Terjebak Kekangan dalam Tarian Bumi Oka Rusmini

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
7 min readDec 22, 2020

Aku rasa aku bukan feminis. Pun aku juga tidak terlalu meninggikan isu emansipasi gender dalam keseharianku. Jadi, mendaratnya aku pada bacaan kali ini sebenarnya juga bukan karena aku sok-sok ingin mendalami isu keperempuanan. Aku tiba pada bacaan ini karena memang sudah lama penasaran dengan tulisan Oka Rusmini yang banyak dipuji orang karena dipandang mampu menggambarkan sebuah dilema budaya (terutama Budaya Bali) dari kacamata perempuan.

Ketika membacanya (aku membaca ulang pada bulan Maret lalu), aku memahami apa yang dielu-elukan orang tentang buku ini. Setidaknya aku merasakan pergolakan utama yang ingin penulis tekankan di sini. Isu utamanya adalah tentang perempuan. Perempuan yang menghadapi kekangan dengan berbagai cara.

Menajuk Tarian Bumi, aku merasa Oka Rusmini ingin menggambarkan bagaimana sosok perempuan menghadapi berbagai kekangan dengan cara yang menarik untuk disaksikan, sebagaimana gemulainya sebuah tarian. Itu konklusi yang bisa kurefleksikan setelah membaca habis buku ini dalam waktu tak lebih dari tiga jam.

Masih bicara soal tajuk, Tarian Bumi juga menggambarkan sebuah kisah utama “taksu” (*padanan Bahasa Indonesianya mungkin “aura/karisma”) sebuah tarian. Kisah utama dalam novel ini berkelindan dalam pusaran tarian. Tokoh utamanya pun dikisahkan sebagai seorang penari Bali yang sangat fenomenal.

Sentral tokoh dalam Tarian Bumi menurutku ada 2 orang, yakni Ida Ayu Telaga Pidada dan ibunya; Ni Luh Sekar. Keduanya adalah penari Bali yang luar biasa menawan dan berbakat. Dalam buku setebal 176 halaman ini, satu demi satu muncul beragam tokoh yang memiliki latar belakang cerita menarik (dan semuanya perihal perempuan dalam kekangan budaya itu sendiri). Namun, semuanya berhubungan dengan kedua tokoh sentral tadi.

Saat aku semakin terbawa oleh kisahnya inilah, kudapati bahwa hubungan anak dan ibu dalam Tarian Bumi ternyata menggambarkan kekuatan karma akibat ambisi.

Kisah perempuan dalam novel ini berawal dengan cerita manis Telaga bersama putrinya yang masih kecil, bernama Sari. Aku membaca prolog itu dengan perasaan terlena oleh imutnya sosok Sari. Lepas empat halaman, ternyata barulah cerita yang menyesakkan mulai berdatangan, terus-menerus hingga halaman terakhir kututup.

Sebagaimana kukatakan sebelumnya, Tarian Bumi menggambarkan kekuatan karma akibat ambisi. Menyambung pada tajuk tulisan ini yang menyebut kata “kekangan”, kurasa bisa juga kukatakan bahwa inti cerita novel ini menggambarkan bagaimana perempuan harus jumpalitan dalam perasaan maupun tindakannya karena kekangan ambisinya sendiri (ambisi tersebut pun memberikan kekangan baru pada orang-orang terdekatnya). Menariknya, Oka Rusmini membuat kekangan ambisi itu menjadi sebuah karma dalam hubungan anak dan ibu penari ini.

Menarik mengikuti kisah masa muda tokoh Luh Sekar (Ibu Telaga Pidada). Seorang Sudra, penari Bali, yang berambisi untuk menikahi seorang Brahmana agar bisa naik kasta menjadi bangsawan dan memperbaiki kehidupannya. Ambisi ini adalah buah kekecewaannya pada kehidupan miskin dan menderita yang dia anggap merupakan warisan ayahnya yang dicap orang sebagai antek PKI.

