Juvenile Justice , Keadilan anak-anak adalah perkara orang dewasa

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
11 min readOct 21, 2022
Sumber foto: Pikiran Rakyat.

Aku merupakan orang yang paling mudah menghakimi orang lain, terutama orang tua. Pengalaman dan pelajaran hidup membuatku menjadi mahkluk yang mudah sekali mengambil keputusan bahwa “jika seorang anak berbuat atau menjadi sesuatu yang buruk, kesalahan pertama ada di tangan orang tuanya”.

Kecenderungan ini bukan hal yang membanggakan. Ini sebuah bias yang kurang empati dan kurang peduli. Mungkin tendensi itu juga yang membuat aku tertarik untuk menonton drama Korea berjudul Juvenile Justice ini.

Sebagai orang yang selama ini sangat sulit untuk tertarik menyaksikan hiburan dari Korea Selatan, aku langsung memasukkan Juvenile Justice ke dalam daftar tontonan ketika Netflix mengumumkan akan menayangkan serial drama Korea ini. Judulnya sangat menarik, premisnya pun demikian.

Sumber foto: Netflix.

Ide besar serial drama ini adalah tentang pengadilan pelaku kriminal anak. Aku sudah membayangkan bahwa film ini akan sarat membahas sebab akibat dari kasus kriminal anak. “Wah pasti banyak menyalahkan orang tua, nih!” ucapku dalam hati. Senang rasanya bisa memberi makan egoku sendiri melalui film ini.

Akhirnya di awal Maret kemarin mulailah aku menonton Juvenile Justice. Drama Korea ini terdiri dari 10 episode, dengan durasi rata-rata 1 jam per episode. Episode 1 dan 2 aku nonton beriringan, lalu terjeda selama beberapa hari karena tiba-tiba suasana hatiku sedang ingin lebih banyak membaca dan menulis.

Selang beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk melanjutkan 8 episode sisanya. Benar saja aku menyelesaikan 8 episode sisanya dalam 1 hari.

Juvenile Justice menjadi sebuah tontonan yang sarat perenungan, terutama untuk orang dewasa (tidak hanya untuk orang tua). Pepatah lama yang bilang “butuh satu kampung untuk membesarkan seorang anak” itu benar adanya.

Tontonan ini pada akhirnya tidak memberi makan egoku tetapi malah membuatku menyadari bahwa pada dasarnya menjadi orang tua itu memang susah sekaliiiiiiiiih!

Menonton Juvenile Justice membuatku bisa menurunkan skeptisku pada orang tua (turun ya, bukan hilang).

Hakim Shim yang begitu tegas dan dingin terhadap anak-anak. (Sumber foto: Netflix)

Tokoh utama Juvenile Justice adalah seorang hakim bernama Shim Eun-Seok yang sangat membenci pelaku kriminal anak. Dia sangat dingin, tegas, berani, dan lugas dalam menyampaikan pemikirannya perihal kasus kriminal anak. Baginya pelaku kriminal anak juga perlu dikoreksi dengan memberikan sanksi tegas agar mereka benar-benar bisa berubah dan tidak meremehkan hukum.

Tokoh pendukung utamanya adalah hakim lelaki Cha Tae-Joo yang merupakan hakim pendamping (mungkin bisa dibilang hakim junior) dari Hakim Shim. Berbeda dengan Hakim Shim, Hakim Cha benar-benar memiliki sifat yang hangat dan sangat ramah, mengayomi “anak-anak nakal”.

Perbedaan sifat Hakim Cha dengan Hakim Shim ini membuat mereka berdua sering terlibat perdebatan. Cha sangat optimis pelaku kriminal anak adalah sosok yang harus dirangkul dan bisa berubah. Di sisi sebaliknya, Shim sangat skeptis terhadap pelaku kriminal anak. Oleh karena itu, dia cenderung memberi masukan dan sanksi sangat keras untuk para pelaku agar mereka kapok dan tobat.

Pergulatan efektivitas hukuman untuk pelaku kriminal anak

Sumber foto: Netflix.

Film berdurasi 50 menitan per episode ini bergelut dalam isu di atas sebagai diskursus utamanya. Penonton serasa diajak untuk mengalami langsung dan memantau proses persidangan pelaku kriminal anak.

