How to Take Smart Notes, Menulis Catatan Itu Esensial dalam Belajar.

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
9 min readFeb 22, 2023
Foto oleh Ron Lach di Pexels.

Aku suka membaca, bisa dibilang sangat suka. Ketika bisa menyelesaikan pembacaan dan mendapatkan wawasan baru, aku merasa terpuaskan. Setelah membaca, biasanya aku jadi merasa terinspirasi dan bersemangat, entah untuk menulis atau membaca lebih banyak lagi.

Meski begitu, membaca menjadi sebuah kegiatan yang seringkali akhirnya membebaniku. Sebab, kegiatan membaca memerlukan proses berpikir dan menyimpulkan. Apalagi setiap selesai membaca, aku berharap memiliki set wawasan baru yang bisa menjadi amunisiku untuk menulis atau membuat karya lain ke depannya.

Wawasan baru itu sendiri pada akhirnya tidak mungkin begitu saja menetap di otak lalu berubah menjadi nutrisi toh? Harus ada proses berpikir dan (bisa dibilang) manajemen lanjutan untuk membuat informasi yang masuk lebih tertata sedemikian rupa sehingga lebih mudah dipahami dan diingat untuk jangka waktu yang sangat lama.

Di sinilah proses mencatat mengambil peran pentingnya.

Nah, proses itulah yang bagiku merupakan sebuah beban. Beban karena sampai hari ini aku masih belum menemukan teknik mencatat yang tidak hanya efektif, tetapi juga menyenangkan untuk kulakukan.

Cara yang selama ini kupakai merupakan cara klasik dengan menandai kalimat yang penting menggunakan pena penyorot (highlighter). Kadang kala aku memberikan catatan langsung di samping kalimat tersebut (jika panjang akan kutambahi dengan memo tempel (sticky notes)).

Kelemahan cara tersebut tentunya adalah kerepotan membawa pena penyorot dan memo tempel bersamaan dengan bukunya. Belum lagi melihat lembar buku menjadi penuh warna dan coretan sebenarnya cukup membuatku risih, apalagi jika tintanya menembus ke halaman belakang.

Tak hanya itu, cara ini juga sangat tidak efektif karena nantinya tanda-tanda dan catatan yang kubuat hanya menumpuk di dalam buku tersebut. Suatu ketika membutuhkannya, aku harus mengambil waktu untuk membolak-balik halaman buku. Alhasil ya malah jadi pusing sendiri dan ujung-ujungnya penandaan maupun pencatatan yang kulakukan malah ikut tutup usia seiring dengan aku menutup halaman buku tersebut.

Tentu sayang rasanya jika pada akhirnya pembacaan kita tidak memberikan nutrisi apa pun pada pengalaman dan pemikiran kita… iya kan? Oleh karena itulah aku merasa perlu untuk belajar cara mencatat yang efektif. Efektif mengambil nutrisi dari informasi yang disampaikan, efektif menyuntikkan nutrisi tersebut otakku, dan efektif mengonversi nutrisi tersebut menjadi sebuah karya yang mengesankan.

Keperluan itulah yang kemudian mempertemukanku dengan buku How to Take Smart Notes karya Sönke Ahrens. Buku setebal 170an halaman ini fokus memperkenalkan teknik pencatatan pintar bernama Zettelkasten yang diciptakan oleh Niklas Luhmann, seorang profesor sosiologi asal Jerman. Tak sekadar memberikan panduan cara mempraktikkan teknik tersebut, Sönke Ahrens juga banyak memaparkan hasil riset yang mendukung argumennya.

Berulang kali Sönke Ahrens menyatakan bahwa teknik ini bersifat sederhana (padahal menurutku sih tidak ya. Ahaha). Ada proses panjang yang memang menyadarkan pembaca bahwa mencatat adalah media pembelajaran yang bemanfaat jika kita melakukannya dengan cerdas.

