Karib dengan Depresi
Tulisan ini kubuat bukan untuk ikut-ikutan ramai. Topik ini begitu dekat dengan kehidupan sehari-hariku dan sebenarnya sudah lama sekali ingin kutulis. Hanya saja, lagi-lagi si malas mengambil jatah waktuku terlalu banyak.
Depresi itu pembunuh sadis. Dia membunuh korbannya dengan berbagai cara. Dalam diam, dalam ledakan kecil, hingga dalam ledakan besar yang membunuh sekitarnya. Seseorang yang berkawan dengan depresi, selamanya akan lekat. Depresi tak lagi sekadar menjadi momen sekejap yang kemudian lesap jika dimanja pelesiran.
Pasalnya, depresi sekarang menjadi ramai, bahkan seperti sebuah tren yang meledak dan menyebar ke mana-mana. Depresi saat ini sudah banyak menjadi kembaran siam manusia. Artinya, depresi mengikuti seseorang sejak dalam kandungan. Ia ikut menikmati asupan gizi dari tali pusar ibu. Ia menempel padamu sejak kamu masih berupa janin. Menempel di otak, di hati, di jantung, hingga di perut, bahkan mungkin seluruh tubuh. Bisa dibilang, depresi menjadi parasit dalam tubuh. Tidak selalu terlihat, bahkan dalam lensa mikroskop atau kamera sinar X sekalipun. Sudah tak terlihat, menyebar ke mana-mana pula.
Seseorang yang depresi mungkin sekali untuk terlihat baik-baik saja. Bahkan bisa tampak sangat bahagia dan malah menghibur dunia sekitarnya. Seorang yang depresif bahkan bisa jadi seorang berbakat yang karyanya melegenda. Ironinya, mahakaryanya mungkin menjadi begitu bagusnya karena ada suara depresi di sana. Contoh terdekatnya, ya Chester Bennington. Seorang muda yang suaranya luar biasa, akhirnya bulan Juli 2017 lalu mati diajak bunuh diri oleh depresi.
Depresi ini sekarang sudah jadi makanan harian. Sudah jadi lagu lama yang masih populer di mana-mana. Semakin hari, dampak depresi semakin berbahaya. Makanya tidak mengherankan jika semua disiplin ilmu saat ini mulai memasukan depresi dalam studinya. Penyakit ini dibahas ke sana kemari, memastikan semua orang mulai sadar akan keberadaannya dan ancamannya. Perubahan sikap yang dulu dipandang sekadar “drama” kini harus segera dikonsultasikan pada ahlinya. Bahkan mungkin nantinya perusahaan perlu memperbolehkan “cuti depresi” ya?
Yang pasti, depresi itu sebaiknya tidak untuk dibuat-buat. Karena, jika kamu nantinya kena depresi sungguhan, barulah tahu rasa. Depresi itu nyata berbahaya. Namun, banyak orang tidak terlalu sadar, apalagi peduli padanya, ya karena itu tadi… rancu dengan drama. Banyak orang langsung menyebut dirinya depresi padahal hanya tengah gundah atau galau saja. Permasalahan tak seberapa dianggap menekan sampai ingin membuat gila. Mulailah orang seperti ini mengeluh sana-sini… membuat telinga orang sekitarnya melepuh.
Sementara itu, seorang yang nyata-nyata depresi mungkin tak menyebutnya sebagai depresi. Orang ini tidak melabeli kondisinya sebagai depresi. Yang ia tahu, dadanya setiap hari sesak, kepalanya berisik, pundaknya berat. Melihat wajah sekitarnya, ia ingin meludah terus. Mendengar usik berisik, ia ingin meletus. Semua hal diciprati dengan sumpah serapah, dikutuk sampai seperti orang mabuk. Masalah kecil dilihatnya besar. Masalah besar, dianggapnya tak punya jalan keluar.
Aku ingin orang tahu bahwa depresi yang sebenarnya itu sangat menganggu. Bahkan melebihi itu, dia sangat menyiksa. Hari-hari yang sebenarnya baik-baik saja, bagi seorang yang karib dengan depresi, umumnya terlihat banyak cacat. Orang yang sebenarnya biasa saja lewat di depannya, pasti disumpahi agar cepat mati… bahkan orang terdekatnya sekalipun.
