Generasi Roti Lapis, Enak Nggak?

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
7 min readAug 18, 2021
Foto oleh Nishaan ahmed di Unsplash

Siapa di sini suka roti lapis alias sandwich? Roti tawar yang renyah nan lembut mengapit daging, sayuran, dan saus. Sebuah makanan yang menyegarkan, gurih, sekaligus mengenyangkan. Biasanya sih, orang memakan roti lapis untuk sarapan.

Nah sekarang, siapa di sini yang suka jadi generasi roti lapis?

Menurut konsep roti lapis yang bertumpuk-tumpuk, generasi sandwich adalah orang yang menjadi isian roti lapisnya. Orang yang berada di tengah-tengah, terhimpit roti tawar dari atas dan dari bawah. Dalam kehidupan nyata, generasi roti lapis ini adalah orang yang hidupnya turut menghidupi generasi di atasnya (orang tua, bisa termasuk kakek nenek, om tante, atau buyut-buyut kalau masih hidup) dan generasi di bawahnya (anak, kakak, adik, keponakan, cucu, atau cicit).

2–3 tahun belakangan, jargon generasi sandwich menjadi populer di Indonesia. Bisa dibilang, jargon ini menjadi primadona yang terus dibahas oleh akun-akun pengasuhan (parenting) dan finansial di media massa dan media sosial. Selain memberikan pemahaman mengenai apa itu generasi sandwich, kebanyakan media bicara soal bagaimana cara memutus rantai generasi sandwich ini.

Lah, kenapa harus diputus?

Memang apa yang salah dengan generasi sandwich?

Foto oleh Noah Buscher di Unsplash

Menurutku, generasi sandwich muncul karena generasi yang di atas belum atau tidak bisa memenuhi kebutuhan (dan keinginan) hidupnya sehingga mereka harus mewariskan tanggung jawab pemenuhan tersebut ke generasi di bawahnya. Generasi di bawahnya kemudian menjadi harus menghidupi generasi di bawahnya lagi (saudaranya misalnya) sehingga si generasi yang sebelumnya di bawah menjadi berada di tengah. Lalu, selagi tanggung jawab masih sebanyak itu, generasi tengah tadi kemudian memiliki keturunan dan bertambahlah tanggung jawabnya.

Dalam kondisi seperti itu, di mana tanggung jawab menghidupi orang lain datang dari orang tua dan saudara atau anak sendiri, maka generasi tengah ini menjadi terhimpit. Terhimpit mungkin kasarnya bagi sebagian orang terasa “terjebak”. Terjebak membagi dirinya untuk: lebih dulu memenuhi kebutuhan dan keinginan orang tua serta saudara dan anak atau memenuhi kebutuhan sendiri?

Bersyukurlah jika pada dasarnya kita adalah orang yang kaya raya sehingga masih punya kelebihan harta untuk menghidupi banyak orang. Masalahnya, orang yang terjebak di generasi sandwich ini juga banyak yang berasal dari kalangan yang ekonominya pas-pasan. Jika sudah begitu, hidup orang seperti ini ujung-ujungnya habis untuk orang lain.

Generasi sandwich dipandang sebagai orang yang menanggung beban terlalu banyak, melebihi dari apa yang seharusnya ia tanggung. Mereka yang tidak termasuk dalam golongan generasi sandwich bisa hidup lebih bebas dan fokus pada pengembangan diri maupun masa depannya sendiri. Bisa memanjakan hobi, punya anak banyak, tamasya keliling dunia, makan sapi seekor tiap hari, dan punya rumah di bulan.

Lantas, bagaimana memutus rantai generasi sandwich?

Foto oleh Tony Rojas di Unsplash

Akun-akun di media massa maupun di media sosial rata-rata akan bicara soal kemapanan finansial. Siapkan dana darurat, siapkan dana pensiun, pertebal tabungan dan investasi, perbanyak asuransi, dan bla bla bla. Solusi yang ditawarkan kebanyakan mengedepankan soal bagaimana menyiapkan uang lebih banyak untuk memenuhi tanggung jawab dari atas dan dari bawah tersebut.

Satu hal yang mungkin tidak semua orang sadar adalah persoalan generasi sandwich ini sebenarnya melampaui masalah keuangan. Generasi sandwich sangat mungkin muncul karena pola pikir tertentu yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pola pikir yang mungkin baru bisa diubah melalui diskusi antara orang tua dengan anak.

