Hidup boleh kan biasa saja?

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readAug 16, 2021
Foto oleh Mahdi Dastmard di Unsplash

Beberapa malam lalu, aku membaca (ulang) salah satu esai Seno Gumira Ajidarma yang ada di buku Affair. Esai berjudul “Berhala Urban: Semoga Sukses!” itu membicarakan soal pandangan umum orang soal kesuksesan. Kenapa sukses itu penting dan apa tolok ukurnya.

Sembari membaca, aku beberapa kali mengangguk pelan, mengamini isi tulisan Bung Seno. Bahkan belum selesai membaca, aku sudah berpikir akan membuat tulisan ini.

Mungkin pertanyaannya sangat klise. Apa sih sukses itu? Dari pertanyaan yang klise tersebut, kita bisa menemukan jawaban berbeda. Jawaban yang subjektif dan mungkin saja ada yang ajaib.

Seringnya, kesuksesan dipandang sebagai sebuah pencapaian yang melebihi standar normal. Misalnya, pengusaha. Suksesnya pengusaha bukan hanya soal bisa menjalankan usaha sendiri, melainkan jika sudah bisa membuka banyak cabang atau mencapai status nasional (bahkan global). Suksesnya seorang perempuan tidak hanya soal bisa mandiri, tetapi juga harus bisa menjadi ibu yang bertanggung jawab sekaligus wanita dengan karir yang mapan. Pokoknya semua harus di atas normal. Kalau kata Peterpan itu “kaki di kepala, kepala di kaki”.

Kebanyakan orang memandang sukses dari segi finansial dan status sosial. Seseorang dianggap sukses jika terbukti kaya raya dan punya jabatan tinggi di masyarakat. Bagi sebagian besar orang, menjadi pejabat tentu merupakan sebuah pencapaian kesuksesan yang nyata. Pengusaha yang punya pesawat pribadi pun juga demikian. Mereka-mereka ini, dianggap tokoh sukses yang menginspirasi.

Belum cukup sampai di situ. Konon seseorang resmi disebut sukses apabila ada pengakuan akan itu. Ada orang-orang yang mengakui bahwa orang tersebut sukses. Kamu baru bisa resmi disebut pengusaha sukses jika ada beberapa (bahkan banyak) orang yang mengakui dan membicarakan kehebatanmu dan usahamu. Semakin banyak orang tahu tentang kamu, maka semakin resmilah kesuksesan kamu.

***

Kita tahu bahwa bagi sebagian besar orang, hidup itu tidak mudah. Hidup itu sulit dan penuh perjuangan. Orang-orang kemudian berjuang lebih keras lagi demi mencapai kesuksesan. Harapannya, jika berhasil mencapai kesuksesan, hidup akan menjadi terasa lebih mudah. Setidaknya sudah ada uang yang menjadi salah satu solusi ketika masalah datang.

Satu hal yang selalu muncul di benakku (dan juga jadi pertanyaan di esai Seno yang kubaca), “bolehkah seseorang hidup biasa-biasa saja”? Tidak perlu sukses, tidak perlu ambisius, cukup menjalani yang sudah ada di depan mata dan berencana seperlunya?

Aku salah satu orang yang semakin tua merasa semakin ingin biasa saja. Aku seperti tidak punya ambisi untuk menjadi orang besar dan memiliki sesuatu yang besar. Aku tidak lagi berpikir bahwa menjadi orang yang dikenal banyak orang lain itu adalah suatu kebanggaan. Aku tidak merasa hidup itu harus mencapai sesuatu yang orang lain harus tahu.

Bagiku, hidup rasanya cukup untuk merasa cukup. Cukup uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, cukup kawan untuk memenuhi kebutuhan sosialisasi, cukup waktu untuk menjalani hari-hari, cukup sehat untuk berfungsi normal setiap waktu, dan cukup-cukup lainnya.

Kalau diingat-ingat, dari dulu aku juga bukan seseorang yang ambisius. Aku tidak punya cita-cita yang tinggi. Bisa hidup dari menulis dan bisa menerbitkan satu buku sendiri saja sudah cukup. Itu juga tidak perlu ada banyak orang yang baca, tidak perlu laris, tidak perlu ribet.

Lucunya, aku termasuk orang yang banyak hobi. Hobiku sendiri terbilang cukup bernilai lah. Kalau dimanjakan bisa membuatku perlu keluar banyak uang. Tapi ya tidak kemudian membuatku harus menjadi orang kaya melintir. Kalau ada uangnya ya manjakan hobi. Kalau tidak ada uangnya, ya bisa nanti-nanti dan tidak menyebabkan sakit hati.

Aku merasa hidup tidak harus berkejar-kejaran. Seringnya aku merasa hidup sebaiknya ya tahu merasa cukup dan biasa saja. Cukup jadi orang yang bisa menyenangkan diri sendiri dan orang terdekat. Caranya bisa macam-macam. Namun lagi-lagi, tidak perlu diambil pusing.

Katanya, keinginan orang untuk sukses menjadi semakin besar jika orang tersebut mengalami kesulitan hidup yang lebih. Semakin miskin dan berat hidup kamu di masa lalu, semakin kamu ingin sukses di masa depan.

Dipikir-pikir, hidupku dan Alfons di masa sekolah bisa dibilang banyak susahnya. Banyak hal yang kalau diingat-ingat, ya terasa menyedihkan. Banyak hal yang tidak ingin kami ulangi. Tapi ya cukup sampai dengan tidak mengulangi kesalahan kami (atau kesalahan orang lain) yang sama. Tidak lantas membuat kami ingin nantinya tajir melintir seperti Hartono bersaudara atau orang tuanya Sisca Kohl.

Sekarang aku dan Alfons sudah 1 tahun lebih tidak punya pekerjaan. Selama ini aku dan Alfons hidup mengandalkan tabungan. Kami cukup pusing dengan tabungan yang terus berkurang sementara pemasukan tidak ada. Tapi sampai hari ini, kami berdua masih bingung ambisi kami kemana dan apa hal besar yang ingin kami capai. Setiap ngobrol, kami rasanya selalu sepakat ingin hidup cukup saja. Alhasil kami berusaha secukupnya, tapi terus berjalan. Jika suatu hari nanti mencapai lebih, kami anggap itu bonus.

Tadinya kukira keadaan ini membuat kami menjadi ambisius ingin kaya banget. Ternyata tidak juga. Jadi kaya sih mau saja, tapi ya nggak ambisius dan nggak dikejar juga. Intinya sih tetap berjalan maju, tidak harus lari melulu. Kalau nanti dikasi waktu jadi kaya banget, ya bersyukur.

--

--