Sejumlah monolog dan dialog menuturkan perdebatan mengenai efektivitas hukuman terhadap para pelaku kriminal yang berusia sangat muda ini. Dalam beberapa adegan, perdebatan tersebut bahkan digambarkan secara gamblang dengan teriakan dan mata yang melotot.

Isu utama yang dipertanyakan apakah sistem hukum yang ada saat ini bisa membantu mengoreksi aktivitas kriminal anak? Lebih esensial lagi, Hakim Shim dan Hakim Ketua Kang bahkan pernah mempertanyakan apa fungsi hukum sebenarnya terkait hal ini. Mereka menyangsikan apakah hukum yang berlaku saat ini mengetahui apa yang dibutuhkan untuk memberantas tindak kriminal yang dilakukan oleh kalangan anak-anak.

Pada sebuah episode bahkan sempat digambarkan usaha Hakim Ketua Kang yang mendedikasikan karirnya untuk membangun sistem hukum yang ideal untuk kasus kriminal anak ini.

Selama menonton film ini, aku melihat konflik tersebut berfokus pada pertanyaan apakah pelaku kriminal anak harus “direhabilitasi atau dipenjara”. Hukum di Korea Selatan sepertinya masih meyakini bahwa pelaku kriminal anak tidak bisa dipenjara sebagaimana orang dewasa. Mereka sebaiknya dibina dengan menjalani proses koreksi melalui lembaga khusus (bisa dibilang “rehabilitasi”).

Hakim Shim menjadi sosok yang lebih tegas daripada itu. Dia skeptis terhadap lembaga koreksi anak-anak. Menurutnya, pelaku kriminal anak juga perlu menghadapi hukuman yang tegas agar mereka sadar apa yang mereka lakukan itu salah.

Khususnya di episode 2 dan 3, terdapat beberapa adegan di mana masyarakat menuntut penghapusan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak karena dianggap tidak melindungi korban dengan memberikan hukuman dan perlindungan ringan terhadap pelaku kriminal anak. Apabila hukum ini dihapus, maka semua pelaku kriminal anak dapat dijerat UU Hukum Pidana secara umum.

Terbukti memang, tindakan koreksi melalui pendekatan personal, bimbingan konseling, dan pengabdian sosial tidak membuat semua pelaku kriminal anak kapok. Beberapa episode (bahkan sepertinya semua episode) memperlihatkan kecenderungan pelaku kriminal anak mengulangi tindakan melawan hukum yang sama, bahkan ada yang menjadi semakin parah (semakin membangkang).

Saat menonton film ini, aku juga ikut berpikir. Aku juga tergoda untuk mencari tahu apa tujuan sebenarnya dari hukum yang berlaku itu (tentu kaitannya dengan kasus kriminal anak). Apakah hukum itu dibuat untuk (1) memberikan ganjaran dan membuat pelaku kapok, (2) memberikan pelajaran dan membuat pelaku mengerti, atau (3) mendapatkan pemahaman dan memberikan pertolongan?.

Dalam hal menghadapi kasus kriminal yang dilakukan anak-anak, aku cukup meyakini bahwa hal pertama yang dibutuhkan adalah poin ketiga. Alasannya jelas, pelaku kriminal adalah minoritas atau manusia di bawah umur. Dalam kategori ini, besar kemungkinan pola pikir pelaku belum matang.

Untuk menghadapi hal tersebut, hal yang perlu dilakukan adalah dengan terlebih dahulu memahami alasan mengapa si anak melakukan tindakan kriminal. Berdasarkan narasi film Juvenile Justice, aku menemukan setidaknya ada tiga alasan terbesar anak di bawah umur melakukan tindakan kriminal.

Sumber foto: Monstera.

Pertama adalah pengaruh keluarga. Keluarga dalam hal ini tentunya adalah orang tua. Peran orang tua sangat besar dalam pembentukan karakter dan pola pikir anak. Ada kalanya kelakukan orang tua (baik secara langsung maupun tidak langsung) malah mendorong anaknya untuk melakukan tindakan kriminal. Misalnya dari kecil selalu melihat orang tuanya berbohong dan berlaku kasar.

Kedua adalah terdesak atau terpaksa. Alasan ini biasanya bermaksud untuk menyelamatkan diri atau menyelamatkan orang yang dipedulikan. Misalnya: merampok demi mendapatkan uang untuk bertahan hidup atau membunuh ayah karena selalu menyiksa ibunya.