Bagian yang paling sulit dari mengatasi dilema generasi sandwich ini (menurutku) bukanlah pada sisi finansialnya, melainkan pada sisi diskusi dengan orang tua. Aku dan Alfons sering membicarakan soal ini dan kami selalu sepakat bahwa diskusi antara anak dengan orang tuanya menjadi faktor yang paling penting untuk mencegah terjadinya generasi sandwich. Mengapa hal satu ini cukup jarang diangkat dalam tips-tips dari akun-akun media massa atau media sosial? Tentu karena hal ini susah sekali untuk dilakukan.

Menurutku (dan Alfons), generasi sandwich muncul dari kebiasaan orang tua yang tidak bicara terbuka soal kondisi kehidupannya kepada anak. Orang tua yang tidak mau terbuka untuk berdiskusi dengan anaknya mengenai apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka inginkan, dan bagaimana cara mereka mencapainya… bersama-sama.

Kebiasaan tersebut terjadi (mungkin) karena kecenderungan generasi yang lebih tua (tapi tidak semua ya) memosisikan diri sebagai superior terhadap generasi mudanya. Generasi di atas membentuk jarak dengan generasi di bawahnya, memastikan tetap ada rasa hormat dan segan di antara mereka.

Selain itu, sebagai yang lebih tua, seseorang cenderung ingin terlihat lebih hebat, lebih kuat, dan lebih mampu. Orang tua biasanya ingin terlihat sebagai superhero (pahlawan super) untuk anaknya. Karenanya, tabu untuk mereka memperlihatkan kelemahan di depan anak. Aku pun pernah merasa demikian di depan juniorku atau keponakanku.

Masalahnya, orang tua tidak bisa selamanya berlagak Superman di depan anaknya. Ketika anaknya semakin dewasa dan bisa menentukan mana yang salah dan benar, perlahan tapi pasti, mereka akan bisa melihat sendiri kelemahan dan kekurangan orang tua mereka. Anak yang dulu melihat kondisi rumah sepertinya aman-aman saja, mulai menyadari bahwa ada masalah di rumah itu. Misalnya, ternyata orang tua banyak utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau orang tua ternyata harus bekerja di tiga tempat sekaligus demi bisa menghidupi keluarganya.

Bagiku, masalah-masalah seperti itu perlu dibicarakan dengan anak, katakanlah ketika si anak sudah bisa mencari nafkah sendiri. Orang tua perlu memberitahukan anak tentang seberapa besar kemampuan mereka, apa saja yang ternyata perlu dipenuhi, dan bagaimana cara memenuhinya.

Apabila sudah tidak bisa menyanggupi sendiri, sebaiknya orang tua terbuka untuk memberitahukan anak jika ternyata butuh bantuan (kira-kira butuh bantuan seperti apa dan berapa besar). Jadi, si anak nantinya juga bisa mempertimbangkan kemampuannya. Harapannya, dengan melakukan hal tersebut, akan ketemu jalan tengahnya mengenai apa dan berapa yang perlu ditanggung anak, apa dan berapa yang perlu ditanggung orang tua.

Sebenarnya, kondisi peralihan tanggung jawab dari orang tua ke anak bisa saja ditekan seandainya pola pikir untuk selalu tahu kemampuan dan tahu merasa cukup terus ditanamkan dalam keluarga. Sebab, adanya kelebihan tanggung jawab yang sampai harus diwariskan ke anak ini sepertinya terjadi karena orang tua tidak atau belum mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

Mengapa tidak atau belum mampu memenuhinya? Karena mungkin lupa merasa cukup dengan kebutuhan yang ada (lupa bahwa kemampuannya hanya cukup sampai di titik tertentu) sehingga menambah keinginan yang dirasa harus diwujudkan. Untuk dapat melakukan itu, ditempuhlah berbagai cara, misalnya dengan mencicil, berutang, dan lainnya.

Dengan demikian, aku dan Alfons menyadari bahwa masalah generasi sandwich ini berangkat dari pola pikir yang melahirkan sebuah kebiasaan untuk keluar uang lebih besar daripada kemampuannya sehingga akhirnya berkembang menjadi sebuah masalah yang ujung-ujungnya soal duit. Banyak cicilan dan utang yang tidak bisa dibayar sendiri, banyak kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sendiri, dan seterusnya.

