Entrok, Semua Berawal dari Kutang

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
6 min readJan 9, 2021

Kutang atau BH atau Bra. Buatku, benda tersebut mengandung dua makna yang kontradiksi: pengekangan dan kebebasan.

Memakai kutang sebenarnya membuatku merasa terkekang karena payudara dan dada menjadi terkurung. Nafas menjadi agak sesak, punggung kadang-kadang ikutan nyeri. Memakai kutang juga membuatku repot karena harus pakai dan lepas kutang sebelum menggunakan atasan atau setelah melepas atasan.

Di sisi lain, kutang membawa kebebasan. Memakai kutang menjadikan payudaraku punya penyangga yang sempurna. Itu artinya, aku bisa berlari dan melompat dengan bebasnya tanpa harus merasakan sakit di dada karena payudara terbanting. Tak hanya itu, memakai kutang membuatku bebas berlenggang kangkung di tempat umum tanpa kuatir mata-mata menatap sinis melihat pentil yang menonjol.

Bagi Okky Madasari, kutang adalah simbol keterkungkungan dan perlawanan perempuan. Melalui novelnya yang berjudul Entrok (bahasa Jawa dari kutang/BH/bra), Okky Madasari mengisahkan perjuangan perempuan dalam melawan nasib buruk, stigma, dan ketidakadilan. Novel terbitan tahun 2010 ini (novel pertama Okky Madasari) secara khusus mengambil set waktu di masa Orde Baru.

Semua berawal dari kutang, Yu Marni, si tokoh utama dalam Entrok, menapaki kehidupannya yang penuh masalah. Berangkat dari keinginannya untuk punyak entrok, Yu Marni terdorong untuk menghasilkan uang sendiri agar bisa membeli entrok yang dulu merupakan simbol wanita berada.

Yu Marni ingin punya entrok di usianya yang sudah terbilang remaja. Memasuki masa puber, Yu Marni merasa payudaranya semakin menonjol sehingga ia membutuhkan entrok agar bisa lebih nyaman dan aman beraktivitas. Ia memintanya pada Simbok (ibu) dan Pak Liknya (paman). Semua menolak dengan alasan bahwa entrok itu hanya dimiliki orang berduit.

Tidak puas dengan penolakan itu, Yu Marni bertekad mencari uang sendiri agar bisa beli entrok. Ia yang dulunya hanya diupah singkong dari hasil kerjanya mengupas singkong bersama Simbok, akhirnya mencoba peruntungan dengan menjadi kuli panggul di pasar. Sempat dilarang Simbok, Yu Marni tetap nekat.

Upahnya menjadi kuli ia belikan sebuah entrok sederhana. Tak merasa puas dengan hanya satu entrok, Yu Marni terobsesi untuk memiliki lebih banyak entrok. Obsesi itu bahkan sampai terbawa mimpi sehingga membuatnya semakin ingin punya uang banyak agar bisa membeli entrok lagi dan lagi.

Berangkat dari kuli panggul, Yu Marni kemudian menggunakan tabungan upahnya untuk membeli berbagai sayur dari pasar. Dari situ ia mulai bakulan (jualan) keliling Desa Singget dan ke desa sekitarnya.

Penghasilannya semakin banyak, Yu Marni pun terus memanfaatkan peluang untuk melakukan pekerjaan baru. Dari bakulan sayur, jadi bakulan perabotan rumah tangga, lalu jadi tukang kredit. Penghasilannya sebagai tukang kredit kemudian membawanya menjadi juragan tebu.

***

Sekilas ceritaku di atas, kehidupan Yu Marni terasa begitu menyenangkan. Padahal, jika membaca novel Entrok, pembaca akan mendapati bahwa kehidupan Yu Marni begitu penuh konflik. Semua konflik itu datang dari dirinya yang masih sering melakukan ritual kepercayaan menyembah leluhur dan memasang bunga pinjaman uang untuk para pelanggannya.

Karena kedua hal tersebut, Yu Marni mendapat omongan miring dari tetangganya. Ia dianggap lintah darat yang melakukan pesugihan dan melihara tuyul. Pandangan itu membuat warga desa sering berbicara buruk tentangnya. Pak Waji, guru agama Rahayu (anak Yu Marni), bahkan menjelek-jelekkan Yu Marni saat mengajar di kelas Rahayu.

Omongan buruk Pak Waji di kelas membuat Rahayu kecewa pada ibunya. Dari situlah kemudian hubungan buruk terbentuk di antara Yu Marni dan anaknya sendiri. Seiring berjalannya cerita, Rahayu semakin membenci ibunya dengan menganggapnya sebagai pemuja setan, aliran sesat, dan pendosa.

Selain dengan Rahayu, konflik juga terjadi antara Yu Marni dan aparat keamanan (militer). Yu Marni yang menghasilkan uang banyak, diperas terus oleh aparat dengan alasan keamanan. Setiap dua minggu sekali, Yu Marni harus menyetor uang keamanan ke aparat yang mendatangi rumahnya. Jika tidak memberikan setoran, Yu Marni akan mendapat gangguan dari warga (yang pastinya diarahkan oleh aparat itu juga), dikatai sebagai lintah darat penuh dosa, dan diancam akan di-PKI-kan.

