda-beda. Ketika mendatangi suatu daerah, sejatinya kita berharap untuk mendapatkan pengalaman budaya dan penampakan alam yang khas dari daerah tersebut.

Praktik turisme mengarahkan pelaku pariwisata berlomba-lomba meningkatkan kualitas daerahnya agar lebih menarik perhatian turis. Jika dimaknai secara sederhana, hal ini jelas sangat positif. Namun, jika diperhatikan lebih jauh, kadang kala perlombaan ini menjadi sesuatu yang tidak sehat.

Yang kumaksud di sini adalah lahirnya homogenisasi atau proses penyeragaman. Dalam rangka menarik perhatian turis, pelaku industri pariwisata membaca pasar untuk mengetahui tren apa yang sedang ramai diminati. Tren pasar menunjukkan apa, itu yang diikuti.

Misalnya saja tren hari ini menunjukkan bahwa wisatawan sedang kegandrungan berfoto. Berdasarkan tren tersebut, lahirlah tempat wisata yang berlomba-lomba menciptakan seni instalasi di spot tertentu untuk menjadi tempat berfoto.

Sekilas hal tersebut menarik. Namun, pada praktiknya, sejumlah instalasi berwujud sama. Misalnya, hampir di semua tempat wisata di Indonesia punya spot foto berbentuk jantung hati. Hampir semua tempat wisata alam di Indonesia mempunyai spot foto berupa wahana ayunan raksasa dan sepeda gantung.

Hal itu belum lagi dengan penempatan spot foto yang kadang malah mengganggu pemandangan aslinya. Misalnya di tengah pantai perawan yang masih bersih atau di spot dengan pemandangan terbaik.

Hal yang membuatnya semakin buruk adalah ketika semua spot foto itu ternyata memungut bayaran lagi. Aku mengalami itu di salah satu kota wisata di Jawa Barat. Ketika masuk ke salah satu objek wisata, aku membayar karcis masuk dengan harga murah. Ketika sampai di dalam, hampir semua spot dengan pemandangan menarik diberikan instalasi untuk berfoto. Untuk dapat memasuki tempat tersebut, kita harus bayar lagi dan bayar lagi. Padahal, tujuan utamaku adalah ingin cuci mata melihat pemandangan sekitar, bukan berfoto. Namun, tetap saja untuk masuk ke situ aku harus bayar lagi.

Tak cuma soal spot foto, homogenisasi juga terjadi dalam bentuk objek wisata itu sendiri. Misalnya, setiap kota wisata di Tanah Air harus punya kampung warna-warni, harus ada kafe dengan kolam renang yang cantik menghadap laut (lengkap dengan pelampung ban berbentuk Flamingo), dan harus ada satu tempat yang menampilkan suasana ala Bali. Dari situ, muncullah istilah Seminyaknya Jakarta, Jimbarannya Balikpapan, Singapuranya Medan, dan seterusnya.

Belum selesai sampai di situ, masih ada praktik homogenisasi yang menurutku cukup menyedihkan. Yakni dengan mendatangkan suasana lain di suatu daerah. Misalnya membuat tempat wisata bernuansa Korea di hampir semua kota wisata di Tanah Air, membangun miniatur Marina Bay Sands di Bedugul, membangun hotel atau restoran bernuansa Santorini di Bali, dan mengembangkan kawasan wisata ala Jimbaran di Balikpapan.

Memang sih praktik seperti ini di satu sisi memudahkan orang yang ingin bisa mengunjungi suatu tempat sekaligus, tetapi tidak mampu (entah karena waktu, jarak, atau biaya). Tapi, kadang kala menghadapi hal seperti ini aku jadi berpikir, masa sih sudah sengaja jauh-jauh ke suatu daerah, kita maunya ketemu suasana yang tidak autentik? Masa sih sudah jauh-jauh ke Bali, kita maunya tidur di hotel bernuansa urban modern atau bernuansa luar negeri? Masa sih sudah enak-enaknya di Balikpapan, kita malah mencari suasana ala Jimbaran?

3. Gentrifikasi

Merujuk pada KBBI, gentrifikasi mengindikasikan perkembangan untuk suatu tempat. Hal ini menimbulkan kesan yang positif karena sekilas seperti membangun suatu tempat menjadi lebih maju dan modern.

Pertanyaannya sekarang, apakah kemudian semua tempat harus seperti demikian kemajuannya? Apakah semua tempat harus menjadi modern, harus menjadi urban?

Pada praktiknya, turisme sedikit tidaknya turut mendorong terjadinya gentrifikasi yang melahirkan apa yang disebut modernitas kebablasan. Hal ini bisa kita lihat dari terlalu banyaknya mal di Indonesia, terutama di Jakarta. Pertumbuhan mal ini dipicu dari dorongan pelaku pariwisata yang ingin mendongkrak pertumbuhan wisata belanja.