Ada sejumlah wawasan menarik yang kudapatkan dari buku Sönke Ahrens ini. Aku bahkan mendapat banyak pola pikir baru yang jujur saja cukup menjadi antitesis dari pemikiran yang telah langgeng sebelumnya.

Menulis catatan merupakan media belajar.

Foto oleh Aaron Burden di Unsplash

Sönke Ahrens dalam bukunya menekankan bagaimana kita sering kali menganggap menulis catatan sebagai hal sepele. Kita membiarkannya menjadi proses mekanis yang berlangsung otomatis untuk merekam hal yang menurut kita penting. Saking otomatisnya, kita jadi sibuk mencatat dan mengumpulkan catatan, lalu menumpuk catatan di pojokan sampai akhirnya kita lupa bahwa catatan itu pernah ada.

Padahal, menulis sendiri merupakan fasilitator atau media yang sangat efektif untuk membantu proses berpikir, membaca, belajar, memahami, dan membangun ide. Bisa dibilang, menulis merupakan bentuk eksternalisasi ide dalam pikiran kita. Dengan menuliskan isi kepala, kita jadi lebih mudah mengingat karena melihat bentuk konkretnya.

Selain itu, ekternalisasi pikiran melalui menulis catatan juga membantu kita mengosongkan memori di dalam otak untuk kemudian dapat diisi dengan memori lain. Tahu sendiri kan otak kita juga ada batasnya dalam menyimpan memori?

Menulis catatan dengan tangan lebih baik.

Foto oleh Mick Haupt di Unsplash

Di zaman serba digital ini, orang sering kali menganggap menulis menggunakan perangkat elektronik jauh lebih efektif. Ia bergerak cepat, tinggal copy-paste (salin-tempel) beres! Jika ada kesalahan juga bisa langsung diperbaiki tanpa menghabiskan banyak kertas.

Dari segi efisiensi, menulis catatan dengan perangkat elektronik memang terbukti unggul. Hanya saja, dari segi pembelajaran, bisa dibilang banal karena hanya fokus pada kelengkapan catatan/penyelesaian menulis, bukan pada pemahaman.

Sönke Ahrens menekankan bahwa menulis catatan secara manual (menggunakan tangan) membantu kita untuk terlebih dahulu memproses informasi. Kita cenderung berpikir dan berusaha memaknai informasi yang didapatkan, baru kemudian kita catat dengan menggunakan bahasa sendiri. Kita juga cenderung lebih berhati-hati dalam menulis menggunakan tangan karena kalau salah, repot benerinnya!

Bisa dibilang, menulis catatan dengan tangan menjadi bentuk transkreasi, di mana kita merombak ulang informasi yang masuk untuk kita catat dengan bahasa sendiri. Dengan begitu, informasi menjadi lebih kita pahami dan kita ingat dalam jangka waktu lama.

If you want to learn something for the long run, you have to write it down. If you want to really understand something, you have to translate it into your own words. (halaman 26).

Multitasking/multitugas bukanlah kemampuan spesial.

Foto oleh Markus Winkler di Pexels.

Wawasan satu ini terbilang menyadarkan aku. Aku yang terbiasa ingin mengerjakan banyak hal sekaligus, serasa ditampar bolak balik. Ternyata kebiasaan itu bukan hal baik. Hahaha!

Dalam bukunya, Sönke Ahrens memaparkan argumen mengenai kelemahan multitugas, didukung dengan berbagai hasil penelitian yang valid. Menurutnya, multitugas cenderung memecah fokus atau perhatian pada banyak hal sekaligus, tetapi tidak berarti perhatian pada masing-masing hal tepat 100%.

Tak hanya memecah fokus, pada akhirnya multitugas membuat produktivitas menurun karena kita tidak mencurahkan perhatian penuh pada masing-masing aktivitas. Sederhananya, kita seharusnya bisa mencurahkan perhatian dan kemampuan sebanyak 100% untuk masing-masing aktivitas jika dilakukan satu per satu.

Fokus dalam setiap tahap menulis berbeda-beda.