Luh Sekar tampak bersikeras menjadi penari terbaik agar dapat menarik perhatian seorang Brahmana. Usahanya berhasil ketika akhirnya Ida Bagus Ngurah Pidada terpincut dan menikahinya.

Sejak menikah, Luh Sekar kemudian menjalani hari penuh kekangan dalam sebuah sistem patriarki budaya Bali. Kekangan patriarki dan kasta ini dikisahkan begitu keras. Luh Sekar tak lagi boleh menyandang nama aslinya. Ia kemudian harus dikenal sebagai Jero Kenanga. Kenaikan kasta ini juga membuatnya tak bisa berlaku sama terhadap keluarganya sendiri. Ia tak boleh sering-sering datang ke rumah keluarganya karena dianggap tidak pantas seorang bangsawan mendatangi rumah seorang Sudra.

Kekangan yang membelit diri Luh Sekar dalam hidupnya sebagai Jero Kenanga sangatlah banyak. Ibunya sendiri harus memperlakukan dia selayaknya putri bangsawan; majikan, yang statusnya lebih tinggi. Bahkan Luh Sekar pada akhirnya tidak boleh menangis dan menyentuh jenazah ibunya saat di-aben (Ngaben — upacara kremasi di Bali).

Semakin aku membaca halaman demi halaman novel Tarian Bumi ini, semakin aku merasakan cekikan yang membelit Luh Sekar. Namun menarik menyimak bagaimana Luh Sekar menari-nari gemulai, tetap menikmati kekangan tersebut karena itu semua merupakan ambisinya sejak awal.

Perlu dicatat juga bahwa kekangan Luh Sekar turut bertambah ketika kenyataan menceritakan bahwa sang suami ternyata adalah lelaki bajingan yang tidak berguna. Sudah stres dikekang mertua dan aturan adat, ditambah pula stres terkekang nasib memiliki suami yang bikin makan ati. Suami memang di mana-mana banyak tidak berguna kali ya? Hahaha.

Semakin mengikuti cerita, aku kemudian mendapati bahwa kisah Luh Sekar dibuat lebih penuh dengan adanya selipan kisah-kisah orang lain di dekatnya. Mulai dari ibunya; Luh Dalem, kawan dekatnya; Luh Kenten, ibu mertuanya; Ida Ayu Sagra Pidada, hingga putrinya sendiri; Ida Ayu Telaga Pidada. Setiap tokoh menghadapi kekangan tersendiri.

Pertama ada Luh Dalem. Membaca kisahnya terasa sangat tragis. Seorang istri dari pria yang mewariskan nasib busuk karena dicap antek PKI. Sehari-harinya, Luh Dalem menggeratakkan tulang, menjadi tulang punggung keluarga untuk menghidupi Luh Sekar. Meski begitu, sifatnya begitu penyayang, penyabar, dan optimis.

Sayangnya, kekangan hidup yang berasal dari label buruk suaminya ini kemudian menggerogotinya sampai ia menjadi buta akibat dihajar dan diperkosa orang di pasar. Dalam nasib busuk itu, perempuan ini tetap “gemulai” menghadapinya dengan harga diri yang tinggi, tak ingin belas kasihan orang secara berlebihan. Sayangnya, nasib Luh Dalem menjadi semakin terpuruk buruk karena ternyata ia hamil akibat pemerkosaannya. Kehamilan itu membawa dua anak kembar lahir dan menjadi saudara yang jahat bagi Sekar.

Lalu kisah Luh Kenten. Membaca kisahnya, pola pikirnya, dan traumanya, aku merasa cukup teridentifikasi. Luh Kenten mengalami kekangan norma sosial terkait hubungan yang dipandang normal hanya di antara laki dan perempuan. Secara lugas, Luh Kenten digambarkan jatuh cinta pada Luh Sekar. Aku cukup merinding membayangkan seberapa intens pergolakannya saat dipaksa menyaksikan Luh Sekar menari tanpa busana. Aku pun cukup ikut gregetan saat mendengar Luh Kenten ini mengungkapkan kekesalannya terhadap laki-laki, pada ibunya.