Selain mal, hotel dan restoran juga menjamur. Jika sudah dikatakan menjamur, berarti ya sudah kebanyakan juga. Tak jarang kita temukan satu selasar jalan yang di kanan kirinya lebih banyak diisi hotel dan restoran sampai menjadi terasa begitu padatnya. Seringnya, hotel yang ada bahkan bernuansa sama, yakni bergaya modern minimalis ala urban.

Kadang kala (jika tidak mau terlalu skeptis dengan menyebut sering), pembangunan hotel, mal, dan restoran ini begitu pesatnya hingga mengikis porsi kawasan alamiah. Hal ini jugalah yang kemudian menjadi salah satu alasan meningkatnya kawasan reklamasi di daerah vital di Tanah Air.

Sedihnya lagi, ada saja oknum pelaku industri yang mengatasnamakan pengembangan kawasan wisata terpadu sebagai kedok yang lebih halus untuk gentrifikasi. Kawasan yang dulunya alamiah dan autentik, tergusur menjadi kawasan yang dipenuhi mal, hotel, kafe, taman bermain, dan tempat swafoto (selfie).

Salah satu gentrifikasi yang paling kencang bisa kita lihat di sisi selatan Bali dan sisi selatan Jakarta. Aku jadi teringat dulu sempat mendatangi sebuah pantai perawan di selatan Bali. Ketika itu pantainya masih sangat sepi, alami, tersembunyi, dan bersih. Dalam rentang 6 bulan aku kembali ke pantai itu, di sekitarnya sudah ada alat berat yang ternyata akan membangun lapangan golf, lengkap dengan fasilitas modern lainnya. Hilang lagi deh tempat renang dan bersantai yang alami dan menenangkan hatiku!

4. Mental Inlander

Sebenarnya untuk poin yang ke empat ini bukan menjadi sisi buruk dari turisme sih. Ini lebih pada sisi buruk dari kolonialisme. Tapi aku mengangkat ini karena merasa bahwa hal satu ini sudah menjadi penyakit yang cukup lama menjangkit dunia pariwisata kita. Jadi, masih nyambung lah ya!

Aku menggunakan istilah ‘mental inlander’ untuk menggambarkan kebiasaan kita yang lebih mengagung-agungkan turis asing dan menyepelekan turis domestik. Hal ini terasa sekali ketika kita mendatangi suatu kawasan yang menjadi salah satu tujuan wisata utama turis asing.

Mental inlander terlihat dari kebiasaan pelaku pariwisata (misalnya penjamu tamu di hotel, restoran, mal, dan tempat lainnya) untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada turis asing daripada turis lokal. Bahkan masih ada tempat wisata di Indonesia yang secara terselubung tidak menerima tamu selain tamu asing. Tempat itu hanya akan menerima tamu lokal jika ditemani dengan tamu asing.

Aku pernah beberapa kali mengalami perlakuan mental inlander di sejumlah tempat wisata di Bali. Biasanya skenarionya sama, mereka akan menyambutku dengan ramah menggunakan bahasa Inggris (karena memang kebetulan wajahku seperti turis Cina atau Jepang). Ketika aku membalas ucapan mereka dengan bahasa Indonesia, biasanya mereka akan terkejut lalu berubah menjadi tidak seramah awalnya. Pernah sesekali aku mencoba berbicara menggunakan bahasa Inggris. Sambutan orang di daerah wisata itu begitu hangat dan terbuka. Saat aku akhirnya bilang aku orang Indonesia tulen, mereka menjawab “oooooo” begitu panjang lalu salah tingkah.

Berbicara soal mental inlander, dulu aku sempat mempersoalkan kenapa lebih banyak orang luar negeri yang meneliti dan membuat tulisan atau buku bagus dan lengkap mengenai Indonesia. Aku dulu mengira karena memang hanya orang asing saja yang tertarik untuk melakukan itu.

Setelah melihat dan mengalami sendiri, aku kemudian mengambil kesimpulan bahwa mungkin hal itu terjadi karena orang lokal bisa merasa lebih antusias dan terbuka dengan orang asing yang dipandangnya superior. Sementara ketika yang melakukan pendekatan adalah sesama orang lokal, mungkin orang tersebut dipandangnya memiliki tendensi yang tidak baik atau berusaha mengambil rahasia untuk menyaingi atau mengalahkannya.

***

Begitulah aku memandang turisme. Rasanya kok seperti lebih banyak sisi buruknya daripada baiknya ya? Maklumi saja karena aku masih memandangnya dari kacamata skeptis. Namun demikian, aku tetap ingin menekankan bahwa 4 poin yang kusebutkan di atas adalah sisi buruk yang lahir dari oknum pelaku pariwisata dan sisi buruk yang lahir apabila dipraktikkan secara berlebihan.

Biar bagaimana pun, aku masih meyakini bahwa turisme seharusnya menjadi pembangun negeri yang kokoh dan beridentitas. Semoga pariwisata kita bisa berkembang dengan lebih sehat lagi deh! Ada amin?

--

--