Dalam mata seorang depresi, dunia itu busuk, rusak, memuakkan. Manusia dirasanya maniak, pengganggu, dan hampir sama sekali tidak membantu. Meski demikian, sejujurnya tidak ada yang salah dengan dunia sekitarnya. Yang rusak dari awal sejelas-jelasnya adalah seorang depresi ini.
Sayang memang, bagi penganut setia depresi, hidupnya kemungkinan besar tak tertolong. Kecuali, dirinya sendiri yang mampu menarik diri keluar dari sekte sesat tersebut.
Kenyataan pahit yang perlu kamu ketahui kalau kamu depresi…. orang-orang sekitar yang menyayangimu, memerhatikanmu, bahkan berjuang bersamamu, mereka pun pada akhirnya tidak mampu membuatmu ke mana-mana, jika memang dasarnya kakimu yang tak ingin melangkah ke mana-mana. Mau mereka berjuang dan kuat sekeras besi beton, jika depresimu terlampau besar, yang ada mereka malah ikut terbawa gila bersama hidupmu.
Kita tak bisa menyalahkan orang sekitar atas matinya seorang depresif. Sekuat apapun orang sekitar berjuang, jika sang depresi sedang kumat-kumatnya, perjuangan itu bisa jadi terasa kosong. Namun, hal ini tak mengartikan si pesakitan ini tak tahu diri dan tak mau ditolong. Pada dasarnya, semua pesakitan, semua kembaran siam depresi.. membutuhkan pertolongan dan menginginkannya. Seorang depresif ini sangat menghargai bantuan orang sekitarnya, bahkan bersyukur sungguh atas itu. Tapi, jika depresi sudah lebih besar daripada itu semua…. kamu, aku, dia, dan siapa saja… pada hakikatnya tak berdaya.
Yang sering terjadi adalah banyak manusia merasa tahu dan bijak menyebut solusi utama depresi adalah “yang penting bicara.. sampaikan masalahmu pada dunia agar kami bisa menolong”. Yang mungkin kalian lupa, seorang depresif begitu benci pada dunianya. Orang ini penuh curiga, tanpa alasan yang juga dia temukan. Lantas, mau pada siapa dia bisa cerita dengan leluasa jika dasarnya percaya saja tak ada?
Seorang depresif mau saja bercerita kok! Sayangnya orang ini tak punya tempat cerita yang benar. Mungkin bagi yang punya, orang ini lantas tak tahu caranya bercerita. Mungkin bagi yang sudah cerita, orang ini ternyata merasa sama saja seperti tak cerita sama sekali.
Banyak bicara pun bisa sama serba salahnya. Kembali lagi ke Chester Bennington. Kurang banyak bicara apa orang ini mengenai depresinya? Dalam setiap wawancara, dalam setiap teriakan nyanyiannya, dalam setiap kata lirik lagunya, semua adalah obrolan mesranya dengan sang depresi. Jika kita menganggap itu semua sebagai terapi, maka terapi itu ternyata adalah jalan yang juga menuju kematian. Sudah ia dikuasai depresi dalam segala bentuk, akhirnya pun remuk juga.
Kesimpulanku, depresi ini menjangkit sampai konsep waktu tidak ada lagi. Bagi kamu yang akhirnya bisa benar-benar lepas dari sahabat posesifmu itu, maka selamat dan hormat untukmu kupanjat.
Bagi yang masih tidak ke mana-mana atau bahkan sedang menuju mati karena semakin akrab dengan depresi:
Jangan salahkan siapa-siapa. Kamu tidak salah, apalagi mereka yang peduli padamu. Semuanya salah depresi dan pada dasarnya, kehidupan di dunia memang kadang kayak tai.
Dan untuk kalian yang berjuang bersama seorang yang depresi:
Depresi kadang menjadi-jadi dan itu membuat seorang depresi terlihat sangat menyakitkan. Kalau kamu pada akhirnya putus asa atau menjadi benci padanya, ya tidak mengapa. Yang perlu kalian tahu, seorang yang depresi mungkin menjadi sangat kejam. Tapi di dalam… ia tetap peduli dan mengasihimu. Ia juga yang merasa paling bersalah padamu. Berjuang bersamanya atau tidak, adalah sebuah pilihan, bukan paksaan.
Originally published at https://panchongaco.wordpress.com on September 6, 2017.