Ketiga adalah gangguan kejiwaan. Tidak bisa dimungkiri, kondisi kejiwaan bisa mendorong seseorang melakukan tindakan di luar nalar. Biasanya, pelaku kriminal dengan latar belakang kondisi kejiwaan yang terganggu tidak bisa dijatuhi hukuman penjara. Paling mungkin adalah memasukkan orang tersebut ke rumah sakit jiwa.

Dalam film Juvenile Justice, alasan kondisi kejiwaan langsung disorot di episode 1. Menariknya, justru dalam kasus di episode tersebut, pelaku malah memanfaatkan kondisi kejiwaannya tadi untuk melakukan tindakan kriminal.

Ia sengaja mengaku menjadi pelaku dan menyatakan bahwa melakukannya karena bisikan suara akibat skizofrenia yang dideritanya. Dia bahkan sempat mengatakan bahwa dia tahu jika hukum tidak bisa memenjarakan seseorang yang memiliki gangguan jiwa. Apalagi ketambahan jika masih di bawah umur.

Pada kasus begini, penetapan hukuman menjadi lebih kompleks. Sebab, pengadilan perlu melakukan kroscek diagnosa kejiwaan (proses ini digambarkan juga secara detail pada dokumenter Monsters Inside: 24 Faces of Billy Mulligan. Mungkin kalau ingin, nanti kubuat juga ulasan soal film satu itu).

Perilaku orang tua berperan dalam perilaku kriminal anak

Sumber foto: Netflix.

Juvenile Justice memberikan tamparan keras kepada orang dewasa, terutama para orang tua. Masing-masing episode di film ini menggambarkan betapa perilaku orang tua berperang penting dalam perilaku kriminal anak.

Episode 1 dan 2 berfokus pada kasus pembunuhan anak SD yang dilakukan oleh 2 remaja, laki-laki dan perempuan. Ibu si remaja laki-laki tampak “agak” meremehkan kasus anaknya. Ia memilih fokus berusaha memastikan anaknya tidak dihukum berat (bahkan dibebaskan) daripada memahami kondisi korban dan keluarga korban, termasuk menggali alasan kenapa anaknya bisa terjerat kriminal.

Hakim Shim selalu dingin dan tegas ketika memaparkan kesalahan si anak, di depan orang tua yang memaksa ingin anaknya dibebaskan. (Sumber foto: Netflix)

Sementara itu, orang tua si remaja perempuan tidak ada di tempat. Kelihatannya terlalu sibuk bekerja di Amerika sehingga menyerahkan penanganan kasus anaknya melalui pengacaranya saja.

Episode 3 menampilkan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Fokus cerita pada seorang remaja perempuan nakal yang kabur dari rumah dan hidup berkeliaran dengan anak nakal lain, serta sering melakukan pelanggaran hukum.

Melalui penyelidikan mendalam, diketahui bahwa remaja ini adalah korban penganiayaan oleh ayahnya sendiri. Selama ini, penganiayaan tersebut tidak terlaporkan karena nenek si remaja (ibu dari ayah si remaja) menutupi hal tersebut. Si nenek meminta si remaja memaklumi perbuatan ayahnya karena si ayah pun merupakan korban perlakuan kasar dari ayahnya sendiri juga. Sebuah lingkaran setan yang akhirnya mengorbankan anak-anak juga.

Episode 4 dan 5 menjadi episode favoritku karena menggambarkan bagaimana lembaga konseling remaja yang dianggap menjadi solusi koreksi pelaku kriminal anak, malah ternyata bobrok juga. Secara khusus, episode 4 menyoroti penyelidikan Hakim Shim dan Hakim Tae-ju pada laporan telepon tanpa nama tentang tindak korupsi dan kekerasan di lembaga konseling remaja (yang dilakukan oleh Nyonya O selaku pengelola lembaga tersebut). Lembaga konseling remaja yang dimaksud adalah Pureum, rekan terbaik pengadilan Hakim Kang dalam menyediakan layanan konseling dan rehabilitasi untuk pelaku kriminal anak.

Hal yang menarik adalah ternyata si penelepon yang melapor adalah putri Nyonya O sendiri. Dia melakukannya karena ingin lembaga asuhan ibunya tersebut ditutup. Si putri ini merasa anak-anak asuhan tersebut tidak pantas diberikan perawatan yang baik karena mereka tetap nakal dan bahkan bersikap kurang ajar terhadap Nyonya O. Menurutnya, akibat terlalu sibuk mengelola Pureum, hidup Nyonya O juga jadi berantakan. Beliau keguguran, ditinggal suami, dan kurang memperhatikan kedua putri kandungnya.

