Gara-Gara Wabah, Hidupku Berubah

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readDec 21, 2020
Foto oleh Nathana Rebouças di Unsplash

Tahun 2020 sudah mau habis. Itu artinya, wabah Covid-19 atau Korona sudah hampir genap setahun ada di tengah-tengah kita. Kalau diibaratkan dengan pacaran, setahun itu masa-masanya mulai akrab. Setidaknya sudah mulai mengetahui beberapa kekurangan dan kelebihan masing-masing lah! Pasangan di fase ini juga sudah mulai membentuk kebiasaan bersama untuk saling menyiasati kekurangan dan kelebihan yang ada.

Rasa-rasanya, seperti begitulah fase hidup kita dengan Korona saat ini. Kita sudah mulai akrab, sudah mulai terbiasa dengan adanya Korona di tengah-tengah kita. Kita sudah mulai menyesuaikan diri dengan adanya korona di dunia. Sudah tidak kagok-kagok amat lah!

Seiring semakin terbiasanya kita dengan wabah Covid-19 alias Korona, hidup kita mau tidak mau akhirnya mengalami perubahan. Aku rasa ada saja perubahan yang terjadi sejak adanya wabah ini dan bisa dibilang, tidak sedikit.

Karena tidak bisa mewakili semua orang, aku hanya akan menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupku saja. Selama 10 bulan menjalani hari di tengah wabah, banyak sekali perubahan signifikan yang terjadi dalam hidupku yang akhirnya menjadi kebiasaan harian yang tak terhindari. Aku merangkumnya ke dalam tujuh poin berikut:

1. Waktu di rumah bertambah

Wabah korona berasal dari virus SARS-CoV-2 yang pertama kali merebak di Wuhan, China. Virus ini dikatakan bisa menyebar via udara, meski utamanya melalui droplet air liur penderitanya. Demi mengamankan diri dari penyebaran virus yang belum ada akhirnya ini, pemerintah di berbagai belahan dunia sempat memberlakukan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Kebijakan ini di Indonesia dikenal dengan sebutan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Salah satu anjuran di dalamnya adalah mengajak masyarakat untuk tetap di rumah saja demi menghindari terjadinya kerumunan yang memperbesar risiko penularan.

Adanya kebijakan ini membuat aku jadi punya waktu yang sangat banyak untuk berada di rumah. Jika dulu aku mungkin keluar rumah (yang jauh) setidaknya seminggu sekali (untuk kebutuhan belanja, pekerjaan, hura-hura, dan sosialisasi), sekarang paling sebulan sekali. Itu pun hanya ke supermarket yang berjarak paling jauh 3 kilometer dari rumah.

Jujur saja aku sangat menyambut kebiasaan baru ini dengan gembira. Aku senang bisa punya waktu lebih banyak di rumah karena tidak perlu repot menolak tawaran bersosialisasi maupun bekerja di luar. Waktu di rumah bertambah, aku jadi bisa menikmati tidur lebih panjang dan membaca buku lebih tenang. Aku juga jadi bisa punya lebih banyak waktu bersama keluarga dan anjingku, serta sesekali merawat kebunku.

2. Cuci tangan jadi beban

Wabah korona menjadikan cuci tangan sebagai kebiasaan, bahkan kewajiban baru. Anjuran cuci tangan seolah menjadi beban yang tidak terhindari. Aku menganggapnya sebagai beban karena aku merasa terpaksa (tapi butuh) cuci tangan sesering mungkin. Aku tidak suka cuci tangan terus-terusan, tapi aku kepikiran kalau tidak cuci tangan. Kepikiran bahwa aku habis menyentuh bakteri dan virus yang mungkin bisa masuk ke tubuhku jika tidak buru-buru dibersihkan.

Dulu banter-banter aku cuci tangan hanya saat mau makan, mandi, dan setelah memegang hal yang benar-benar kotor (sampah, pegangan pintu, dan tanah). Sekarang, hampir beberapa menit sekali aku cuci tangan. Hampir setiap menyentuh sesuatu, aku akan cuci tangan. Bahkan dalam waktu lima menit, aku bisa cuci tangan berkali-kali. Kalau kulit bisa menipis, aku rasa kulitku sudah habis lapisannya akibat terlalu sering cuci tangan.

3. Air terus mengalir

Akibat cuci tangan berkali-kali, tentunya konsumsi air menjadi bertambah. Apalagi, aku kini tidak sekadar kebiasaan mencuci tangan saja. Kebiasaanku yang lain juga membuat air di rumah serasa terus mengalir.

Sekarang, aku menjadi resik berlebihan. Aku mencuci hampir semua barang yang aku bawa dari luar rumah. Sayur dan buah semua kucuci dengan sabun khusus sebelum kubawa masuk. Belanjaan dari minimarket atau supermarket pun kucuci (atau setidaknya aku lap dengan tisu basah antibakteri) sebelum kusimpan di dalam rumah.

Selain itu, aku rasa aku juga jadi lebih sering mandi. Keluar sebentar dari rumah, pulangnya aku akan langsung mandi. Jika harus bertamu ke rumah saudara pun, aku mandi dulu sebelum bercengkrama dengan mereka.