Luh Kenten mengalami pergolakan diri mempertanyakan identitasnya sebagai seorang perempuan. Kekangan identitas dalam diri sendiri yang membuat seseorang tidak bisa berlaku apa adanya karena masih sulit menentukan “apakah nyaman menjadi perempuan?”, jelas ini menyakitkan dan menyesakkan.
Luh Kenten menyatakan kebenciannya pada kaum laki-laki yang dipandangannya tidak menghargai perempuan. Wajar kalau akhirnya perempuan seperti ini merasa bahwa penting bagi mereka untuk bisa hidup tanpa laki-laki.

Kemudian ada Ida Ayu Sagra Pidada yang dikisahkan merupakan perempuan Brahmana, anak seorang pendeta, putri bangsawan murni. Kehidupannya dalam Griya dengan gelimang hormat, ternyata toh tidak membuatnya luput dari kekangan. Kekangan kodrat perempuan yang katanya tak boleh tidak menikah, menjadikannya harus menerima Ida Bagus Tugur sebagai suami sentana. Dengan tradisi sentana, di mana seorang perempuan berganti peran dengan suami sebagai kepala keluarga, ternyata ada pergolakan batin yang cukup dalam. Suaminya menjadi rendah diri karena merasa tidak punya kehormatan dalam keluarga.

Meski Sagra Pidada sebenarnya sangat mencintai suaminya dan masih ingin menaikkan harga diri suaminya, sang suami kemudian menjadi ambisius akan kedudukan agar tidak dipandang sebelah mata oleh keluarga istrinya dan orang sekitar. Ia pun menjadi dingin dan tenggelam dalam kesibukan. Kesenjangan perasaan itu membuat hubungan mereka menjadi tidak semanis yang diharapkan Sagra Pidada.

Tak cukup sampai di sana, ternyata suaminya memiliki simpanan seorang Sudra yang berbuah dua orang anak. Maka, aku pun tidak heran jika perempuan ini menanggapi kekangan kekecewaan dalam hidupnya ini dengan menjadi sosok yang sangat tinggi hati, menyebalkan dan begitu benci pada menantunya yang adalah seorang Sudra, sebagaimana simpanan suaminya sendiri.

Kisah menarik yang kemudian juga menjadi benang merah cerita ini datang dari putrinya, Ida Ayu Telaga Pidada. Perempuan ini digambarkan begitu cantik, metaksu, elegan, baik hati, dan rendah hati. Kehidupan awalnya diceritakan begitu menyenangkan sebagai seorang cucu bangsawan. Semakin mendalami cerita, lagi-lagi kehidupan sebagai bangsawan membawa kekangan untuknya.

Ketika masih remaja, banyak hal yang ingin dia eksplor, tetapi banyak aturan griya yang membuatnya tidak bisa melakukan hal dengan leluasa. Dalam beberapa bagian, tersurat beberapa adegan perdebatannya dengan sang ibu karena perbedaan pandangan. Sang ibu yang sangat mengagung-agungkan kehidupan bangsawan, terus bersitegang dengan sang putri yang ingin hidup seperti orang biasa yang begitu membumi.

Di tengah cerita mengenai ibu dan anak ini, terselip cerita menarik dari tokoh yang juga cukup krusial. Porsi ceritanya tidak begitu banyak, namun bermakna cukup dalam di benakku. Tokoh itu adalah Luh Kambren, guru tari Telaga Pidada. Menyimak ceritanya, tersirat sebuah perjuangan seorang dengan idealisme tinggi pada kesenian tari yang akhirnya menyerah pada kekangan hidup yang ternyata lebih membutuhkan uang daripada sekadar deretan piala dan piagam penghargaan (sebuah fenomena yang klise, tapi ya memang begitu adanya). Bagiku, akhir hidup Luh Kambren termasuk cukup tragis dalam novel ini.