Buntut dari laporan ini sangat panjang. Nyonya O jatuh sakit dan anak-anak asuhan diusir oleh putri Nyonya O karena mereka malah bersenang-senang merayakan sakitnya Nyonya O. Putri Nyonya O mengamuk dan menghancurkan seisi lembaga tersebut. Kasus menjadi bertambah runyam karena dalam pelarian, anak-anak nakal tersebut terlibat prostitusi berbahaya.

Dari kejadian ini, terlihat bagaimana seseorang yang mengabdikan diri untuk merawat dan memperbaiki kehidupan pelaku kriminal anak, pada akhirnya ternyata dianggap gagal dalam relasinya dengan anaknya sendiri. Sering aku juga berpikir apakah mereka yang mengabdikan dirinya untuk orang lain sudah benar-benar “berhasil” mengurus “lingkaran dalamnya” dulu.

Selanjutnya, episode 6 dan 7 fokus pada sistem pendidikan di mana kasus yang mencuat adalah soal kebocoran soal ujian di SMA ternama di Korea Selatan. Kebocoran soal diduga dilakukan secara sengaja dan terencana oleh sebuah grup pelajar unggulan bernama Discartes.

Menariknya, putra Hakim Ketua Kang ada di dalam grup itu dan menjadi salah satu pelakunya. Ia bergabung di grup tersebut karena disuruh ibunya sendiri dan karena merasa ingin berhasil akibat selalu diremehkan oleh ayahnya.

Pada 2 episode kali ini, cerita menekankan pada perang batin Hakim Ketua Kang yang ingin mengakui itu kepada publik, namun tidak diperbolehkan karena ia sedang dalam proses pencalonan sebagai anggotan dewan. Beliau pun terpaksa memanipulasi penyidikan untuk menghindari nama anaknya terekspos.

Hal ini berbuntut panjang, bahkan sampai putra Hakin Ketua Kang melakukan percobaan bunuh diri. Tentunya, Hakim Shim dan Hakim Tae-ju akhirnya berhasil membongkar kasus tersebut dan Hakim Ketua Kang melepas jabatannya.

Pelajaran dari episode ini adalah ambisi dan ekspektasi orang tua yang terlalu besar terhadap anak biasanya berbuntut pada perilaku yang terlalu meremehkan dan menekan anak. Anak-anak yang merasa ingin membuktikan diri sangat mungkin terjerumus ke hal-hal tidak baik karena ingin menghalalkan segala cara.

Episode 8 sangat membuat gregretan. Kasus yang diangkat adalah kasus kecelakaan mobil yang menewaskan seorang remaja laki-laki (si pengemudi mobil) dan satu orang pengendara motor.

Usut punya usut, remaja lelaki itu kebut-kebutan bersama teman-teman sebayanya untuk menghindari kejaran polisi. Ada pun ternyata si remaja lelaki itu diancam oleh teman-temannya tersebut untuk menyewa mobil dan memalsukan identitas. Ketika dikejar polisi, teman-temannya juga mengancam si pengemudi untuk terus mengebut agar jangan sampai tertangkap.

Pelaku yang kemudian disidang adalah teman-teman si remaja lelaki yang berada satu mobil saat kejadian itu. Hal yang menyedihkan adalah si pengemudi mobil itu ternyata merupakan salah satu mantan pelaku kriminal anak yang sangat dekat dengan Hakim Cha (ada muncul sekilas di episode 1).

Pada kasus ini, orang tua para remaja merupakan orang kaya sehingga sangat meremehkan hukum. Mereka benar-benar mengandalkan segala cara untuk memastikan anak-anak mereka tidak dihukum. Buntut-buntutnya ya jadilah para remaja itu tidak merasa bersalah sama sekali dan jadi ikut menganggap enteng hukum. Padahal, kenakalan mereka sudah membuat seorang ibu kehilangan putera dan seorang wanita muda menjadi janda (kalau tidak salah wanita itu sedang hamil malah).