Pemerasan terhadap Yu Marni juga dilakukan oleh pejabat daerahnya, yaitu Pak Lurah dan Pak RT. Setiap ada kegiatan desa (di novel ini lebih banyak menggambarkan kegiatan pemilu di masa Orde Baru), Yu Marni dimintai sumbangan yang tak tanggung-tanggung. Jika Yu Marni menolak, ia akan langsung di-skak dengan hinaan halus (bahwa dirinya pendosa) dan ancaman bahwa hidupnya tidak akan aman.

Semakin kaya Yu Marni, semakin ganas pemerasan itu terjadi. Yu Marni disuruh menyumbang uang untuk atribut pemilu, pembangunan gardu keamanan desa, sampai acara pemilu. Pernah suatu kali mobilnya dipinjam untuk arak-arakan pemilu. Mobil itu kecelakaan dan menyebabkan sopirnya meninggal. Ujung-ujungnya, Yu Marni disuruh ganti rugi untuk menebus mobilnya di kantor polisi. Ia juga dianggap menumbalkan sopirnya oleh warga desa.

***

Entrok menggambarkan perjuangan dan pertentangan. Di dalamnya sangat kuat menyuratkan perjuangan Yu Marni untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mengingat ia seorang perempuan, perjuangannya tidak serta merta diakui oleh orang sekitarnya. Ia malah dianggap pemeras, lintah darat, dan pendosa yang melakukan pesugihan karena orang merasa tidak mungkin seorang perempuan bisa menjadi sekaya itu dengan usahanya sendiri.

Meski kerasnya stigma warga desa kepada Yu Marni, ia sama sekali tak gentar. Ia tetap bekerja terus dan memanfaatkan peluang untuk lebih sukses lagi. Terbukti, Yu Marni semakin kaya dan semakin kaya. Ia menjadi orang pertama yang punya mobil di desanya. Ia menjadi salah satu dari dua orang yang punya TV di desanya. Ia bahkan menjadi perempuan yang sukses memiliki berhektar-hektar lahan tebu.

Adapun pertentangan yang paling kuat bagiku terlihat di antara Yu Marni dengan anaknya. Pertentangan itu antara kepercayaan leluhur yang dianut Yu Marni dengan agama yang dianut Rahayu. Dari pertentangan itu, hubungan keduanya menjadi sangat buruk. Rahayu selalu ribut dengan ibunya setiap kali Yu Marni mengajaknya melakukan ritual penyembahan leluhur. Rahayu bahkan sampai sekolah ke Jogja demi bisa menjauhi ibunya yang dia anggap sebagai pendosa.

Meski begitu bertentangannya Yu Marni dengan Rahayu, Rahayu tetap tumbuh menjadi perempuan seperti ibunya. Perempuan yang sangat kuat imannya (pada agamanya), yang tekun memperdalam agama dan ikut pengajian. Perempuan yang juga berani berjuang melawan ketidakadilan.

Kegigihan Rahayu dalam memperjuangkan keadilan ini terlihat melalui bab Kentut Kali Manggis dan Kedung Merah. Dikisahkan Rahayu berjuang bersama Amri Hasan (Dosen Fakultas Hukum, satu pengajian dengan Rahayu. Pria beristri yang nantinya menjadi suami Rahayu) melawan ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Mulai dari peristiwa pengemboman stupa di Borobudur hingga proyek penggusuran untuk pembangunan waduk di timur Jogja.

***

Membaca novel terbitan Gramedia Pustaka Utama ini memberikan kesan sedang membaca memoar penulisnya. Dengan sudut pandang keakuan, Entrok mengisahkan pengalaman hidup Yu Marni dan Rahayu dengan bahasa yang ringan dan membumi. Okky Madasari bahkan menyelipkan sejumlah bahasa Jawa di dalamnya.

Aku juga memandang Entrok sebagai dokumenter karena novel ini turut menyiratkan beberapa peristiwa yang benar-benar terjadi di masa Orde Baru. Berlatar belakang waktu 1950–1999, novel Entrok memfiksikan fenomena Pemilu 1971 dan 1977, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Pengeboman Stupa Borobudur 1985, Pembunuhan Misterius (Peristiwa Petrus) 1982–1985, dan Waduk Kedung Ombo 1985–1987.

Secara keseluruhan, membaca novel ini membuat geregetan. Aku geretan dengan kemunafikan warga desa yang ngatai Yu Marni pesugihan tetapi tetap saja meminjam uang darinya. Aku geregetan dengan Pak RT dan Pak Lurah yang sok bijak tetapi selalu memeras orang dengan embel-embel sumbangan. Aku geregetan dengan aparat keamanan yang suka mengancam dan memeras Yu Marni dengan alasan keamanan dan dikit-dikit mem-PKI-kan orang yang tidak mau menurut pada negara.

Aku geregetan dengan Teja (suami Yu Marni) dan suami-suami lainnya dalam novel ini yang kerjaannya ngerongrong istri, tidak mau kerja, dan malah asyik gendakan (selingkuhan). Aku geregetan dengan Rahayu yang tidak pengertian sama Yu Marni yang sedari awal sudah kuat kepercayaan akan Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa dan malah mengatai-ngatai ibunya sendiri hanya karena dia belajar agama.

Dan tentunya, yang paling membuatku geregetan adalah Pak Waji yang munafik sok ngajar agama tapi ngatai orang seenak jidat dan bahkan minjam uang terus-terusan ke orang yang ia katai, pun tanpa mau bayar.

Akhir kata, kututup ulasan ini dengan “Pak Waji setan!”

--

--