Kembali lagi pada Telaga Pidada. Hal paling menarik yang juga bagiku menjadi gong dari novel ini adalah ketika ia menikahi seorang Sudra. Lucu mendapati bahwa seorang ibu yang sangat ambisius memanjat kelas sosial tertinggi, akhirnya dibekap lingkaran setan mendapati putrinya sendiri malah membawa diri turun ke kelas awal perempuan tersebut.

Susah-susah Luh Sekar meresmikan namanya menjadi Jero Kenanga, ujung-ujungnya, puteri kandung sendiri kembali menyeretnya menjadi Sudra. Telaga Pidada nyerod (turun kasta) menikahi Wayan Sasmitha yang adalah seorang Sudra.

Dalam pernikahannya, ia mendapati banyak kekangan baru dari perubahan kasta ini. Telaga seperti mengulangi penderitaan ibunya yang terus ditekan rasa kesal mertuanya, namun dalam bentuk yang terbalik.

Jika dipikir-pikir, kejadian seperti ini sangat umum terjadi dalam masyarakat kita. Seorang anak berstatus sosial tinggi yang memiliki orang tua dengan ambisi tertentu (dalam novel ini adalah kedudukan), akhirnya mengatur hidup sang anak dengan sangat gila. Kekangan dari orang tua yang merasa paling tahu cara membahagiakan anaknya, cenderung menjadikan anak memberontak, terutama memang, pada anak perempuan yang kata dunia sosial kita, lebih banyak kekangannya.

Menurutku, kekangan dari sang ibu, status sosial, dan budaya patriarki inilah yang membuat Telaga Pidada banyak bersitegang dengan ibunya sendiri, yang kemudian berujung pada dirinya memilih seorang biasa (Sudra) untuk dicintai. Apalagi, dia banyak kecewa dengan pria berkasta tinggi, dimulai dari ayahnya sendiri.

Nasib buruk yang menimpa tokoh-tokoh dalam novel ini terasa tidak ada habisnya. Bahkan setelah Telaga menikahi orang yang dicintainya pun, dia tetap harus menari-nari dalam kejadian tragis. Dibuang dari Griya, dibenci mertua, hingga sang suami mati mengenaskan ketika anak mereka masih kecil. Sebagaimana kisah kepahitan pada umumnya, ibu mertua pun menyalahkan Telaga atas kematian sang suami.

Selepas kematian suami, kekangan adat ternyata kembali menyerang Telaga. Ibu mertua menudingnya membawa petaka dalam keluarga karena Telaga belum pamit dari Griya secara resmi melalui Upacara Patiwangi. Beberapa lembar terakhir buku ini kemudian mengisahkan perjuangan Telaga untuk melakukan upacara tersebut di Griya terakhir kalinya. Jujur saja, momen itu juga menjadi momen yang membuatku menghela nafas cukup berat. Ada rasa sedih sekaligus lega mengikuti kisahnya.

Di luar konteks cerita, Oka Rusmini menuturkan kisah dalam kalimat-kalimat yang lugas, apa adanya, bahkan keras dalam beberapa hal. Oka Rusmini juga tidak terjebak dalam obsesi mengindah-indahkan bahasa untuk menarik perhatian pembaca. Yang menarik lagi, Oka Rusmini mampu menggambarkan kebudayaan Bali dengan cerita yang mudah dipahami. Terdapat selipan-selipan istilah Bahasa Bali berikut penjelasannya dalam catatan kaki.

Pembaca mana pun bisa memahami garis besar Budaya Bali ketika membaca novel ini. Aku yang menjalani 17 tahun kehidupan di Bali pun mendapati banyak hal baru dari novel ini. Salah satunya adalah semakin dalam memahami kenyataan bahwa adat dan budaya (terutama yang berasaskan patriarki) memang bisa menjadi kekangan mendalam pada hidup seseorang.

Sedih? Tidak terlalu sih, wong sudah biasa.

Salah? Ah, siapakah aku menentukan hal itu.

Sudah pernah diterbitkan di https://panchongaco.wordpress.com pada 8 Mei 2018.

--

--