Foto oleh Oleksandr Pidvalnyi di Pexels.

Wawasan ini sangat penting sekali untuk diketahui seorang penulis. Dalam membuat tulisan, ada banyak tahap yang dilalui. Sebut saja elaborasi data, membuat draf, menyunting, membaca pruf, dan mengkritisi. Setiap tahap perlu dilakukan dengan memberikan fokus penuh pada bagian yang benar demi memastikan produktivitas maksimal.

Sönke Ahrens memaparkan penjelasan mengenai perbedaan fokus masing-masing tahapan. Misalnya saat membaca pruf, kita perlu meninggalkan cara berpikir kritis karena hal yang menjadi tujuan utama bukanlah memperbaiki logika tulisan, tetapi lebih pada memperbaiki salah ketik dan memastikan pemilihan kata sudah tepat.

Begitu pula saat mengkritisi; tugas utamanya bukanlah lagi memerhatikan kesempurnaan EYD, tetapi lebih pada menggali logika pemaparan serta membongkar argumentasi dalam tulisan terkait.

Kunci penulisan yang produktif adalah pencatatan cerdas.

Foto oleh Hugo Rocha di Unsplash

Pencatatan cerdas tidak sekadar memastikan kita bisa mengumpulkan informasi dengan rapi dan mudah diakses. Lebih jauh, pencatatan cerdas itu memastikan kita memiliki bank informasi yang terstruktur dan bermanfaat dalam membangun ide-ide menarik. Dalam proses mencatat pun ada kegiatan membangun pola berpikir yang kuat untuk menghasilkan ide-ide segar.

Teknik pencatatan cerdas yang diusung Sönke Ahrens dalam buku ini bernama Zettelkasten. Zettelkasten merupakan sebuah kebiasaan yang dibangun oleh Niklas Luhmann, yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu penulis paling produktif (yang tidak sekadar melahirkan karya yang banyak, tetapi juga berbobot).

Zettelkasten membangun kebiasaan baik membuat catatan yang terstruktur sehingga setiap ide dan informasi bernilai tidak hilang begitu saja. Menurutku, kunci dari Zettelkasten adalah membuka peluang seluas-luasnya untuk mengumpulkan ide dan informasi di sekitar kita.

Dalam mengumpulkan ide dan informasi, kita turut melakukan elaborasi dengan membuat struktur sehingga setiap ide terhubung dan tersusun dengan rapi dan mudah dipahami. Tujuan pencatatan ini juga menjadikan kita tetap memiliki pemahaman penuh sekalipun sudah tidak lagi mengingat konteks awal penemuan ide dan informasi tersebut.

We learn something not only when we connect it to prior knowledge and try to understand its broader implications (elaboration), but also when we try to retrieve it at different times (spacing) in different contexts (variation), ideally with the help of chance (contextual interference) and with a deliberate effort (retrieval). (halaman 112).

Menariknya, teknik pencatatan cerdas yang ditonjolkan oleh Sönke Ahrens menjadi antitesis untuk teknik pembelajaran yang selama ini kita pelajari di institusi pendidikan. Pandangan akademisi meyakini bahwa proses pencatatan biasanya dilakukan sebagai bagian dari penelitian. Kita umumnya mencatat dari berbagai sumber setelah menentukan topik penelitian terlebih dahulu.

Nah, di dalam buku ini, Sönke Ahrens menegaskan bahwa menentukan topik penelitian di awal adalah sesuatu yang tidak produktif karena jelas-jelas membatasi kita dalam berpikir. Dengan adanya topik di awal, proses pengumpulan informasi dan pencatatan menjadi cenderung bias untuk mengumpulkan hanya yang mendukung penelitian. Padahal, kunci kekuatan argumentasi yang dibangun berasal dari kekayaan informasi dari berbagai pandangan yang relevan, bukan sekadar yang sejalan/mendukung.