4. Pengeluaran pindah haluan

Pengeluaranku selama 10 bulan terakhir ini meningkat untuk urusan sanitasi. Sekarang aku membeli lebih banyak tisu basah, disinfektan, sabun mandi, sampo, dan sabun cuci baju. Bukan untuk menadah, tapi memang dasarnya penggunaan yang meningkat pesat. Pengeluaran untuk kebutuhan binatu pun bertambah karena aku dan orang serumah kini pakai baju “sekali langsung cuci” (dulu kalau tidak keringatan, satu set baju bisa dipakai 2–3 kali baru dicuci). Tagihan air setiap bulannya sudah barang tentu turut naik.

5. Online jadi andalan

Sudah pasti, dengan kebiasaan di rumah saja, segala kebutuhanku akhirnya banyak yang harus dipenuhi dengan cara khusus. Cara yang tepat untuk membuatku tidak perlu keluar rumah tentunya adalah dengan memanfaatkan layanan daring (online).

Untuk kebutuhan rumah tangga dan keperluan lainnya, aku terbiasa membelinya dari pasar daring (marketplace) seperti Tokopedia dan Shopee. Tak perlu keluar rumah, semua kebutuhan diantarkan sampai pagar.

Soal jajan makanan, kini aku selalu mengandalkan layanan pemesanan makanan daring, misalnya saja Gofood dan Grabfood. Aku rasa, aku sudah menghabiskan banyak sekali uang untuk jajan makanan daring di kanal tersebut.

Bahkan urusan berobat saja, kini aku sudah terbiasa menggunakan layanan dokter daring dari Halodoc, Alodokter, dll. Aku yang dulunya suka melakukan apa-apa sendiri dan langsung mendatangi tempat terkait, kini lebih sering mengunjungi tempat terkait via ponsel pintar.

Tak hanya itu, kini belajar dan bekerja pun sudah bisa secara daring. Selama masa wabah ini, aku cukup sering mengikuti kelas dan seminar daring. Pekerjaan menulis juga untungnya sejak dulu memang bisa beres dengan bantuan dunia maya.

Menariknya lagi, untuk urusan belanja kebutuhan memasak juga selama 10 bulan ini terpenuhi tanpa aku harus pergi ke pasar. Cukup mengirimkan pesan singkat ke pedagang sayur dan pedagang daging langganan, semua bisa diantarkan ke rumah setiap pagi. Betapa enaknya ya?

6. Sampah bertambah

Sayangnya, salah satu dampak buruk wabah Covid-19 yang tidak bisa kita hindari adalah bertambahnya sampah. Sampah APD (masker) sekali pakai, tisu basah, tisu kering, alcohol swab, bungkus sabun, botol disinfektan, dan kemasan hand sanitizer menumpuk di mana-mana.

Selama wabah masih ada, kita diminta untuk lebih banyak di rumah. Itu artinya, jika sedang ingin makan selain makanan di rumah, kita harus membungkusnya karena risiko penularan virusnya lebih besar apabila makan di tempat. Karena harus membungkus makanan, tentunya kemasan bungkusan menjadi sebuah keharusan.

Dulu aku selalu mengguna ulang plastik dan kardus kemasan jajanan dari luar rumah, terutama jika kemasan tersebut masih bagus. Pada zaman yang sedang dikurung wabah ini, tentu kebiasaan itu menjadi tidak bisa dilakukan karena alasan kebersihan dan keamanan diri. Sekali pakai, langsung buang. Bayangkan berapa banyak sampah yang dihasilkan akibat kebiasaan satu ini?

7. Ketagihan jemuran

Aku menghabiskan masa kecil sampai remaja di Bali yang terkenal dengan pantainya yang menawan. Selama tinggal di sana, aku tidak pernah sekali pun sengaja ke pantai untuk sekadar berjemur. Tapi aku juga tidak bilang kalau aku anti matahari. Aku suka beraktivitas di bawah matahari, tapi tidak pernah sengaja untuk sekadar berjemur.

Nah, sejak wabah Korona ini merebak, banyak media dan ahli kesehatan yang menganjurkan orang untuk lebih sering berjemur. Dengan berjemur, seseorang akan mendapatkan vitamin D alami dari matahari yang bisa meningkatkan antibodi.

Anjuran itu kini kuikuti dengan rajin. Bersama Alfons, ibu, nenek, dan anjingku, setiap hari aku berjemur selama 15 menit di antara jam 9–11 siang. Jika sehari saja matahari tidak menyinari halaman rumah, terasa ada yang kurang.

Itu tujuh perubahan yang kurasakan sangat signifikan dalam kehidupanku selama 10 bulan ini. Mungkin ketika tiba saatnya wabah korona pergi dari dunia ini, kebiasaan yang sudah terlanjur lama dilakukan ini tidak akan hilang dengan mudahnya. Semoga sejumlah kebiasaan yang menguntungkan bisa tetap jalan dan yang tidak menguntungkan bisa kita akali.

Ada amin?

--

--