Mungkin tulisan ini terkesan seperti menentang kodrat anak untuk berbakti menghidupi orang tua. Padahal yang kutekankan lebih pada keadaan di mana seseorang HARUS menanggung hal yang semestinya menjadi tanggung jawab orang tuanya sendiri. Paham kan maksudnya? Contoh sederhananya soal utang. Anak tidak wajib lho membayar utang orang tuanya (apalagi utang yang timbul dari keinginan, misalnya utang untuk beli mobil mewah). Tapi ada orang tua yang bisa meminta bahkan memaksa anaknya untuk melunasi utang mereka.

(aku sering menggunakan utang sebagai contoh karena memang generasi sandwich umumnya merasa mendapat warisan utang dari orang tuanya).

Apalagi ternyata ada cukup banyak ada orang tua yang memang sengaja merawat anaknya agar suatu hari nanti bisa menjadi sumber kehidupan mereka. Pernyataan yang sering aku dengar dari ayahku itu “kalau anak sudah besar, orang tuanya tinggal panen hasil”. Orang tua sengaja merawat dan mendidik anaknya sepenuh hati, menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi agar si anak pintar dan jago cari duit besar saat sudah kerja. Saat si anak sudah bisa menghasilkan, waktunya anak mengabdi pada orang tua dengan menanggung semua kehidupan orang tuanya, kalau perlu sampai membayarkan utang-utang.

Hal seperti itu rasanya kecil kemungkinan terjadi kalau pihak orang tua membiasakan diri untuk menyadari kemampuannya sehingga segala kebutuhan dan keinginan dapat mereka penuhi secukupnya, sesuai kemampuan itu sendiri. Tidak ada yang berlebihan yang kemudian terpaksa harus dicukupi orang lain. Kalaupun ada yang perlu ditanggung orang lain, setidaknya jangan sampai memberatkan hidup orang tersebut.

Aku rasa penting bagi orang tua dan anak untuk membiasakan diri mendiskusikan apa saja, termasuk hal yang sensitif sekalipun. Ketika si anak sudah mulai mengerti konsep uang dan waktu secara matang, orang tua sebaiknya sudah mulai bertukar pikiran dengan anaknya mengenai bagaimana cara mengelola uang sendiri dan bersama.

Menanyakan apa saja kebutuhan dan keinginan keluarga yang perlu dipenuhi, bagaimana cara memenuhinya, siapa saja yang memenuhinya, dan sebesar apa memenuhinya menjadi sangat penting. Misalnya, siapa yang akan membayar listrik, siapa yang membayar cicilan mobil, siapa yang membayar kontrakan rumah, orang tua mau tinggal sendiri atau dengan anak, anak perlu ngasih orang tua uang minimal berapa, kalau orang tua sudah pensiun mau tinggal di mana, perlu biaya dari siapa dan dari mana, kalau orang tua tinggal terpisah dari anak mau dikunjungi berapa lama sekali dan perlu berapa uang bulanannya. Semua itu rasanya perlu untuk dibicarakan, setidaknya untuk mengetahui seberapa minimal kebutuhan yang ada dan siapa-siapa saja yang perlu memenuhinya.

Mungkin membicarakan itu terasa kaku dalam keluarga. Kesannya seperti berlebihan. Kok sama keluarga sendiri malah hitung-hitungan dan ada SOP nya seperti perusahaan? Ini keluarga atau apa?!

Aku rasa ketersinggungan seperti itu perlu dikesampingkan karena maksud dari pembicaraan itu jelas untuk mengetahui pembagian tanggung jawab bersama. Jadi sama-sama tahu dan sama-sama enak kalau memang mau saling membantu satu sama lain.

Jika hal tersebut sudah jalan selaras bersama, aku rasa jalan si anak untuk berketurunan menjadi lebih enak dan tidak berat. Persiapan punya keturunan pun bisa lebih matang. Punya keturunan pun tidak terasa menjadi beban tambahan.

Lantas, bagaimana kalau misalnya diskusi dengan keluarga tidak bisa berjalan dengan baik. Orang tua sudah terlalu keras, tidak bisa diajak tukar pikiran (bahkan cenderung menyalahkan anak, dianggap tidak mau membantu orang tua, dll.)?

Jalan yang mungkin bisa ditempuh adalah terima nasib, berusaha cari uang lebih banyak, dan pertimbangkan lebih matang jika ingin berketurunan. Langkah yang lebih ekstrim untuk memutuskan rantai generasi sandwich ini bagi sebagian besar orang mungkin dengan tidak menambah roti di lapisan bawah, alias tidak punya anak.

Kamu pilih yang mana?

--

--