Dengan Zettelkasten, kita sejak awal sudah membiasakan diri mengumpulkan dan mengelaborasi informasi. Pada akhirnya ketika akan membuat proyek penelitian, kita malah hanya tinggal memilih salah satu ide dari sekian banyak yang sudah kita catat selama ini. Pun ide-ide tersebut sudah kita pahami dengan baik karena sudah terhubung dengan banyak catatan yang selama ini kita kumpulkan.

Beberapa penerapan Zettelkasten.

Zettelkasten menekankan pentingnya mengumpulkan ide dan membangun struktur pemikiran yang rapi. Harapannya, pencatatan ini bukan hanya menjadi pengingat saja, tetapi juga sebagai proses pengembangan ide dan wawasan. Di sini, bukan membaca sebanyak-banyaknya buku yang menjadi penentu, melainkan seberapa aktif kita mengolah dan mengelaborasi berbagai informasi dalam catatan.

Adapun dalam menerapkan teknik pencatatan cerdas Zettelkasten, kita memerlukan kotak perangkat (tool-box) yang berisi:

  1. alat tulis untuk mencatat (pena dan pulpen sudah cukup).
  2. sistem manajemen referensi (Ada banyak aplikasi untuk mencatat referensi. Salah satu yang disebutkan Sönke Ahrens adalah Zotero dan Endnote).
  3. slip-box untuk menjadi bank catatan (aku sedang belajar memakai Obsidian sekarang).
  4. editor/penyunting untuk membantu mengemas ide menjadi tulisan yang baik dan benar.

Bermodal kotak perangkat tersebut, kita bisa memulai Zettelkasten dengan membiasakan melakukan penulisan catatan sebagai berikut:

  1. Fleeting notes (catatan sekilas). Merupakan catatan ringkas yang dilakukan setiap kali ada ide muncul. Bentuknya berupa catatan pendek yang berisi ide-ide yang muncul dengan cepat sewaktu-waktu. Catatan sekilas ini sebaiknya diproses dalam 1–2 hari yang sama agar tidak keburu menguap dan dilupakan. Karena sifatnya yang sekilas, catatan ini bukan untuk disimpan dalam jangka panjang, melainkan untuk diproses menjadi catatan permanen dan ide baru. Kita bisa membuat fleeting notes dengan menggunakan pena dan buku kecil atau bisa juga dengan aplikasi notes di ponsel pintarmu itu.
  2. Literature/reference notes (catatan literatur). Merupakan catatan referensi atau pencatatan yang dilakukan setiap kali membaca sesuatu. Catatan ini bisa berupa komentar mengenai konten maupun intepretasi terkait informasi yang kita baca. Dalam membuat catatan jenis ini, sebaiknya kita jangan hanya mengutip mentah-mentah, tetapi buatlah translasi atau transkreasi menggunakan bahasa sendiri untuk memastikan kita benar-benar mengerti. Catatan referensi ini sebaiknya disimpan dalam detail bibliografi.
  3. Permanent notes (catatan permanen). Merupakan catatan dengan elaborasi dari berbagai fleeting notes dan literature notes. Catatan ini dibuat dengan struktur yang saling terhubung, bukan hanya soal topik yang sama. Usahakan mencatat satu ide dalam satu halaman ringkas yang terbaca dalam sekali membuka halaman. Catatan permanen ini ditulis dengan cara khusus untuk memastikan isinya dapat tetap dipahami sekalipun kita sudah tidak lagi ingat konteks awal catatan itu diambil.

A good structure allows you to…, to move seamlessly from one task to another — without threatening the whole arrangement or losing sight of bigger picture. A good structure is something you can trust. It relieves you from the burden of remembering and keeping track of everything. (halaman 11).

Aku sendiri masih perlu belajar banyak mengenai pencatatan cerdas ini. Selain soal mencatat dengan cerdas, penting juga menjaga konsistensi dalam melakukannya ya. Nah, urusan konsistensi inilah yang menjadi PR sebenarnya untukku. Hahaha!

--

--