Episode 9 dan 10 membawa Hakim Shim berhadapan dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan sejumlah remaja pria terhadap seorang remaja perempuan. Dari empat pelaku yang terlibat, dua pelaku yang menjadi otak kejahatan tersebut ternyata adalah orang yang menyebabkan kematian anak Hakim Shim saat mereka masih kecil.

Dalam kasus ini, para pelaku menceritakan bagaimana orang tua mereka tidak peduli pada anak-anaknya. Orang tua mereka tidak meluangkan waktu untuk menemani, mendidik, dan mengarahkan mereka.

Pada sebuah adegan di penjara anak, dua orang pelaku bahkan terang-terangan mengatakan bahwa jika orang tua mereka baik, mungkin hidup mereka tidak akan begini.

Institusi pendidikan dan koreksi terkadang malah memperburuk keadaan

Sumber foto: Netflix.

Menuju penghujung serial ini, penceritaan kasus semakin keras menyoroti soal kebobrokan sistem pendidikan dan hukum. Kedua sistem yang dianggap penting dalam mendidik anak-anak secara lebih baik dan benar, ternyata menjadi salah satu alasan kasus kriminal anak meningkat.

Pada sistem pendidikan misalnya. Episode 6 dan 7 menggambarkan bagaimana para orang tua murid bersedia melakukan cara kotor (termasuk menyuap) untuk memastikan anaknya bisa masuk sekolah yang bagus. Persaingan tidak sehat ini muncul karena adanya standar bahwa anak yang pintar adalah mereka yang nilainya sempurna dan berhasil masuk sekolah unggulan.

Permasalahannya, untuk mendapatkan nilai baik ternyata dibutuhkan “usaha” tidak hanya belajar. Murid-murid harus ikut bimbingan belajar tambahan, yang mana hal begini hanya bisa diakses oleh mereka yang lebih kaya. Mereka harus membangun koneksi, memberi sumbangan, dan bla bla bla.

Selain nilai, ada indikator lain yang juga ternyata hanya bisa dicapai oleh mereka yang bersedia membayar lebih. Persaingan tidak sehat ini membuat anak-anak jadi tertekan. Apalagi ditambah dengan ambisi orang tua yang ingin anaknya selalu memenangkan persaingan.

Dari sisi hukum, Juvenile Justice menyoroti bagaimana sebuah pengadilan untuk kasus kriminal anak banyak yang lebih mementingkan kasus selesai “cepat”, dibandingkan selesai “tepat”. Pada setiap episode, Hakim Shim selalu ribut dengan Hakim Ketua yang merasa Hakim Shim membuat repot pengadilan dengan melakukan penyelidikan terlalu dalam.

Padahal, Hakim Shim melakukan penyelidikan tersebut untuk memastikan bahwa vonis yang ia jatuhkan nanti sesuai dengan keadaan dan kenyataan, dan tentunya setimpal.

Pada episode terakhir, Hakim Shim mengkritik kebiasaan Hakim Ketua Na Geun-Hee (pengganti Hakim Ketua Kang) yang selalu menekankan pentingnya memberikan vonis cepat. Hakim Shim mengatakan bahwa hal tersebut membuat para pelaku kriminal anak meremehkan hukum karena pengadilan mereka pun diremehkan menjadi “yang penting cepat selesai”. Masalah vonis setimpal apa tidak, bukan menjadi perhatian hakim.

Selain itu, Hakim Shim juga menyesali kenyataan bahwa hukum pada akhirnya tidak bisa adil untuk semua orang. Vonis yang diberikan pada kasus-kasus di film ini pada dasarnya tidak diterima semua orang sebagai sebuah keadilan memuaskan. Tetap ada kesan “tidak adil” bagi korban.

Yah begitulah kehidupan ya. Pelaku bisa diadili. Namun, rasa sakit, luka, dan trauma korban tidak bisa hilang dan tergantikan dengan apa pun. Dalam kasus kriminal, pusat perhatian pemberitaan pun selalu soal pelaku. Pelaku tenar, korban malah semakin depresi karena melihat dan mendengar soal pelaku di mana-mana.

Semua dikerdilkan menjadi soal pelaku sudah dihukum atau belum. Begitu hukuman terpenuhi, sering kali pelaku bisa kembali ke masyarakat dan hidup normal. Sementara itu, korban selamanya hidup dengan trauma dan luka, bahkan mungkin rasa malu.

Pelik ya. Nelangsa.

--

--